14 Desember 2008

Sapi dan Lim Keng



Saya tidak tahan mencium bau daging mentah direbus. Tetangga kanan, kiri, belakang, semua merebus daging, Senin (8/12). Andai kaldu itu sudah dibumbui, perut saya tak akan mual. Tetapi ini tidak. Semua hanya merebus tanpa bumbu. Perut mulai bergolak, saya memilih segera berangkat ke kantor.

Lebih aman di kantor karena tak ada bau daging. Daging sapi dan kambing hanya ada di percetakan yang jauhnya sekitar 15 menit berkendara dari kantor di Margorejo, Surabaya. Perayaan Idul Adha di kantor saya memang dipusatkan di percetakan, Rungkut. Maklum, halamannya lebih luas.

Sehari sebelum Idul Adha, di depan rumah ditambatkan seekor sapi jantan. Itu hasil urunan tujuh keluarga di sekitar rumah. Sapi yang sama sekali tidak gemuk itu diikat di tiang listrik dan pohon juwet, di tepi sungai (depan rumah saya ada sungai irigasi). Begitu banyak tangan yang ingin memanjakan sapi itu sampai-sampai dia tidak doyan rumput lagi. Semua tangan menyodorkan rumput ke mulutnya.

Saya jadi ingat pada Lim Keng. Ini sosok yang membuat saya kagum. Dia pelukis sketsa. Hampir semua lukisannya tak lepas dari sapi, perempuan Madura, dan pasar tradisional. Mestinya usia Lim Keng sekarang hampir 80 tahun.

Sapi dan pasar menjadi favorit Lim Keng. Pelukis idealis ini berhasil merekam isi pasar tradisional dengan tepat hanya lewat beberapa goresan. Yang membuat saya terkenang, bagi Lim Keng, sapi adalah satwa yang seksi. Dia kuat dengan postur meliuk. Dalam satu lukisan Lim Keng dengan porsi tepat dapat menggambarkan keseksian itu. Seekor sapi dipotret dari belakang. Di sebelahnya, perempuan Madura dengan keranjang di atas kepala juga melenggang. Keduanya memiliki kontur meliuk yang sedap dipandang.

Sapi-sapi Lim Keng juga tak selalu tambun. Beberapa lukisan digambarkan sapi kurus dengan tulang iga membayang. Tetapi keseluruhan, cantik di mata saya. Apalagi saat saya wawancarai, Lim Keng dengan senang hati mengajak saya ke lantai dua di rumah sekaligus toko kelontong yang pengap di Jl Undaan yang tak pernah sepi. Di lantai dua itu dia mau membagi rahasianya pada saya.

“Saya tak pernah menunjukkan lukisan gagal saya pada orang lain. Lukisan gagal adalah masa lalu tak perlu ditunjukkan pada orang lain,” kata Lim Keng waktu itu.
Segulungan besar kertas digelar di lantai. Apanya yang gagal? Mata saya yang minus sembilan ini menyatakan absolute untuk kecantikan sketsanya. Ini jenis lukisan yang saya suka.

“Saya gagal karena tak ada napas dalam lukisan ini. Pasar hanya digambarkan sebagai kerumunan saja,” kata Lim Keng.

Norak sekali, saya jadi bangga dianggap orang yang bisa diajak berbagi melihat lukisan gagal Lim Keng. Pelukis ini sempat mencicipi bangku ASRI (sekarang ISI) Jogja di masa 1960-an sebelum dipanggil pulang ke Surabaya. Ayah dua anak ini kemudian memilih menetap di Surabaya, di tikungan Jl Undaan, bersama seorang mbak-mbak yang menjaga toko masa lalu dan seekor anjing dengan ekor pupak.

Nah, anjing inilah yang saya rasa membuka pertemuan saya dengan Lim Keng. Saya menyapa anjing itu dengan ramah meski sebenarnya gemetar juga. Ekor anjing menunjukkan perasaan anjing itu, kata Georgina –pemilik Timmy—dalam serial Lima Sekawan, bacaan saya masa kecil. Jika anjing tak punya ekor, bagaimana saya tahu dia bisa menerima atau mengancam?

Lim Keng lalu bercerita anjing itu dibuang pemiliknya yang tega memotong ekornya. Saat ditemukan ekornya masih berdarah. Lalu dia merawat anjing itu. Wawancara yang dibuka dengan cerita anjing inilah yang melenturkan suasana, yang kemudian membuat Lim Keng mengundang saya ke lantai dua. Mungkin banyak yang juga diajak mengintip karyanya, tetapi saya tetap pede dengan kenorakan saya. Biar saja yang lain juga melihat lukisan gagal itu tetapi saya tetap menyimpan kehangatan Lim Keng saat berkisah panjang dan lebar tentang hidupnya, tentang lukisan-lukisannya yang hanya dikoleksi segelintir orang.

Sapi bagi Lim Keng adalah makhluk seksi. Bagi anak-anak tetangga saya, sapi adalah binatang ajaib. Yang biasanya hanya bisa dilihat di televisi dan buku, sekarang nyata ada di depan hidung.

Beberapa anak minta saya memotret mereka di depan sapi. Ragu-ragu mereka menyentuh tali pengikat, ada juga yang berani menyentuh punggung sapi.
“Ini apa namanya?” tanya saya pada seorang anak.

Anak berusia sekitar delapan tahun itu menjawab, “Embek.”

Waduh, embek adalah suara kambing. Masa sapi dibilang embek alias kambing? “Iya, Tante. Kan di televisi sapi punya kantong susu. Ini tidak,” katanya yakin.

Meski saya katakan sapi ini tidak punya kantong susu seperti dalam iklan susu karena ini sapi jantan, dia tetap kukuh.

“Ini embek besar,” katanya.

12 Desember 2008

Pengantin Setara



Pertengahan Oktober lalu ada undangan pernikahan di Kediri. Pernikahan dilakukan secara Katolik. Pemberkatan pernikahan ini di Gereja Puhsarang, Kediri. Menarik. Selain karena tempatnya unik, ritual ini dilakukan sambil lesehan, duduk di tikar. Hanya sepasang pengantin dan orangtua yang duduk di kursi.

Koor pengiring juga dilakukan sambil ndheprok dengan iringan gitar. Penyanyi koor sesekali memakai kertas teks lagu untuk kipas-kipas, sesekali mengajak anaknya duduk anteng, sesekali mengipasi anaknya yang tertidur di pangkuan. Apa adanya tetapi regeng, akrab.

Usai dari gereja, semua rombongan ke rumah pengantin putri untuk resepsi. Sudah pukul 12.00 WIB lewat, perut mulai menagih. Dengan penuh semangat kami, rombongan dari Surabaya, segera mengikuti peta menuju tempat resepsi.

Ternyata rumah pengantin putri ini biyuh… jauh. Jalan memang beraspal mulus tetapi menanjak, berkelok, hingga tepat di ujung belokan dan tanjakan semua berhenti. Di situ tempat resepsi. Dari Puhsarang perlu 10 menit ke arah barat dan terus menanjak.

Sebuah terop kecil dipasang di halaman berdebu. Sederhana dengan hiasan seadanya. Tetapi para penerima tamu begitu ramah. Kami memilih duduk di bawah pohon mangga podang, mangga kecil berwarna kuning yang banyak ditemui di Kediri. Di situ lebih sejuk.

Meski matahari menyengat di tengah hari dan tanah seperti menguap saking panasnya, para penerima tamu tetap berdandan full. Sanggul tekuk yang dikenakan penerima tamu perempuan berbeda dengan sanggul tekuk ala Jogja atau Solo. Yang ini lebih kecil, pipih, dan dipasang jauh di atas tengkuk. Riasan wajah semuanya sama, dengan alis melengkung tajam, dan bedak warna kekuningan. Ini seperti riasan pengantin perempuan. Cantik dan khas Kediri.

Yang saya tunggu adalah ritual temu manten. Saya bertanya pada juru rias, katanya, temu manten nanti hanya diambil beberapa yang perlu. Saya sudah siap-siap menunggu ritual itu di depan pelaminan. Tempatnya sangat sempit karena ada satu kamera untuk syuting sehingga para tamu yang sudah duduk manis di depan pelaminan harus menyingkir demi tukang syuting yang disewa untuk mengabadikan penikahan itu.

Acara temu manten berlangsung tanpa gending Kebo Giro. Suara campur sari yang terdengar. Juru rias sempat sewot karena pembawa kembar mayang –rangkaian bunga, buah, dan janur—berjalan mendului pengantin lelaki.

“Kleru… kowe neng mburine manten!” teriak juru rias. Mungkin dia panik karena pakemnya pengantin lelaki langkahnya harus bebas hambatan. Mungkin ini dianggap pertanda buruk jika melihat ekspresi juru rias yang cukup gemas. Tetapi dua anak muda yang membawa kembar mayang tak bisa berbuat apa-apa. Jalan yang dilewati sangat sempit. Mereka tak bisa berhenti sekadar memberi jalan pada pengantin lelaki.

Untunglah, seorang prodiakon –ini awam, pembantu imam dalam Katolik, orang yang dituakan—dengan santai meminta pembawa kembar mayang berjalan dulu.
Baru setelah itu sawatan, saling melempar daun sirih, dan kemudian prosesi menginjak telur. Pengantin lelaki menginjak telur mentah, prak, kemudian pengantin perempuan membasuh kaki pengantin lelaki hingga bersih. Ini bukti kemauan untuk melayani suami. Biasanya sebelum dan setelahnya si istri mengangkat tangan untuk menyembah sebagai tanda bakti.

Biasanya kemudian pengantin lelaki dengan gagah minta si istri menggandengkan tangan ke lengannya. Tetapi kali ini tidak. Prodiakon minta pengantin perempuan berdiri.
“Karena dalam Katolik perempuan dan lelaki sama derajatnya, saling menghormati, sekarang saya minta pengantin lelaki ganti membersihkan kaki pengantin perempuan,” kata prodiakon itu.

Semua melongo. Pengantin lelaki juga, apalagi pengantin perempuan. Tetapi pengantin lelaki langsung berjongkok. Ragu-ragu pengantin perempuan melepas sandal. Dengan tangannya, pengantin lelaki membasuh kaki istrinya itu dan mengeringkan dengan handuk.

Juru rias yang melihat episode tak lazim ini hanya diam. Entah apa yang ada di pikirannya menyaksikan adegan pengantin lelaki mencuci kaki pengantin perempuan. Tidak ada dalam pakem.

Setelah itu mereka naik ke pelaminan, menebar senyum.

Saya ikut tersenyum. Asyik juga melihat pengantin lelaki berjongkok di depan istri. Tetapi, tak seperti yang dilakukan pengantin perempuan, si pengantin lelaki sama sekali tak mengangkat tangan menyembah istrinya. Sebelum membasuh, tidak. Usai mencuci kaki juga tidak menyembah. Sembah yang diibaratkan hormat tidak dilakukan.

17 November 2008

Kasta dalam Bemo

Apa nikmatnya naik angkutan umum? Selama punya banyak waktu, selalu ada yang bisa dinikmati. Bemo, begitu orang Surabaya menyebut angkutan kota ini meski bentuknya tak mirip dengan bemo roda tiga, selalu penuh cerita.
Duluuu, ketika masih menjadi pekerja pagi-sore, acara duduk di bemo menjadi pemandangan segar. Jika berangkat sekitar pukul 07.00 WIB pasti tebaran parfum aneka merek memenuhi bemo. Penumpang bemo kebanyakan kaum perempuan dan pada jam itu adalah pekerja. Saya selalu perhatikan betapa warna merah yang dioleskan di bibir tak ada yang sama.
Duduk berderet enam orang atau tujuh (jika sopir bemo serakah) masing-masing perempuan itu memoles bibir dengan lipstik. Gradasi merah aneka tingkatan. Karena rata-rata tinggi badan sama, jika mata sedikit dijulingkan, yang tampak hanya bibir aneka merah. Bemo lyn V yang paling wangi karena melewati pusat perbelanjaan dan perkantoran.
Bemo juga memiliki kasta. Bemo yang paling menyebalkan dalam menerapkan kasta penumpang adalah bemo lyn P jurusan RSU Dr. Soetomo/Universitas Airlangga. Di Terminal Joyoboyo selalu ada makelar di masing-masing lyn yang berteriak-teriak memanggil penumpang. Salah satu makelar yang galak ada di bemo P ini.
Makelar berusia 50 tahun lewat itu sangat tegas. Dia yang berhak mengatur posisi duduk penumpang dan bukan penumpang yang memutuskan ingin duduk di sebelah mana. Sang makelar menerapkan sistem kasta pada penumpang. Di deretan bangku panjang menghadap pintu diisi tujuh, di bangku berlawanan diisi empat. Ada satu dingklik mepet pintu memunggungi bangku sopir yang diisi dua penumpang.
Makelar bemo lyn P itulah yang berkuasa menerapkan jatah bangku. Semua berdasarkan kasta. Penumpang kasta tertinggi duduk di bangku depan bersama sopir dengan dua penumpang, kasta kedua di bangku panjang berisi tujuh, kasta ketiga ada di bangku berisi empat penumpang, dan kasta terendah adalah penghuni dingklik.
Yang duduk di bangku depan adalah mereka yang datang lebih dulu. Kasta kedua yakni anak sekolah, mbak-mbak pekerja yang rata-rata bertubuh langsing, mahasiswi lencir, pokoknya yang bertubuh mungil dan ringkas. Kasta berikutnya yang duduk di bangku berempat adalah para pemilik bodi sedang. Nah, kasta terendah yang kebagian dingklik hanya untuk mereka yang ukuran bokongnya luas.
Betapa sakit hati saya ketika suatu ketika sang baginda makelar itu menyilakan dengan wajah datar tanpa senyum duduk di dingklik. Saya hendak protes karena hati kecil saya berontak dikatakan supergendut. Tetapi sang makelar lempeng saja. Tak ada yang bisa menolak pengaturan itu. Jika menolak, dia tak segan-segan meminta kesediaan penumpang untuk mematuhi dengan tegas. Daripada bengkerengan, memang lebih baik menurut karena toh (saya akui) duduk jadi lebih nyaman karena tak ada yang terjepit.
Sabtu (15/11) saya sempat gembira karena naik kasta. Saya diminta duduk di bangku berisi empat penumpang. Lumayan, setingkat lebih hebat daripada duduk di dingklik. Ini berarti ukuran badan saya dianggap moderat. Tetapi yang membuat heran, anak berseragam SMP justru duduk di kasta terendah. Aneh.
Rasa gumun saya terjawab. Setelah anak SMP itu duduk, sang baginda makelar meminta seorang ibu duduk di dingklik, kasta paling bawah dalam bemo. Alamak, ibu itu punya ukuran triple L. Waduh, bukan saya yang mengecil sehingga naik kasta melainkan ada orang lain yang lebih luar biasa dibandingkan saya.

26 April 2008

Gajah dan Unta Bersaing dengan Reog Ponorogo (3)

Ketika Malaysia mengaku Tari Barongan milik mereka, seniman reog di Ponorogo langsung bersatu. Mereka bersama-sama berteriak, “Kembalikan reog ke Ponorogo!” Mereka juga sama-sama mengeluh, tak ada proteksi atas budaya milik negeri ini.

Melihat para demonstran di Jakarta, cukup membuat trenyuh. Bukan hanya karena perjuangan mereka untuk diakui sebagai “pemilik” budaya yang sah tetapi juga karena rasa satu ketika menghadapi ancaman dari luar. Padahal di dalam dunia pereogan di Ponorogo justru sedang menghangat oleh perbedaan. Seperti api dalam sekam yang diam-diam menyala. Perbedaan ini sudah sejak lama meriak tetapi bisa diredam dengan peraturan tampil.

Seperti yang muncul dalam diskusi di Harian Surya, Kamis (29/11), tentang Reog Milik Kita atau Milik Malaysia. Peta perbedaan itu muncul begitu hasil diskusi yang melibatkan seniman reog membahas pakem tampil bagi kelompok reog. Agar seragam, sopan, dan sesuai dengan zaman. Pada 1993 kemudian terbitlah Buku Pedoman Dasar Kesenian Reog Ponorogo atau yang biasa disebut buku kuning. Semua aturan ada di dalamnya. Yang tidak sesuai aturan berarti tidak benar. Paling tidak untuk ukuran festival.

Seniman reog yang sepuh dan merasa reog tak perlu dibatasi menjadi gelisah. Tetapi mereka akhirnya manut ketika harus tampil di panggung festival yang membatasi gerakan dan kostum. Perombakan ini sebenarnya juga karena pengaruh perkembangan masyarakat. Penari Jathilan lelaki dianggap tidak pantas karena mereka harus tampil sebagai perempuan.

“Kalangan santri tak bisa menerima,” ungkap Paring Waluyo dari Yayasan Desantara. Menurut Paring, dengan proses panjang mereka berusaha melakukan pendekatan pada kesenian ini. Tetapi tidak mudah karena kesenian ini sudah begitu kental dalam kehidupan masyarakat Ponorogo. Kemudian kalangan santri ini membuat kesenian yang kurang lebih sama yang diberi nama Gajah-gajahan. Mengapa gajah?

“Reog itu kan macan karena itu harus ada binatang yang bisa menandingi. Siapa lagi kalau bukan gajah,” kata Paring lagi. Gajah-gajahan pun berkembang. Tetapi pada perkembangannya justru kesenian ini menjadi sangat cair sehingga musik yang semula memakai rebana digunakan untuk jogetan. Jika Jathilan ditarikan lelaki, sekarang justru waria yang tampil di depan. Mereka menari-nari mengikuti rebana yang mengumandangkan lagu menjurus ke dangdut.

Gajah-gajahan harus dikembalikan ke niat semua. Juga tidak mudah karena orang telanjur melihat Gajah-gajahan sebagai pertunjukan guyonan yang melibatkan waria. Kalangan santri kemudian mengenalkan kesenian baru, Unta-untaan. Nah, lagi-lagi mengapa unta?

“Karena unta dianggap lebih mencerminkan Arab sebagai pusat spiritual. Musiknya pun kental dengan musik Arab dan barjanzi,” tambah Paring.

Dalam buku Pedoman Dasar dimuat ketiga versi utama kisah asal-usul reog dan ditempatkan secara kronologis. Versi Bantarangin yang merujuk pada zaman Kerajaan Kediri pada abad 11 dianggap sebagai versi tertua, disusul versi Ki Ageng Kutu Suryangalam yang merujuk pada masa pemerintahan Bhre Krtabumi di Majapahit pada abad 15, dan diakhiri versi Batara Katong yang merujuk pada penyebaran agama Islam di wilayah Ponorogo pada abad 15 pula. Ini ditandai dengan dikalahkannya Ki Ageng Kutu Suryangalam oleh Batara Katong. Dengan cara pandang seperti itu, pemerintah setempat menempatkan versi Batara Katong sebagai bentuk perkembangan terakhir.

Berbeda penafsiran atas cerita yang diangkat biasa terjadi tetapi biasanya seniman reog sepuh punya pakem yang diyakini. Kurang lebih sama. Reog kuno boleh jadi akan hilang karena tergerus zaman tetapi Mbah Bikan Gondowiyono, pemilik kelompok reog dari Slahung, Ponorogo, menegaskan untuk tidak menyimpang dari cerita asli. “Pakem di buku kuning itu kurang diterima masyarakat pinggiran,” kata Mbah Bikan. Sebegitu kesalnya lelaki yang sempat menjadi penari Jathilan sebelum memiliki reog sendiri ini ketika melihat barongan yang seharusnya macan Jawa diganti menjadi barongan dengan kepala macan tutul.

Keseragaman reog ini tampak saat festival reog yang diadakan setiap tahun bersamaan dengan Gerebek Suro. Ponorogo memiliki lebih dari 200 kelompok reog. Karena tidak mungkin mengajak mereka pentas bersama, awalnya yang boleh mengikuti hanya satu reog yang mewakili kecamatan karena peserta dari luar kota juga banyak. Tentu sulit diterima jika di antara 50 reog hanya dipilih satu. Apalagi dibatasi dengan pedoman seperti yang ada di buku kuning.

“Itu sudah lumayan. Tahun lalu malah lebih sedikit lagi. Hanya satu reog yang mewakili wilayah Pembantu Bupati,” kata Drs Hariadi, guru SMAN 1 Ponorogo yang aktif mengurusi reog.

Shodiq Pristiwanto, juri dalam Festival Reog 2006, mengaku penciutan peserta itu karena masalah teknis. Tetapi perubahan dalam tarian dan kostum memang disesuaikan dengan masyarakat. Bukankah masyarakat juga yang menikmati kesenian ini?

Adegan-adegan yang Kena Sensor (2)

Penari Jathilan awalnya lelaki berdandan cantik. Nyaris tak ada gerakan berlebihan yang dilakukannya. Dia hanya menggoyangkan pinggung sedikit ke kiri sedikit ke kanan. Gerakan ini harus dibabat sensor.

Pisau sensor tidak hanya milik Badan Sensor Film. Buktinya, reog Ponorogo harus mengalami guntingan-guntingan dan ditempel dengan lapisan baru yang lebih “beradab” dan sopan.

Kesan sensual penari Jathilan lelaki seperti yang selalu muncul pada reog masa lalu, tak akan bisa ditemui lagi. Sekarang penari Jathilan ini perempuan dengan gerakan lincah menebar senyum. Kostumnya juga dihitung benar agar tidak terlalu seksi. Celana harus di bawah lutut begitu pula lapisannya sehingga betis tersimpan.

Tabuhannya juga tidak selalu kenong, gedhog, kempyong, dan pekik memilukan slompretan. Sekarang bahkan disisipi lagu-lagu langgam yang sedang ngetop, juga lagu Es Lilin yang dari Sunda itu.

Mbah Molok, 84, perajin dhadhak merak yang juga melatih menabuh seperangkat alat musik yang mengiringi reog, menggeleng-geleng sedih. Kata perajin yang membuat dhadhak merak sejak 1965 dan mulai dikirim ke Kalimantan Timur pada 1976 ini, tabuhan reog sekarang benar-benar tidak sesuai pakem. Rumusnya, bunyi kenong itu harus selalu dhingklang, seperti orang yang berjalan satu kaki.

“Sekarang tabuhannya lurus, tak ada yang dhingklang. Ya untuk telinga tua seperti saya itu kurang pas. Dengan tabuhan sekarang saya tidak bisa menari barongan. Hitungannya aneh,” kata Mbah Molok ketika datang di diskusi yang diadakan Harian Surya, Kamis (29/11), para pecinta reog mengungkapkan keresahan.

Keresahan ini berawal dari perubahan demi perubahan yang terjadi dalam gelombang berbeda-beda. Mulanya nama reyog yang diubah menjadi reog mengikuti slogan kota sebagai akronim dari Resik, Endah, Omber, Girang-gemirang.

Perubahan seperti ini sudah membuat para seniman sepuh ngelus dada. Sama seperti saat Mbah Bikan Gondowiyono dari Pulung, Ponorogo, yang mengawali karier sebagai penari Jathilan, gemblak, dan sekarang memiliki kelompok reog sendiri. Pada 1993 dia pernah diajak diskusi untuk menentukan arah reog Ponorogo. Mbah Bikan masuk dalam Seksi Jathilan. “Yang kurang layak diganti.”

Yang dianggap kurang layak ini salah satunya dengan mengganti penari Jathil yang semuanya laki-laki berdandan cantik dengan perempuan asli. Padahal penari laki-laki itu menjadi daya tarik penonton. Tetapi alasan yang diberikan juga cukup kuat. “Sulit mencari penari lelaki yang mau dipacaki jadi perempuan,” kata Drs Hariadi, guru Fisika SMAN 1 Ponorogo yang merintis reog untuk anak muda. Persepsi masyarakat tentang jathilan lelaki juga mulai bergeser. Sekarang justru ketika yang dipasang perempuan muda dengan make up cantik, senggakan penabuh makin bersemangat.

Mbah Bikan tertawa mengingat anak buahnya yang loyo saat menabuh ketika penari Jathilnya laki-laki. “Waktu diganti penari perempuan, walah… semangat nabuhnya.”

Pergeseran yang terjadi cukup besar ketika dari acara diskusi yang diikuti Mbah Bikan itu mengeluarkan buku kuning saat Orde Baru berkuasa. Buku Pedoman Dasar Kesenian Reog Ponorogo ini menjadi aturan bagi seluruh jagad reog.

“Jadinya ya reog yang ampang, tak ada gregetnya,” kata Hariadi. Beberapa bagian yang dipangkas adalah adegan seronok saat barongan berusaha mencium (maaf) pantat penari Jathilan. Selalu sebelum menempel barongan terjengkang. Padahal penari Jathilan tidak melakukan apa-apa. Bahkan gerakan penari ini cenderung monoton. Dia hanya menggoyangkan pinggung sedikit ke kiri dan ke kanan. Membosankan tetapi justru kelihatan sensual. Saat-saat seperti itulah yang selalu membuat penonton terbahak-bahak dan mbata rubuh, bersorak bagai merubuhkan tumpukan batu bata.

Penonton memang menjadi bagian dari pertunjukan reog. Mereka tidak hanya menonton tetapi terlibat di dalam setiap adegannya. Semakin banyak penonton yang terlibat sebenarnya semakin sukses pertunjukannya.

“Itu bedanya dengan tata cara pertunjukan reog untuk festival,” kata Hariadi. Dalam festival, penonton sama sekali tak disentuh. Bagaimana bisa menyentuh jika reog dimainkan di panggung berjarak jauh dengan habitatnya. Padahal sehari-hari reog dimainkan di perempatan jalan. Tabuhannya yang monoton sebagai undangan agar makin banyak orang menonton. Inilah pertunjukan rakyat. Citra warok dan reog makin berorientasi pertunjukan panggung. Reog dinilai dari aspek dramaturgi, tarian, dan tata busana yang serba seragam, manis, dan gemerlap.

Mbah Bikan menanggapi dengan enteng. “Saya cuma mau main reog yang asli. Biar saja beda dengan peserta festival yang lain.” Hasilnya, saat pemerintah menggelar festival reog dan gerebek Suro pada 1994, kelompok Mbah Bikan tak pernah menang. Menyesalkah? Dia terkekeh. “Biar saja tidak menang tetapi kelompok saya main dengan cara yang kami yakini benar.”

Pengakuan Lewat Pendekatan Budaya (1)

Kok bisa-bisanya mengklaim reog sebagai budaya negeri seberang. Bukankah Ponorogo selalu lekat dengan entri kata reog? Meledaklah kemarahan karena merasa dikadali, dikalahkan dengan licin.

Meledak juga keinginan Mbah Sarminto agar pemerintah mengembalikan reog kepada Ponorogo. Pemilik Reog PTO -Reog Power Take Off- ini tidak mau tahu caranya. Pokoknya pemerintah harus tegas menghadapi klaim Malaysia yang menganggap Tari Barongan sebagai budaya asli mereka.

Harian Surya merespons konflik mengaku-ngaku budaya ini dengan membuat diskusi “Reog Milik Kita atau Malaysia” bersama Yayasan Desantara dan tokoh reog Ponorogo di kantor Redaksi Surya, Kamis (29/11). Keprihatinan warok, perajin atribut reog, pemilik perkumpulan reog, hingga praktisi muncul atas label yang muncul dalam tayangan pendek tentang Tari Barongan yang diklaim milik Malaysia.

Mbah Bikan Gondowiyono, mantan penari jathilan yang kini memiliki reog sendiri mengaku sedih melihat perkembangan reog yang tidak lagi mengikuti pakem. Karena digarap oleh orang yang makin cair dengan budaya “asli” reog Ponorogo, jadilah reog yang ada sekarang menjadi belang belontheng.

Sebenarnya para peserta diskusi sadar, seni seperti reog yang diyakini muncul saat Kerajaan Majapahit digdaya ini memang mudah diusung ke tempat lain karena komunitas reog ada di Jakarta, Surabaya, dan banyak kota lain. Shodiq Pristiwanto, salah satu juri saat Festival Reog Ponorogo tahun lalu mempersilakan orang mengembangkan reog di mana-mana tetapi sebaiknya disebutkan bahwa kesenian itu dari Ponorogo. “Hanya pengakuan seperti itu yang kami butuhkan. Toh tidak akan ada uang mengalir ke kantong kami dengan menempelkan asal kesenian ini.”

Budaya memang melintasi batas administrasi dan tidak akan bisa dibendung. Ini konsekuensi kemajuan zaman. Dede Oetomo yang pernah menulis tesis tentang Reog Ponorogo mengingatkan kemungkinan lintas wilayah ini. Apalagi menurut Mustofa Bisri dari Yayasan Desantara, di Johor, Malaysia, memang ada kampung yang didiami orang-orang dari Ponorogo.

Menurut Bisri yang selama beberapa bulan tinggal di Malaysia pada akhir 1990-an, ada satu jalan di Johor bernama Parit Ponorogo. Luasnya sama seperti jika Jember dan Lumajang disatukan. “Mereka hidup di sana sudah empat generasi tetapi tetap membawa nilai dari tempat asalnya, Ponorogo. Tidak heran bila akhirnya yang muncul pun kental dengan budaya Ponorogo termasuk reog.” Ketika ada festival kesenian rakyat, masyarakat di Parit Ponorogo juga menampilkan reog yang menjadi budaya nenek moyang mereka di Kuala Lumpur.

Diskusi makin menarik ketika Mbah Molok, perajin dhadhak merak dan seluruh kostum reog, mengaku memang sering mendapat pesanan dari Kalimantan Timur sejak 1976. Pesanan itu selalu dipenuhi lelaki berusia 84 tahun yang sekarang mewariskan keahliannya ini pada anak-anaknya. Pemilik nama asli Harjo ini tak akan menampik pesanan pembuatan dhadhak reog dan ubarampenya.

“Dengan ribut-ribut ini apa Mbah Molok masih tetap mengirim bila ada pesanan?” tanya Dhimam Abror Djuarid, Pemimpin Redaksi Surya.

Lha inggih,” jawab Mbah Molok polos. Mantap.

Sarminto yang juga menyediakan pembuatan pakaian reog langsung menukas. “Ya itulah. Seharusnya mengirim ke luar Ponorogo izin dulu sama dinas apalah yang mengurus.”

Suasana sempat menghangat. Tetapi Mbah Molok enteng mengatakan, jika tidak boleh mengirim ya tidak akan kirim. Selesai.

Tetapi persoalan tidak selesai dengan hanya tidak mengirim atau minta izin dulu. Tak ada yang bisa menghentikan keinginan orang untuk menikmati budaya lain. Ketakutan pengakuan negeri lain atas karya bangsa ini patut dipahami. Batik, tempe, angklung, lagu daerah, hingga sekarang reog pun dikantongi orang lain.

Memang menyedihkan tetapi Airlangga Pribadi, pengamat sosial, justru mengingatkan untuk bangga. “Eksistensi budaya kita diakui Malaysia. Buktinya mereka mengambil semua yang terbaik,” kata Airlangga. Tetapi kebanggaan ini juga harus diikuti dengan sikap waspada karena bukan tidak mungkin artefak bangsa ini bisa berpindah tangan. Apalagi dengan kapitalisme yang menjadi napas baru bagi banyak kalangan bisa menimbulkan destruktif budaya dengan partisi wilayah. Pemilahan wilayah ini sering membawa pemahaman berbeda padahal akar budayanya sama.

Harapan besar dari warok dan pekerja seni seperti Mbah Molok, Shodiq, Mbah Bikan, Mbah Sarminto, dan Hariadi disikapi dengan cara berbeda. Bukankah sebenarnya yang diinginkan adalah pengakuan bahwa reog berasal dari Ponorogo. Pendekatan politis tidak akan banyak mendapatkan hasil. “Justru dengan pendekatan budaya bisa dicapai kesepakatan menyelesaikan klaim ini,” kata Dhimam Abror.

Memoles Hijau di Penjuru Kota (3)

Bukit Timah. Hutan lebat dengan binatang buas di dalamnya. Tak ada orang yang berani menerabas masuk jika tak ingin setor nyawa. Inilah janggut lebat Singapura antara 1854-1862. Tetapi jangan pernah mencari janggut lebat ini sekarang. Bukit Timah sekarang tak lagi lebat karena dua sisi jalan mulus-lebar-bebas hambatan menghabisi pepohonan. Jangan pula mencari bukitnya walau namanya tetap Bukit Timah. Kini, daerah itu menjadi penghubung antara kota

Singapura dengan Bandara Changi.

Rasa keder ketika menyebut nama Bukit Timah yang ada dalam The Malay Archipelago tak ada lagi. Bukitnya habis dipotong untuk reklamasi laut, selain juga sempat mengimpor pasir dari Riau selama enam tahun.

Mohammad Bashir, salah seorang pemandu dari Singapore Tourism Board, mengatakan lahan yang ada di Singapura terbatas. Karena itu perlu menguruk laut supaya daratan lebih luas. Salah satunya di sebagian kawasan Bandara Changi.

Sebenarnya, ketika kendaraan meluncur dari Changi, wisata sudah dimulai. Mata orang masa kini akan langsung teduh begitu melihat pepohonan berjajar. Berjalan-jalan di siang yang terik juga bukan masalah. Pepohonan menyaring panas matahari sehingga orang tetap beraktivitas di luar ruangan. Kawasan teduh ini tentu tidak muncul begitu saja. Terbukti dari pepohonan yang ditanam dengan jarak sama di tengah dan tepi jalan di sepanjang jalan menuju Bandara Changi. Diameter pohon yang sepelukan orang dewasa menunjukkan umur tua. Paling tidak pepohonan itu sudah berumur 10 tahun. Cabang-cabangnya yang menjulur hingga nyaris menyatu dengan cabang di seberang jalan dipangkas rapi supaya tidak mengganggu pandangan. Pemilihan jenis pohon, penananam tepat, dan pemeliharaan menjadi salah satu kunci agar pohon tak mudah tumbang.

Menurut Singapore A Pictorial History, kampanye hijau dimulai mantan Perdana Menteri Lee Kuan Yew pada 1963. Pembangunan besar-besaran yang dimulai saat itu menyisakan bangunan beton yang kaku, membosankan, dan kotor. Upaya itu membuat pemerintah Singapura menggelontor jutaan dolar Singapura untuk mengolah sampah, membangun taman-taman, membersihkan sungai dan laut, serta menekan tingkat polusi. Inilah pengembangan berkonsep Garden City, Kota Taman.

Ruang teduh yang tak terputus menjadi kunci kota taman Singapura. Badan pertamanan di sana mengandalkan pohon dan rumput. Ini yang membuat seluruh ruang terbuka hijau seakan menjadi satu kesatuan. Sederhana kan cara Singapore National Parks (NParks) dan Urban Redevelopment Authority (URA) membangun ruang terbuka hijau (RTH). Lanskap karpet rumput dan pepohonan banyak disebut sebagai ciri khas taman gaya Inggris.

Menurut data kompas, satu hektare RTH mampu menetralkan 736.000 liter limbah cair hasil buangan 16.355 penduduk, menghasilkan 0,6 ton oksigen guna dikonsumsi 1.500 penduduk per hari, menyimpan 900 meter kubik air tanah per tahun, mentransfer air 4.000 liter per hari atau setara dengan pengurangan suhu 5-8 derajat Celsius, meredam kebisingan 25-80 persen, dan mengurangi kekuatan angin sebanyak 75-80 persen. Setiap jam, satu hektare daun-daun hijau menyerap delapan kilogram CO2 yang dikeluarkan 200 manusia.

Tak banyak bunga-bunga seperti di tengah kota Surabaya. Yang ada hijau, hijau, dan hijau. Bunga jarang sekali muncul kecuali di Changi atau di simpang jalan. Baru setelah terbentuk kawasan teduh (shaded area) kemudian dipikirkan membuat kawasan warna-warni (collorfull area) pada 1980-an. Warna pastel dan ngejreng sudah menyergap sejak keluar dari Changi. Gradasi kuning, biru, hijau di satu kawasan. Warna merah di tempat lain.

Di banyak jalan layang, beton raksasa penyangganya tak bisa dihilangkan. Supaya tidak membuat mata gatal, tanaman rambat seperti tanaman jenggot nabi sengaja ditempelkan. Jadi kesannya bukan jajaran beton melainkan pepohonan. Pohon beton. Semak-semak yang dipangkas rapi juga berusaha mengkamuflase pandangan karena si jenggot nabi belum merambati semua tonggak beton.

Keterbatasan tanah membuat warga Singapura rela tinggal di rusun agar mempunyai taman yang lebih luas untuk bermain atau berolahraga. Tentu rusun ini dibuat nyaman dengan teknologi yang membantu. Rakyat membayar mahal pajak. Imbalannya, masyarakat juga harus memiliki kemudahan transportasi publik, menuntut kenyamanan hidup dan kesejahteraan sosial termasuk di dalamnya keberadaan taman dan tempat untuk berolahraga.

Taman kota bukan hanya pelengkap. Justru RTH ini menjadi nilai jual. Supaya mudah dipahami masyarakat, misi pemerintah Singapura sederhana dibuat sederhana: begitu keluar rumah, Anda berada di taman. Taman tak perlu indah asal bisa digunakan banyak orang. Justru karena konsepnya sederhana, semua orang jadi terlibat.

Rusun dihuni 86 persen penduduk Singapura. Rusun yang sehat, hemat energi, dan mudah menjangkau seluruh kawasan di Singapura menjadi pilihan. Bahkan Bashir merasa heran saat ada sekelompok orang yang ngotot mendiami rumah-rumah kumuh ketika diminta pindah ke rusun. “Diatur jadi lebih baik tidak mau,” kata Bashir yang tinggal di rusun kawasan Pasir Panjang yang menyediakan lahan terbuka sangat luas dengan akses kendaraan umum yang sangat mudah.

Untuk yang satu ini bolehlah berlega hati. Surabaya sudah punya taman kota (bukan kota taman) yang cantik, Malang kaya pohon, Kebun Raya Purwodadi menabung tanaman. Kali ini tidak kalah.

Kampung Pionir Pembuka Singapura (2)

Akrab dan tak berjarak ketika masuk kawasan Chinatown, Singapura. Maklum, suasananya kental dengan aroma yang biasa dijumpai di Kembang Jepun, Surabaya. Tentu ada beda, bangunan di Chinatown benar-benar dijaga.

Jendela kayu berjalusi di tiap blok tidak dibongkar. Ketuaannya justru membuat Chinatown menjadi unik. Inilah kawasan bersejarah karena di kampung ini jantung Singapura dimulai. Komunitas Tionghoa pertama di Singapura mendiami tempat ini. Status konservasi diberikan pada 7 Juli 1989. Supaya tetap berbinar, dinding gedung tua dipoles lebih terang, jendela dipulas warna-warni.

Tenda baru ditata. Sepertinya tak ada yang bisa menghentikan orang-orang yang ada di kawasan ini. Tangan selalu bergerak, menyapa, menata. Hanya orang yang sudah sangat tua yang tampak sedikit santai. Ngobrol seru dengan nada tinggi. Trishaw bertopi hijau yang masih semarga dengan becak kita, melengkapi kawasan ini.

Melihat suasana sekarang, sulit dibayangkan awalnya kawasan ini sangat-sangat-sangat kumuh. Perkampungan ini dimulai 1819 ketika pendatang pertama dari Xiamen, Provinsi Fujian, Tiongkok masuk. Mereka membangun perumahan di bagian selatan Singapore River yang sekarang dikenal sebagai Telok Ayer. Makin lama pendatang makin banyak padahal perkampungan tidak mekar. Akibatnya, daerah ini menjadi berjejal dan kumuh.

Mengubah kebiasaan hidup lebih rapi dan sehat sangat sulit. Housing and Development Board (HDB) akhirnya memutuskan mengubah daerah slum ini pada 1 Februari 1960.

Hampir 15 tahun diupayakan tetapi kawasan ini tetap saja berjubel. Baru pada 1975 sebuah badan baru di bawah Ministry of National Development dibentuk melanjutkan upaya HDB. Penduduk diminta pindah ke flat-flat yang dibangun pemerintah. Sampai akhir 1970 ada enam kawasan flat baru yang dibangun yaitu Yishun, Hougang, Jurong East, Jurong West, Tampines, dan Bukit Batok. Kawasan yang ditinggalkan kemudian dibedaki dan diberi “lisptik”. Jadilah sebuah daerah yang rapi tanpa meninggalkan sisi eksotis bangunan tua.

Sejarah ini masih bisa direkam di sepanjang Chinatown. Jika ingin lebih dekat, masuk saja ke Chinatown Heritage Centre di Pagoda Street 48. Dari depan seperti toko suvenir tetapi setelah masuk ruang tengah, ada ruang gelap yang “menangkap” pengunjung untuk dilempar ke masa lalu, ketika para pionir Tionghoa membuka hidup di tempat ini.

Dengan ramah petugas menyilakan masuk. “Mari lihat sejarah,” ajak perempuan lencir bergaun cheongsam. Tetapi melihat ruangan gelap, sulit mengikuti langkahnya masuk ke ruang dalam. Dari pintu tengah terlihat lukisan wanita cantik dan beberapa benda kuno. Muram dan misterius. Jujur saja, lebih nyaman berjalan di luar dengan sinar matahari dan aneka suvenir. Harga barang di sini nyaris sama, three for ten. Tentu tidak berlaku untuk syal sutera, barang antik, atau batu giok yang dijual orang Myanmar.

Bisa dimaklumi bila Chinatown menjadi salah satu ikon negara. Singapura memiliki komposisi 77 persen Tionghoa, 14 persen Melayu, dan 8 persen India. Meski begitu, bukan hanya bangunan tua di Pecinan yang dilestarikan sebagai aset wisata. Sekitar 5.000 bangunan tua di Singapura masuk status konservasi. Di dalamnya tercakup Kampong Gelam yang dihuni orang Melayu, Little India, dan Boat Quay.

Tak ada yang tidak bisa menghasilkan uang. Lebih dari separo bangunan disulap menjadi kantor, hotel, restoran, toko, dan sebagian kecil tempat tinggal. Bersanding dengan gedung modern yang adu jangkung, kawasan tua ini menjadi sisi lain dari “mata uang” bernama Singapura. Kekhasan etnis dibiarkan bertahan. Little India dengan Mustafa Center menjadi magnet wisatawan yang ingin mencari barang dengan harga relatif murah –walau tetap mahal untuk ukuran rupiah- menjadi negeri India di tengah kota.

Pagoda Street menjadi lorong unik dengan kuil Hindu Sri Mariamman yang megah di tikungan jalan. Tak jauh dari kuil ada Masjid Jamae rancangan George Coleman yang didirikan tahun 1800-1835. Masih ada Al Abrar Mosque yang dibangun tahun 1827 bermotif Islam India. Nah, ini masih dilengkapi dengan Thian Kock Keng Temple. Kurang plural apa coba?

Berjalan di jalur unik ini memaksa telinga lebih konsentrasi. Di Chinatown akan disapa dengan bahasa Inggris dialek Mandarin yang sering menyertakan bunyi “ah” di akhir kalimat. Bergeser ke dekat kuil ganti bahasa Inggris dengan logat India. Nadanya yang agak ngetril diikuti gerak kepala lenggut-lenggut menjadi sapaan akrab.

Inilah pluralisme ala Singapura. Di Chinatown tempat ibadah berdekatan, lapak-lapak pun berjajar. Tak ada secuil tempat pun yang dibiarkan sia-sia. Segalanya bisa disulap menjadi tempat wisata menarik yang tentu saja mendatangkan uang.

Mesin Uang dari Tepi Sungai (1)

Kevin Pang memperlambat mobil. Lelaki yang mengantar wisatawan ini tidak mengeluh tetapi berkali-kali mendengus kesal. Jalan raya mulai padat. Mobilnya harus merayap. Dalam kondisi normal, tak ada kamus macet di Singapura, kecuali akhir pekan.

Jumat sore menjadi hari “mengerikan” bagi warga Singapura. Kota mulai hiruk-pikuk. Libur akhir pekan datang. Justru yang “mengerikan” itu yang mendatangkan untung.

Ingar-bingar klakson impas dibayar dengan kedatangan wisatawan, terutama dari Indonesia. Jangan sedih dulu jika disebut sebagai warga negara miskin. Berkaca dari Bandara Changi, Singapura, siapa bilang Indonesia miskin?

Singapura memang bukan lagi negeri asing. Dia seperti bagian dari Surabaya karena dalam dua jam bisa didatangi bahkan lebih cepat daripada jika pergi ke Malang lewat Porong. Wisatawan dari Surabaya sebanding dengan jumlah mereka yang berangkat dari Jakarta ke Singapura. Dan harap maklum jika kemudian muncul angka mencengangkan.

Menurut Singapore Tourism Board (STB) jumlah kedatangan turis asing ke Singapura selama 2006 mencapai 9,7 juta wisatawan. Dari jumlah itu, 1,92 dari Indonesia atau sekitar 20 persen. Selama 2006 total pengeluaran turis asing selama berwisata di Singapura mencapai 12,4 miliar dolar Singapura (SGD). Nah, 20 persennya dari kantong Indonesia. Warga Surabaya dan sekitarnya menyumbang hampir setengahnya. Karena itu Indonesia menjadi pasar potensial bagi Singapura. Tahun ini, rata-rata wisatawan Indonesia menghabiskan uangnya hingga sekitar 800 SGD atau sekitar Rp 5,2 juta per orang per hari selama berlibur di Singapura.

Singapura menjadi gula-gula yang tak pernah membosankan.

***

Gudang dengan dinding sengaja disemen tanpa plamir berwarna putih mangkak terasa lembap saat disentuh. Pintunya dari kayu utuh dengan cat yang dibiarkan mengelupas. Supaya mudah dibuka, gerendel dibuat di atas. Agak gelap di dalam. Dingin dan misterius seperti masuk gudang tempat para pencoleng. Begitu masuk, ruang dengan panjang sekitar 10 meter itu sepi. Hanya ada kolam kecil dan tangga dari kayu.

Tangga curam ini yang mengantar tamu ke ruang sebenarnya, ruang makan. Bau rempah-rempah khas India sedikit membuat merinding. Apalagi di tengah lampu temaram itu sosok berkulit gelap dengan suara berat menyambut, tanpa senyum. Sorot matanya tajam, setajam citarasa masakan India yang pedasnya menggigit, asamnya menggigit, dan aromanya menggigit.

Inilah gudang beras yang kemudian diubah menjadi restoran Coriander Leaf. Dari lantai dua tercium bau masa lalu. Tumpukan beras pasti menggunung di sini supaya tidak terjangkau air bila sungai pasang. Juga agar jauh dari tangan maling. Bau apeknya masih tercium di antara sengatan aroma masakan India.

Di depan Coriander Leaf mengalir Sungai Singapura. Tongkang lalu lalang. Sama persis dengan masa di tahun 1873-1914. Sungai menjadi nadi bagi Singapura masa lalu dan kini. Ketika kapal berlabuh di pelabuhan, tongkang akan mengambil dan menyimpan hasil bumi di gudang-gudang sepanjang sungai untuk kemudian dijual lagi. Dari hasil makelaran inilah kekayaan datang. Gudang-gudang ini ada di Clarke Quay.

Stamford Raffles, penguasa pertama yang mengklaim telah membangun Singapura sejak 24 Januari 1819 melihat ini kekuatan dagang yang luar biasa. Singapura tidak punya alam yang bersahabat untuk menumbuhkan bahan pangan. Raffles mengerahkan 120 budak yang dibawanya dan menurunkan prajurit India untuk mengawasi. Menurut buku Singapore, A Pictorial History 1919-2000, ini berlangsung sejak 1873-1914.

Pada 1900-an daratan penyangga gudang ini direklamasi. Apalagi Hongkong and Shanghai Bank mulai berdiri di tepi sungai, mendekati pusat perdagangan. Bau wangi uang membuat acara bongkar muat makin tidak populer. Apalagi ketika Marina South dan Marina Central di pertengahan 1970 menjadi kawasan perdagangan. Pemerintah Singapura terus memoles sungai dan menghasilkan lebih banyak SGD.

Sekarang tempat perdagangan yang paling sibuk di Sungai Singapura ini beralih fungsi. Sama-sama berdagang tetapi dagang wisata. Seluruh gudang dipoles. “Bahkan ada tempat ibadah yang kemudian menjadi pub Indo China, tempat ber-jib-ajib turis,” kata Moh Bashir dari STB. Supaya tetap hidup, sepanjang Clarke Quay sudah dipasang atap tembus pandang. Jadi tak peduli hujan wisatawan tetap bergentayangan.

Sudut menikung dermaga yang membuat Kevin Pang mendengus ini menjadi kawasan paling riuh. Clarke Quay diberi nama seperti gubernur kedua Singapura, Andrew Clarke. Musik jazz dari resto-resto di Clarke Quay ingin memberi kesan romantis. Sedikitnya terdapat 14 restoran berkelas internasional di sini. Setelah dibenahi dan menghabiskan biaya sedikitnya 15 juta SGD atau lebih dari Rp 97 miliar, inilah tempat nongkrong favorit kaum yuppies Singapura juga wisatawan.

Jadi ingat Jl Kayun Surabaya. Di Kali Surabaya ada aktivitas bongkar muat sayuran. Hotel Brantas pun sempat menikmati masa silir-silirnya angin sungai ini. Bahkan Kayun dipoles menjadi tempat makan dan nongkrong yang adem. Tak beda, bukan? Sekarang silir-silir berganti dengan bau busuk sisa sayuran. Tempat makan di Kayun juga sudah diberi aba-aba hengkang. Dan Kali Surabaya, ah… sama-sama tahulah.

Mengawal Tim Medis Menyisir Bengawan Solo

Beberapa anggota tim medis terdiam ketika kami jemput dengan dua perahu di tambangan Pasar Babat, Bojonegoro. Gerimis sudah berhenti walau titik airnya sesekali turun. Tak ada pilihan lain, ke-17 petugas kesehatan itu akhirnya mau melangkah ke perahu yang tampak ringkih.

Perahu kecil sederhana dengan alas susunan bambu ini memang satu-satunya penghubung menuju Desa Lebaksari, Kecamatan Bourno, Kabupaten Bojonegoro. Lebarnya tak sampai satu meter. Panjangnya sekitar lima meter. Sebenarnya cukup lumayan sebagai sarana angkutan di hari normal, tidak saat banjir bandang seperti ini.

Seluruh akses jalan darat tertutup air. Perahu ala kadarnya inilah yang menjadi tumpuan.

Ketika dipersilakan masuk perahu, gerakan ragu-ragu terlihat dari tim medis. Tetapi tak ada jalan lain. Kedatangan mereka malam ini, Rabu (9/1), sudah ditunggu penduduk yang ingin mendapat pengobatan gratis setelah berminggu-minggu terendam banjir.

Akhirnya semua orang sudah masuk dalam dua perahu. Duduk berjajar. Satu tangan berpegangan di bibir perahu, tangan yang lain menahan obat dan peralatan medis agar tidak terbentur-bentur. Sekitar pukul 21.00 WIB dua perahu penuh muatan orang dan obat-obatan bergerak sangat pelan.

Jika saat berangkat, kami yang menjemput hanya butuh waktu 20 menit, sekarang perjalanan berlipat lamanya. Selama 45 menit kami harus melawan arus dengan beban berat. Tak ada yang berbicara walau sempat mencoba bercanda. Ketika senter dinyalakan sesaat, tampak bibir berkomat-kamit, berdoa.

Tim medis memang sudah siaga dengan sepatu bot tetapi tak ada yang mengenakan pelampung. Kami pun tidak. Saya hanya mengenakan sandal jepit, dan sudah lupa cara berenang.

Bisa dimaklumi jika semua merasa ngeri. Bengawan Solo bukan sembarang sungai saat ini. Luapan sungai paling panjang di Jawa ini menenggelamkan wilayah mulai dari Solo hingga Gresik. Semua daerah yang dilewati diterabas hingga terendam. Dan kemarin, ketika bulan sama sekali tak tampak, kami harus menyusuri bengawan ini dalam gelap. Senter atau lampu memang tak sebaiknya dinyalakan karena “nakhoda” perahu bisa silau dan salah arah. Jika salah arah bisa langsung ke laut.

Dua kali motor tempel milik Sun’an, salah satu “nakhoda”, mati ketika akan berangkat menjempur. Terombang-ambing sebentar di tengah bengawan, akhirnya ledakan api dari busi sanggup membuat motor kembali menyala. Tentu kejadian ini tak kami ceritakan pada tim kesehatan karena mereka akan semakin gemetaran. Dalam gelap tak tampak jika sebenarnya kami juga agak pucat karena khawatir.

Pukul 22.00 WIB perahu merapat ke barongan, sekumpulan bambu di tepi sungai. Di musala sudah berkumpul lebih dari 100 warga dari Desa Lebaksari. Beberapa orang ingin disuntik agar sehat. Dengan cepat ke-17 petugas kesehatan dari Yayasan Bangun Sehat Indonesia pimpinan dr Isnin, Terminal Petikemas Surabaya, dan Kosgoro 57 Jatim menangani warga. Bantuan yang diberikan tim ini sangat membantu aktivitas Surya Crisis Center (SCC) membantu korban banjir. Saya dan teman-teman dari SCC sudah datang sejak Maghrib.

Haji M Thalhah Gozali, Kepala Desa Lebaksari, Kecamatan Bourno, Bojonegoro, mengaku warganya masih trauma karena air bah ini bisa datang lagi ketika hujan deras kembali mengguyur. Banjir yang menenggelamkan Desa Lebaksari setinggi 1,5 meter itu telah memupuskan harapan panen padi yang menjadi satu-satunya tumpuan hidup mereka. “Saya minta warga untuk tetap waspada karena biasanya banjir datang di akhir musim hujan. Ini masih awal musim hujan, jadi kami khawatir akan terjadi banjir lagi,” tutur Gus Mat, begitu kepala desa ini disapa. Desa Lebaksari merupakan salah satu desa terparah di Bojonegoro yang diterjang banjir dan tenggelam selama seminggu.

Hasil pemeriksaan kesehatan oleh tim medis menyebutkan, rata-rata penduduk mengalami trauma bencana yang cukup serius. “Keluhan rata-rata pegal-pegal dan ngilu. Ada sebagian yang mengalami gangguan ISPA. Ini karena mereka harus bekerja keras ketika menyelamatkan diri dari banjir,” terang Isnin. Di samping trauma bencana, karena kekurangan air bersih, masyarakat mulai terserang diare. Genangan air yang masih ada di mana-mana membuat penyakit kulit dan demam melanda.

Pengobatan massal usai menjelang tengah malam. Penduduk yang menunggu sejak sore pulang dengan wajah puas karena sudah diperiksa mbak dan mas dokter. Ada juga yang minta disuntik supaya cepat sembuh. Lega rasanya melihat mereka yang sangat membutuhkan bantuan pengobatan akhirnya bisa membawa pulang aneka vitamin, obat batuk, obat diare. Asal sudah disentuh tangan mbak dan mas dokter, sugesti sembuh sangat membantu.

Kembali ke Surabaya, kami diantar beberapa penduduk di tepi barongan yang lumpurnya siap mengisap kaki hingga ke lutut.

Anggota tim medis perempuan memilih menyeberang ke tepi desa yang berjarak 40 meter. Setelah itu mereka naik mobil berputar dan bertemu lagi di tambangan Pasar Babat. Tim medis laki-laki tetap bersama kami menyisir Bengawan Solo hingga tambangan.

Tepat pukul 24.00 WIB seluruh rombongan kembali menyisir Bengawan Solo. Bulan tetap tidak muncul. Ketika banyak orang melekan menikmati 1 Muharram atau 1 Suro dalam tahun Jawa, kami juga menikmatinya di atas perahu di Bengawan Solo. Dengan waswas.