17 November 2008

Kasta dalam Bemo

Apa nikmatnya naik angkutan umum? Selama punya banyak waktu, selalu ada yang bisa dinikmati. Bemo, begitu orang Surabaya menyebut angkutan kota ini meski bentuknya tak mirip dengan bemo roda tiga, selalu penuh cerita.
Duluuu, ketika masih menjadi pekerja pagi-sore, acara duduk di bemo menjadi pemandangan segar. Jika berangkat sekitar pukul 07.00 WIB pasti tebaran parfum aneka merek memenuhi bemo. Penumpang bemo kebanyakan kaum perempuan dan pada jam itu adalah pekerja. Saya selalu perhatikan betapa warna merah yang dioleskan di bibir tak ada yang sama.
Duduk berderet enam orang atau tujuh (jika sopir bemo serakah) masing-masing perempuan itu memoles bibir dengan lipstik. Gradasi merah aneka tingkatan. Karena rata-rata tinggi badan sama, jika mata sedikit dijulingkan, yang tampak hanya bibir aneka merah. Bemo lyn V yang paling wangi karena melewati pusat perbelanjaan dan perkantoran.
Bemo juga memiliki kasta. Bemo yang paling menyebalkan dalam menerapkan kasta penumpang adalah bemo lyn P jurusan RSU Dr. Soetomo/Universitas Airlangga. Di Terminal Joyoboyo selalu ada makelar di masing-masing lyn yang berteriak-teriak memanggil penumpang. Salah satu makelar yang galak ada di bemo P ini.
Makelar berusia 50 tahun lewat itu sangat tegas. Dia yang berhak mengatur posisi duduk penumpang dan bukan penumpang yang memutuskan ingin duduk di sebelah mana. Sang makelar menerapkan sistem kasta pada penumpang. Di deretan bangku panjang menghadap pintu diisi tujuh, di bangku berlawanan diisi empat. Ada satu dingklik mepet pintu memunggungi bangku sopir yang diisi dua penumpang.
Makelar bemo lyn P itulah yang berkuasa menerapkan jatah bangku. Semua berdasarkan kasta. Penumpang kasta tertinggi duduk di bangku depan bersama sopir dengan dua penumpang, kasta kedua di bangku panjang berisi tujuh, kasta ketiga ada di bangku berisi empat penumpang, dan kasta terendah adalah penghuni dingklik.
Yang duduk di bangku depan adalah mereka yang datang lebih dulu. Kasta kedua yakni anak sekolah, mbak-mbak pekerja yang rata-rata bertubuh langsing, mahasiswi lencir, pokoknya yang bertubuh mungil dan ringkas. Kasta berikutnya yang duduk di bangku berempat adalah para pemilik bodi sedang. Nah, kasta terendah yang kebagian dingklik hanya untuk mereka yang ukuran bokongnya luas.
Betapa sakit hati saya ketika suatu ketika sang baginda makelar itu menyilakan dengan wajah datar tanpa senyum duduk di dingklik. Saya hendak protes karena hati kecil saya berontak dikatakan supergendut. Tetapi sang makelar lempeng saja. Tak ada yang bisa menolak pengaturan itu. Jika menolak, dia tak segan-segan meminta kesediaan penumpang untuk mematuhi dengan tegas. Daripada bengkerengan, memang lebih baik menurut karena toh (saya akui) duduk jadi lebih nyaman karena tak ada yang terjepit.
Sabtu (15/11) saya sempat gembira karena naik kasta. Saya diminta duduk di bangku berisi empat penumpang. Lumayan, setingkat lebih hebat daripada duduk di dingklik. Ini berarti ukuran badan saya dianggap moderat. Tetapi yang membuat heran, anak berseragam SMP justru duduk di kasta terendah. Aneh.
Rasa gumun saya terjawab. Setelah anak SMP itu duduk, sang baginda makelar meminta seorang ibu duduk di dingklik, kasta paling bawah dalam bemo. Alamak, ibu itu punya ukuran triple L. Waduh, bukan saya yang mengecil sehingga naik kasta melainkan ada orang lain yang lebih luar biasa dibandingkan saya.