28 Desember 2009

Ramalan Kiamat 2012, Bantahan Doomsday Meluncur (2)

Kamis, 19 November 2009
(Telat mengunggah. Ini dimuat di Harian Surya pada tanggal di atas.)

Awalnya buku tentang Kiamat 2012 adem-ayem penjualannya. Tetapi begitu Kiamat 2012 Investigasi Akhir Zaman karya Lawrence E Joseph terbitan PT Gramedia Pustaka Utama (GPU) laris, ajaibnya, hampir selusin buku dengan tema sama langsung terpajang di toko buku.

Keingintahuan tentang film 2012 membuat tiket di bioskop jadi barang langka. Bahkan kemarin, tiket untuk menonton di Surabaya hingga midnight sudah dipesan habis. Ini berimbas juga pada rasa ingin tahu melalui buku.

Di luar buku terbitan GPU, sejumlah buku serupa juga mulai diburu. Penerbit A+plus, Pustaka Salomon, Edelweis juga mengeluarkan buku bernapas sama. Satu penerbit bisa mengeluarkan beberapa buku sekaligus dengan tema serupa. Bahkan penerbit A+plus yang mengeluarkan End of Times 2012 yang baru diluncurkan pertengahan tahun ini, sudah dicetak kali kedua Agustus 2009.

Lebih hebat lagi buku Kiamat 2012 dari penerbit yang sama. Buku yang ditulis Salman Alfarizi ini bahkan sudah lima kali cetak ulang sejak Mei 2009. Berarti setiap bulan penerbit ini mencetak ulang.
Isi buku-buku ini juga beragam. Buku-buku ini menyodorkan fenomena alam, ilmu pengetahuan, hingga merakit informasi dari berbagai situs di internet. Daftar pustaka dalam sebuah buku yang isinya 131 halaman mencantumkan 40 sumber. Sebagian besar diambil dari internet dan hanya 13 sumber yang diambil dari koran dan dua buku.
Saat ini penerbit Mizan tak mau ketinggalan, siap bersaing dengan buku yang sudah lebih dulu meluncur. Mizan mengeluarkan Doomsday 2012.

Di 33 toko buku jaringan Toga Mas, penjualan buku-buku di luar buku GPU terbilang laris. Johan Budi Sava, CEO Toga Mas, mengaku jika buku tentang kiamat 2012 ini memang belum semeledak Harry Potter, Ketika Cinta Bertasbih, atau Twilight.

”Angkanya baru mencapai 1.000 eksemplar tetapi ini baru saja terbit dan beredar. Diperkirakan penjualan naik pesat hingga film usai diputar,” kata Johan di Malang, Rabu (18/11). Perhitungan Johan, seperti penjualan buku lain yang didukung filmnya, buku tentang kiamat ini masih punya ‘nyawa’ panjang.

Asnani, 23, yang ditemui di Royal Plaza Surabaya menenteng dua buku tentang kiamat 2012 terbitan Aplus. ”Saya mencari Kiamat 2012 Investigasi Akhir Zaman terbitan GPU, tetapi sejak kemarin tidak ada. Bukunya habis. Daripada tidak membaca, saya ambil buku lain yang temanya sama,” kata mahasiswa Universitas Airlangga ini kemarin.

Peluang kekosongan buku dari satu penerbit yang tengah dicari-cari menjadi peluang bagi penerbit lain untuk menyodorkan buku serupa. ”Selalu saja jika ada buku laris, tak lama kemudian akan muncul buku yang mirip,” kata Johan.

Seperti biasa juga, buku tandingan sudah siap mencuri perhatian. Saat ini kelompok penerbit Kanisius Jogjakarta tengah menyiapkan buku bantahan tentang kiamat yang diramalkan suku Maya di Guatemala akan berlangsung 2012 itu. Penulis yang juga astronom dari Bandung, A Gunawan Admiranto, siap menandingi ramalan itu dengan bukunya Kiamat 2012 Omong Kosong.

Menikmati Gurihnya Buku ‘Akhir Zaman’ (1)

Rabu, 18 November 2009
(Telat mengunggah. Ini dimuat di Harian Surya pada tanggal di atas.)

Bangsa Maya kuno yakin tanggal 21/12/12 adalah zaman baru, dalam fakta vital sekaligus dalam perhitungan kalender. Mereka percaya tanggal ini paling sakral, paling berbahaya, sekaligus paling menguntungkan.

Bangsa Maya terobsesi pada waktu. Selama berabad-abad mereka menciptakan paling tidak 20 kalender, disesuaikan dengan berbagai siklus mulai dari kehamilan hingga panen, dari bulan hingga Venus yang orbitnya dikalkulasi dengan sangat akurat, hanya selisih satu hari dalam 1.000 tahun.

Lawrence E. Joseph datang ke Guatemala menemui dua bersaudara Carlos dan Gerardo Barriors, dukun suku Maya dari Guatemala untuk mengevaluasi kepercayaan dan prediksi itu. Meski Lawrence banyak dituding membuat onar karena membagi keingintahuannya tentang astronomi suku Maya, dia dengan tegas menyatakan bukan penggila bencana meski ramalan suku Maya menyatakan bencana besar akan terjadi karena bumi ini sudah makin tua.

Ketika dicetak Oktober 2008, buku Kiamat 2012 Investigasi Akhir Zaman karya Lawrence E. Joseph terbitan PT Gramedia Pustaka Utama (GPU) disambut hangat. Dalam tempo dua bulan, buku ini sudah dicetak ulang. Untuk buku seharga Rp 50.000, ini termasuk laris manis. Apalagi awal tahun ini sudah beredar informasi bahwa film 2012 yang diangkat dari buku ini akan dirilis.

Tak perlu menunggu lama, buku dicetak untuk kali ketiga April 2009. Hanya butuh tiga bulan untuk menembus kriteria buku sangat laris. ”Makin mendekati peredaran film, buku pun makin diburu,” kata Yulie Dwi Kurniasari dari GPU. Perburuan buku ini di toko buku Gramedia di Royal Plaza Surabaya sudah dimulai dua bulan yang lalu. Bahkan Selasa (18/11) seluruh persediaan Kiamat 2012 Investigasi Akhir Zaman ludes.

Isu pemanasan global ikut mendongkrak minat orang pada buku ini. Menurut M.A. Hary Puspadewi, Kepala Toko Buku Gramedia Matos, Malang, dalam waktu sebulan bukunya sudah terjual lebih dari 100 eksemplar. ”Minat orang makin tinggi karena isu pemanasan global dan ketika filmnya diputar,” kata Dewi. Diperkirakan booming buku ini masih cukup tinggi karena filmnya juga masih terus diputar.

Yang ingin menikmati gurihnya penjualan buku yang berhubungan dengan ramalan 2012 ini cukup banyak. Paling tidak, ada enam penerbit yang mengeluarkan buku serupa. Yang tampak di toko buku antara lain End of Times 2012, Fakta-fakta Menjelang Kiamat 2012, Kiamat 2012, Kiamat 2012: Heboh Seputar Ramalan, Kontroversi Kiamat 2012, dan lain-lain. Dengan memasang harga Rp 26.000 hingga Rp 50.000 buku-buku ini dicari.

Bagaimana tidak, menurut Ignatius Ariyanto dari GPU, Kiamat 2012 Investigasi Akhir Zaman yang dicetak 25.000 eksemplar sudah terjual 24.000 buku. ”Memang, buku ini masih kalah jauh dari The Secret yang tetap menjadi jawara dengan cetak ulang 20 kali dan terjual lebih dari 100.000 eksemplar,” kata Ariyanto.

Salah satu buku yang juga banyak dicari, End of Times 2012 terbitan APlus, berusaha menerjemahkan mitos ini dengan dalil-dalil sains. Penulisnya, Sutan Surya, mengklaim bukunya merupakan komparasi, informasi fakta, dan data dari ramalan itu. Hampir tidak ada lagi bidang yang kosong dari ramalan, prediksi, dan keyakinan maupun sekadar pendapat tentang bencana besar yang akan terjadi.

Surya menulis tentang Bumi yang kini berumur sekitar 4,54 biliun tahun. Buku ini merasionalkan ramalan yang disodorkan suku Maya, antara lain tentang tsunami Aceh dan Sumatera Utara, 26 Desember 2004.

Ketika semua orang ribut membicarakan berbagai kemungkinan setelah menonton film 2012, Lawrence dalam bukunya justru menyatakan tidak percaya jika dunia akan berakhir pada 2012. Dia juga tidak yakin akan terjadi kekacauan besar akibat bencana nuklir habis-habisan berskala Perang Dunia III atau tumbukan meteor seperti yang diyakini telah memusnahkan dinosaurus.

”Sebagai ayah dua anak kecil yang manis, saya tidak sanggup meyakini hal semacam itu. Tidak sanggup menghadapi kemungkinan bahwa semua orang dan segala hal yang pernah disayangi pun bisa musnah,” kata Lawrence dalam bukunya.

Dia menambahkan, saat ini yang dilakukannya adalah mengumpulkan fakta dan mempresentasikan bukti yang dibutuhkan untuk mengungkap realitas 2012.

27 Desember 2009

Istana Anak-anak






Sejak pagi sudah sepakat untuk tidak kemana-mana. Selagi libur, ingin menikmati rumah. Biasanya rumah hanya untuk singgah. Dalam 24 jam sehari, paling-paling ada di rumah tujuh jam. Pulang larut malam, menyelesaikan tugas dan makalah atau buku, tidur. Bangun subuh dan gubrak-gubrak-gubrak pukul 07.00 WIB berangkat. Seminggu dua kali bahkan nunut suami berangkat pukul 06.00 WIB.

Hei… apa fungsi rumah?

Yang jelas, di sinilah saya merasa menjadi bagian dari tetangga meski tak tiap hari bertemu mereka. Paling-paling cuma tahu ada beberapa bapak yang menikmati malam di pos depan rumah. Itu pun saya tak pernah menyapa wong memang mata saya tidak bisa melihat siapa yang ada di sana. Kalau sudah begini saya mengandalkan telinga untuk mendeteksi siapa saja yang tengah berbincang-bincang.

Sejak dua minggu lalu, di depan rumah –pinggir sungai—diratakan. Di sana dipasang paving sehingga menjadi lapang dan bersih. Baru hari ini saya menikmati lahan baru ini. Awalnya, Pak Keket dan Mbak Anik –tetangga sebelah—punya ide meluaskan lahan yang dipaving karena sudah ada tiga petak yang diratakan. Saya sih setuju-setuju saja apalagi masih ada pasir dan batu bata sisa renovasi rumah kecil-kecilan.

Saya yang membeli paving dan membayar pak tukang, Mbak Anik yang menego tukang dan akhirnya dia juga yang ngopeni pak tukang dengan makan-minum. Saya? Ngopeni diri sendiri saja kelabakan apalagi harus ngopeni tukang. Nego sederhana pun jadi. Bahkan Pakde, pak tukang senior, langsung mengukur tanah dengan ranting untuk menentukan paving yang harus saya beli. Paving datang, beres.

Pengerjaannya mengingatkan saya pada Roro Jonggrang. Selepas Maghrib, Pakde dan dua tukang yunior langsung meratakan tanah. Saya hanya tahu tanah di pinggir sungai depan rumah itu sudah rata ketika pulang sekitar pukul 23.00 WIB.

Esok malamnya, paving dipasang. Pak Keket memberikan kayu bengkirai bekas blandar teras dan beli semen. Kayu keras ini menjadi dingklik panjang. Hari ketiga semuanya beres. Mereka bekerja tanpa disentuh matahari. Bukan karena ini ritual pesugihan tetapi karena pagi hingga sore mereka harus mengerjakan rumah tetangga.

Nah, sekarang Sabtu (26/12) –meski tulisan ini diunggah dini hari Minggu (27/12)—saya thenguk-thenguk menghadap sungai yang airnya mengalir deras. Di seberang sungai, glagah tumbuh tinggi. Glagah ini menjadi tempat ayunan burung-burung liar. Burung-burung ini begitu genitnya. Jika ada geluduk alias guruh, mereka semburat beterbangan untuk kembali hinggap. Begitu seterusnya. Sayangnya, saya begitu terkesan melihat mereka terbang hingga hanya satu jepretan kamera yang bisa menangkap burung yang buyar itu.

Lahan baru ini langsung menjadi tempat bermain baru bagi anak-anak. Mereka menirukan Benteng Takeshi dan Ninja Warrior di televisi. Rintangannya mulai dari menggelantung di dahan mangga, memanjat batang terendah dan meloncat turun, meloncati bangku, meniti batu bata, (dengan bandelnya) berjalan di atas dua kursi-meja taman, hingga meniti dingklik baru, dan kemudian bergegas membunyikan bel sepeda.

Suara mereka selalu ramai. Saya selalu menikmati gembira mereka dari rumah, sambil menyelesaikan editan buku atau mengerjakan tugas ketika libur Sabtu. Tetapi ada juga acara favorit mereka di lahan itu: upacara.

Yang ini benar-benar upacara. Ada MC, pengibar bendera (tanpa bendera), dirigen, inspektur upacara, petugas pembaca doa, petugas pembaca Pembukaan UUD 1945, dan... ada peserta upacara. Suara MC mirip dengan pemandu acara ketika upacara 17 Agustus di Istana Merdeka. Inspektur upacaranya benar-benar dipilih yang paling senior di antara anak-anak. Inspektur upacara ini bahkan juga memberi sambutan upacara yang dulu selalu membuat saya memilih pura-pura pingsan supaya bisa leyeh-leyeh di UKS hingga guru curiga karena setiap upacara saya pingsan.

Nah, dirigennya ini yang asyik. Dia benar-benar memimpin beberapa peserta upacara (biasanya anak-anak yunior banget) untuk menyanyi. Gayanya meyakinkan. Yang menyanyi juga serius. Kadang-kadang acara menyanyi ini dilanjutkan dengan menyanyi bebas. Benar-benar bebas karena lagunya bisa dari ST12, d’Massive, Afgan, Duo Virgin, pokoknya sesuka yang memimpin. Biasanya setelah menyanyi-nyanyi ini upacara otomatis buyar, diganti dengan ’karaoke’ bersama. Seru.

Saya sering perhatikan, selalu ada anak yang ingin menonjol. Selalu ada anak yang ingin jadi pemimpin terus, sebaliknya ada juga anak yang cenderung jadi pengikut. Inilah enaknya mata dewasa melihat mereka. Saya senang karena lahan di depan rumah menjadi istana untuk mereka. Istana bermain anak-anak.

Lahan baru ini memang tidak dimaksudkan untuk siapa-siapa. Jika ada anak-anak yang memakainya untuk bermain, saya senang sekali. Lahan ini juga bukan milik saya karena memang tanah developer. Semuanya jadi bersih karena Mbak Indi –mbak di rumah Pak Keket—yang rajin menyapu. Bahkan kemarin Pak Keket yang menyapu dan saya yang thenguk-thenguk. Saya kurang ajar banget, ya. Hehe.

Pohon mangga besar di depan rumah dulunya memang dibeli agar setiap rumah punya pohon mangga sehingga tidak saling kemecer melihat mangga tetangga. Mangga manalagi di depan rumah de jure memang atas nama saya tetapi de facto ini milik para mbak yang bekerja di rumah Mbak Anik. Merekalah yang menyapu dan membersihkan daun-daunnya. Ketika panen raya, mereka juga yang sebenarnya berhak meski kemudian semua mangga dibagi rata untuk seluruh tetangga.

Lahan di depan rumah menjadi perpanjangan halaman yang memang sempit. Saya senang glagah tumbuh tinggi menutupi rumah-rumah baru jauh di seberang sungai. Dengan glagah tinggi, pemandangan tetap seperti di pinggiran kota. Saya yakin para burung genit itu sepakat, juga nyambik alias biawak yang sering muncul di antara rimbunnya semak di seberang sana.

Foto-foto: saya yang motret.
Foto 1. Istana bermain untuk anak yang nyaman dipakai leyeh-leyeh. Saat istimewa bertemu tetangga.
Foto 2. Pohon mangga ini ditanam 15 tahun lalu. Saat panen raya, semua mendapat bagian.
Foto 3. Selagi mau, memotong tunas anggrek, ditempelkan di pakis, diikat di pagar.
Foto 4. Capung berpegang erat-erat ketika angin bertiup kencang. Mendung tebal siap menumpahkan air hujan.

19 September 2009

Penyusuh

Nikmatnya libur meski cuma dapat tiga hari pas. Mendengar tetangga brak-bruk beres-beres rumah, jadi ketularan. Saya ingin punya ruang sendiri untuk kerja sekaligus berkhayal di rumah.

Sejak kecil saya selalu punya sudut untuk sekadar diam. Sudut ini tak selalu berarti pojokan. Pokoknya selalu ada tempat nyempil yang membuat saya betah berjam-jam diam di situ. Benar-benar berjam-jam. Biasanya sambil mikir sesuatu, merancang sesuatu, atau sekadar membayangkan menjadi Madam Mik Mak –penyihir gendut dalam Donal Bebek yang menjadi idola saya. Pokoknya di sudut yang gue banget ini saya bisa jadi apa saja.

Kemarin, sudut nyepi saya ada di depan lemari es. Benar-benar di depannya. Jadi kalau suami akan membuka lemari es, saya harus beringsut sedikit. Favorit lain duduk nempel di tembok di belakang pintu depan. Nikmat rasanya. Sayang sekali, berminggu-minggu saya tidak bisa menyepi sama sekali. Selalu gedebukan tak punya waktu.

Nah, saya ingin sudut Madam Mik Mak ini lebih representatif. Maksudnya bisa sekalian untuk belajar dan menulis. Pilihannya kamar belakang di bawah pohon mangga kurus.
Sepele, wong hanya berdua, mau milih di depan kamar mandi atau di bawah tangga juga bisa. Yang membuat bertele-tele adalah efek dominonya. Kalau mau pakai kamar belakang berarti harus memindahkan lemari es ke ruang lain, piring dan gelas ke lemari tempel di dapur. Gampang to?

Ternyata sama sekali tidak sepele. Sama sekali tidak gampang. Sebelum masuk lemari tempel, semua barang harus dicuci dulu. Ternyata lagi, saya memang punya bakat nyusuh –menimbun barang. Saya luar biasa kaya dengan benda-benda ajaib. Tutup stoples yang badannya tak ketahuan juntrungnya, deretan mug, bertumpuk panci, rantang-rantang, wadah pemisah kuning telur, waduh… saya merasa benar-benar kaya raya.

Panci berbagai ukuran saya pandangi dengan memelas. Lha wong saya ini makan saja ngerantang kok punya panci susun berbagai model. Saya usut, panci-panci itu ternyata hadiah dari koperasi. Beberapa kali dapat panci susun. Yang dipakai selalu yang berukuran paling kecil. Lainnya, ya nyumpel saja.

Selalu ada alasan pembenaran ketika akan membeli barang-barang itu. ”Belum berasa jadi ibu rumah tangga kalau belum punya Tupperware,” kata saya waktu mengambil dua set kotak makan. Padahal harganya tidak murah dan harus dibayar dengan uang makan beberapa kali. Karena didapat dengan perjuangan seperti ini, perkakas yang membuat saya berasa jadi ibu rumah tangga beneran ini saya eman-eman, saya sayang.

Belum juga berasa jadi ibu rumah tangga jika tidak punya piring dan mangkok melamine yang tebal. Jadilah membeli tiga set dengan tiga warna berbeda. Saya selalu merasa punya alasan untuk membeli kopi Nescafe dalam jumlah banyak agar mendapat mug kecilnya. Jika ada model yang belum punya, ya diburu. Belum lengkap jadi ratu dapur jika tidak punya panci presto. Beli juga tiga tahun lalu dan sampai sekarang belum pernah sekalipun keluar dari kardusnya. Nasibnya sama dengan juicer, rantang, termos, dan entah apa lagi.

Karena enggan merepotkan tetangga untuk pinjam barang kelak jika ada acara di rumah yang menghadirkan banyak orang, akhirnya beli piring satu set dan sendok cs setumpuk. Lha iya, ketempatan arisan dasa wisma saja setahun sekali. Ketempatan arisan PKK belum pernah. Bahkan tamu yang duduk lama pun tak pernah ada.
Saya pikir-pikir sambil meringis kecapaian mencuci perkakas ini, betapa tamaknya saya.

Saya menemukan mangkok hadiah dari kopi Kapal Api dan mug bertuliskan Hongkong. Kopi Kapal Api Special adalah kopi favorit ketika kuliah apalagi ketika berbonus mangkok. Membuat kopi ketika Maghrib dan saya tinggal tidur sampai kira-kira pukul 23.00 WIB. Kopi dingin ini yang menjadi doping tiap malam ketika menyelesaikan skripsi saat teman serumah tidur. Pasangannya semangkok mi instan.

Ini dua benda yang saya bawa dari kos-kosan ketika menikah 15 tahun lalu. Betapa nyusuhnya saya. Selama 15 tahun dua benda itu tetap saya sumpalkan di lemari. Iseng saya tunjukkan suami, ”Harta yang tidak termasuk gono-gini ya mangkok dan mug ini.” Ternyata harta suami yang tak termasuk gono-gini lebih banyak. Dia punya pemancar dengan antena, solder, komponen elektronika yang berjejal-jejal dalam beberapa dus berdebu, hingga sertifikat Orari dengan foto jadul dan rambut krewul.

Ternyata kami sama-sama penyusuh kelas berat.

Di kantor, saya selalu kemecer melihat kardus bekas air mineral. Beberapa kardus yang sudah dilipat terselip di bawah meja. Kotak cantik, wadah permen, beberapa kendil tanah liat lengkap dengan tutup, stoples, rotan tempat parsel, hingga tas kresek terkumpul. Lihatlah di bawah meja saya di kantor, benda-benda itu teronggok. “Siapa tahu dibutuhkan. Siapa tahu ada yang butuh. Ini bisa dipakai untuk wadah. Yang itu kalau dicat pasti bisa dimanfaatkan,” selalu seperti itu alasannya.

Sabtu (19/9), saya mulai membersihkan kamar belakang dan dapur pukul 08.15 WIB dan berakhir pukul 16.00 WIB. Itu pun masih menyisakan barang-barang ikutan.

Malam ini kamar belakang sudah bersih. Buku-buku teori sastra zaman kuliah bertumpuk lagi. Buku favorit, majalah Femina yang selalu dikempit tiap pagi kalau ke kamar mandi, koreksian siswa, berkas-berkas buku, sudah masuk. Tinggal ditata lagi.

Setelah 80 persen beres dan mandi lengkap dengan keramas, rasanya saya sudah menjadi bersih. Semoga. Semoga tidak nyusuh lagi. Saya berusaha membuat tawar perasaan ingin jadi ratu dapur ketika melihat iklan perangkat makan dari plastik dengan tutup yang diklaim antibocor. ”Noooo... saya tidak mau nyusuh."

06 Agustus 2009

Pesawatku

Setiap kali pergi dengan pesawat, rasa mules makin menjadi dibandingkan jika perjalanan darat. Baru reda setelah yakin semua beres. Tiket, boarding pass, berkali-kali melihat gate berapa dan nomor kursi berapa, meyakinkan diri tidak salah gerbong, hingga berdoa supaya dapat teman yang tidur terus supaya tak perlu basa-basi.

Urusan doa, pesawat membuat saya makin dekat dengan Gusti Allah. Bukan karena ada di langit beberapa puluh menit tetapi karena benar-benar menyerahkan segala kepadaNya.

Sering saya protes dalam hati, mengapa di pesawat hanya ada pelampung? Seharusnya disediakan juga payung parasut sehingga bisa melayang jika ada apa-apa. Pelampung kan hanya untuk pendaratan darurat di air. Lha kalau seperti twin otter yang jatuh di Papua, apa guna pelampung?

Feri saja ada sekocinya. Saya bayangkan, jika di bagian bawah tempat duduk ada pelampung, harusnya di sandaran kursi disediakan sayap lengkap dengan helm yang mengembang bila ditiup. Begitu ada apa-apa, tinggal tempel sayap, whussss.... Ini mau saya.

Ketika ada kerjaan yang mengharuskan berangkat ke Jogjakarta dan naik pesawat yang hobi delay, saya terkekeh saat dipersilakan masuk. Pramugari yang muda, cantik, berbedak dan gincu tebal, dengan senyum yang tak pernah henti meski mata mereka nyaris tak mesem, dengan ramah menyambut. ”Selamat datang Bapak dan Ibu. Mohon maaf atas keterlambatan kami. Nomor kursi di tiket tidak berlaku lagi. Silakan memilih tempat duduk sendiri.”

Gedubrak, awas, minggir, permisi, aduh, maaf. Langsung riuh rendah seperti keroyokan di Terminal Bungurasih ketika lebaran. Maklum, semua sudah tak sabar ingin segera ke Jogjakarta setelah delay 2 jam dan terkantuk-kantuk di Bandara Juanda, Surabaya.

Tetapi paling asyik memang naik satu maskapai tertua di Indonesia. Saya tak peduli dengan pramugari yang mesem ala kadarnya. Senyum ini baru kelihatan nikmat dilihat ketika sudah sampai tujuan dan para penumpang turun. Ini senyum lega karena urusan melayani usai. Saya senang karena pilihan koran gratisnya banyak terutama untuk koran yang tak saya temui di kios koran di Surabaya.

Senin (27/7) ke Jakarta lagi. Seperti biasa mas-mas staf maskapai ini memberitahu posisi pesawat. Biasanya cuma, kita ada di ketinggian sekian. Tetapi mas yang satu ini sangat ramah. Dia tahu, ada beberapa rombongan turis di pesawat. Dengan sangat ramah mas ini bercerita tentang wilayah yang dilewati. Suaranya tegas dan tidak disengau-sengaukan seperti biasanya. “Bapak dan Ibu, kita sekarang ada di atas kota Cirebon. Kota ini ada di Jawa Barat. Cirebon dikenal dengan hasil laut dan kerajinan batik pesisirnya. Wilayah ini berbatasan dengan Gunung Ciremay. Tinggi gunung ini... bla-bla-bla.”

Penjelasannya panjang. Senang saya mendengarnya karena baru kali ini saya menikmati keramahan guide di dalam pesawat. Nah, si mas ini kan harus menerjemahkan dalam bahasa Inggris. Dia berbicara sama ramahnya dan sama panjangnya seperti dalam bahasa Indonesia.

Begitu si mas mengatakan selamat menikmati keindahan Cirebon dan Gunung Ciremay, rombongan turis langsung melongok ke jendela untuk melihat Cirebon dan Gunung Ciremay yang disebut itu. Mereka tolah-toleh mencari. Tak mungkin menengok ke belakang karena jendela pesawat cuma seuprit.

Yah… si mas tadi tidak berhitung dia sedang naik pesawat. Ketika memberitahu dalam bahasa Indonesia saya bisa langsung melirik ke bawah dan melihat gunung itu karena cuaca cerah. Tetapi ketika si mas ngoceh dalam bahasa Inggris yang juga panjang, pesawat sudah meninggalkan Cirebon. Lha… apa yang dilihat para turis itu?

05 Juli 2009

Juragan Sawah yang Bangkrut





Libur selalu menyenangkan. Dengan dua sepeda onthel, kalau bisa bangun pagi dan tidak ada acara pagi lain, saya dan suami mencoba kekuatan kaki. Ngonthel. Seperti orang-orang yang tergabung dalam Hash, ada rute short, medium, dan long. Ngonthel juga begitu. Tetapi itu bergantung jam bangun. Kalau bisa bangun pagiii ya ambil rute long.

Rute long ini makan waktu sekitar 1,5 jam. Mulai dari rumah, pasar, menyeberang jembatan tol di Wage, Perumahan Taman Aloha, kampung, Perumahan Cipta Karya, dan ini dia yang paling kami suka: menyusuri sungai kecil sepanjang sawah. Sungai ini sejajar dengan jalan tol Surabaya-Porong.

Yang membuat perjalanan menjadi lama, kalau ada kerumunan ikan gathul dan sepat di sungai, sepeda berhenti. Kalau ada yuyu, berhenti lagi. Posko pertama tak pernah berubah: di bawah pohon gayam. Ya baru setua ini saya tahu pohon gayam meski sampai sekarang tak pernah melihat buahnya yang kata suami saya gurih.

Kabarnya, pohon gayam ini vila favoritnya para hantu. Mungkin benar juga. Wong saya saja krasan kok apalagi hantu. Di bawah pohon gayam ini adem, rindang, dan bikin ngantuk. Nah, di posko pertama ini mulai ngemil jajan yang tadi dibeli di pasar.

Kalau pas panen kacang panjang ya beli. Petani diberi Rp 5.000 wah... keranjang sepeda saya langsung penuh kacang panjang yang segar. Pernah saya beli terong seharga kacang panjang, keranjang langsung beraaat. Lumayan bisa untuk oleh-oleh tetangga.

Ngonthel lagi melewati Perumahan Puri Maharani. Ini tempat favorit anak muda dan yang merasa muda untuk berduaan. Gaya pacarannya aneh-aneh. Ada yang nangkring di atas sepeda motor, ada yang saling urut kaki, ada yang diam sambil cemberut. Risih juga melihatnya meski mereka sama sekali tidak risih ketika kami lewat.

Posko kedua sudah di depan mata. Di dekat jembatan tol menuju Perumahan Pasegan ada pasar pagi. Ramai. Posko kedua tepat di pertigaan jalan tempat orang berjualan goreng-gorengan. Makan pisang goreng, tahu, tempe, nyeruput teh hangat sampai kenyang paling habis Rp 4.000. Tontonannya ya orang lalu lalang. Yang asyik, sepeda motor dilarang lewat, jadi lumayan bersih udaranya meski di bawah sana mobil yang lewat jalan tol tak pernah putus.

Kenyang perut dan mata, ngonthel lagi lewat jembatan tol ke Pasegan dan Masangan. Di tempat ini ada sawah yang cantik. Luaaaas dan berbatas jalan tol jauh di ujung. Sungai irigasinya juga deras. Kalau tidak malu saya pasti sudah nyemplung. Acara mengayuh sepeda dilanjutkan ke tengah sawah. Ini benar-benar Sidoarjo yang asli. Lewat pematang yang cukup lebar, ada gubuk untuk menghalau burung, dan pohon mangga entah jenis apa yang ditanam sebagai peneduh. Nikmat bener.

Puas cengengesan berdua di tempat ini, dilanjutkan ngonthel lagi. Sekarang mengambil jalur pulang lewat Perumahan Bhayangkara dan Perumahan Sukoasri. Di tempat ini ada pasar kaget juga. Mampir lagi karena agenda tetapnya sarapan pecel Madiun yang dijual di mobil. Tak banyak yang bisa dilihat karena ini dekat perumahan. Tak ada yang asyik selain pecel itu.

Rumah sudah kelihatan, ngonthelnya dipercepat melewati tanah kosong yang membatasi Perumahan Sukoasri dengan rumah saya. Di sini ada tempat sampah liar yang baunya huekkk. Dulu tanah kosong ini juga sawah seindah di Masangan. Tepat di depan rumah kalau sedang bengong, nikmat memandang sawah. Saya seolah juragan pemilik sawah.

Sayangnya, sekarang sawah itu sudah dikapling-kapling dan dalam lima tahun terakhir bermunculan rumah gedong yang bagus-bagus. Saya si juragan sawah seperti sedang bangkrut. Sudah tak bisa menikmati sawahnya. Sekarang di depan rumah tumbuh bangunan yang semuanya bertingkat. Tak apa-apa, saya masih punya sungai irigasi di depan rumah. Di kanan-kiri sungai masih ada lahan untuk menanam pohon mangga. Di sepanjang sungai, glagah tumbuh adu cepat dengan sabetan arit petani yang lahannya tersisa seuprit.

Yang membuat saya bersyukur, sampai sekarang setiap pagi dan sore burung-burung liar masih gembira hinggap di pohon mangga depan rumah, tepi sungai. Bahkan mereka tak takut menclok di pohon mangga kurus yang saya tanam di lahan kosong belakang rumah, dekat kamar. Burung-burung ini seenaknya menclok di dapur, di atas panci, bahkan ketika ada saya, mereka tidak takut. Mungkin pikir mereka, ini dulu rumahku kok. Ngapain juga takut.

27 Juni 2009

Pijat

Ada satu ritual yang tak pernah absen jika menjenguk Ibu di Kediri. Pijat. Ada yang kurang kalau belum dipijat, ini kata suami saya. Dia memang maniak pijat. Meski tak bisa mengakui 100 persen fungsi pijat, beberapa kali saya tak bisa menghindar. Saya ingin menikmati pijat yang kata banyak orang nikmat.
Dari yang saya baca, pijat itu bisa melancarkan peredaran darah, membuat bugar, mengembalikan otot yang tegang, hingga menghilangkan capek. Nah, alasan yang terakhir ini yang biasanya membuat saya mau dipijat.
Ada beberapa pemijat yang saya kenal. Pemijat tuna netra bernama Erwin yang tinggal di perumahan dekat dengan perumahan saya, menjadi langganan suami. Katanya, pijatannya membuat badan segar. Saya pernah mengantar dan menunggui suami pijat di rumah kontrakan Erwin ini. Walah... boseeen. Hiburannya hanya mendengarkan obrolan Erwin. Dia punya segudang cerita yang sering nggedobos alias membual. Tapi sudah dua bulan ini ponselnya tak bisa dihubungi sehingga ritual pijat suami saya terputus.
Yang sekarang jadi favorit Bude Sar. Kata ibu saya, dia masih saudara jauuuh. Entah urutannya dari mana pokoknya saudara. Pijatannya ndeso, pakai diinjak segala. Kluthuk-kluthuk, ditambah dengan mantra-mantra penyembuh. Herannya, ketika belakang telinga dipijat, hidung selalu jadi tersumbat. Setelah kepala, leher, dan pundak dipijat bisa dipastikan langsung tidur. Baru melek lagi kalau paha luar ditekan.
Nah, Bude Sar ini yang selalu dipanggil jika saya ke Kediri. Sayangnya, sekarang pasiennya banyak. Dia jadi tak punya banyak waktu. Pasiennya sering menjemput dengan mobil bagus-bagus. Yah, itu kan rezekinya. Dari saya paling-paling hanya Rp 30.000 sekali dipijat ditambah segelas kopi.
Yang saya suka, Bude Sar ini selalu cerita tentang silsilah keluarga. Itu buliknya siapa, dapat suami dari mana, masih saudara dengan mbah siapa. Meski pusing membayangkan pertalian kekerabatan, tetapi saya masih bisa nyambung meski sedikit.
Pijatan Bude Sar tidak banyak berpengaruh. Pokoknya ya enak saja dinyet-nyet. Lumayanlah, komentar suami saya.
Ini berbeda dengan Bu Oscar. Bu Oscar yang tinggal beberapa blok dekat rumah saya adalah pemijat ulung. Saya tidak merasakan jari-jarinya, hanya usapannya yang membuat meringis. Dia orang Sumatera. Pijatannya sungguh membuat seluruh saraf tegang. Tetapi salah saya juga, tak bisa mengeluh meski kesakitan. Ini membuat Bu Oscar merasa pijatannya pas.
Saya memang pantang mengaduh jika itu berhubungan dengan proses menuju sehat. Disuntik, diinfus, diperiksa dalam, entah diapakan lagi, pokoknya kalau itu tahapan untuk sembuh, tak akan saya mengaduh. Nah, ini juga. Saat dipijat, saya bayangkan sesuatu yang menyenangkan. Paling-paling Bu Oscar hanya tahu dari badan yang tegang karena sakit. Pijatannya nonstop dua jam. Kadang-kadang dia berkeringat lebih banyak daripada saya.
”Badannya seperti batang pohon. Sudah berapa lama tidak pijat?” tanya Bu Oscar ketika kali terakhir saya ke sana, tahun lalu.
Ketika acara pijat selesai, saya disuruh minum air putih. Ya, glek saja. Sampai di rumah mandi air hangat, tidur. Nah... justru ketika bangun inilah puncaknya. Tadi hanya terasa sengkring-sengkring ketika dipijat. Sekarang rasanya... cekot-cekot. Benar-benar tak bisa bangun. Begitu bangun, seluruh badan rasanya bonyok. Bagaimana tidak, di pangkal lengan, paha dalam dan luar, betis, lipatan lutut, punggung, pinggang, hingga leher menghitam selebar telapak tangan. Seperti buah pepaya yang jatuh dari pohon. Lebamnya tidak biru tetapi hitam.
Selama beberapa hari tidak berani pakai sabun lama-lama. Juga harus pakai baju lengan panjang jika tidak ingin dianggap korban kekerasan dalam rumah tangga.
Setiap kali suami menyuruh pijat ke Bu Oscar karena keluhan makin sering, saya selalu panas dingin duluan. Ingat pijatannya, lebih-lebih ingat akibatnya. Bonyok.
Nah, kemarin Jumat (26/6), saya pijat lagi. Bude Sar tak bisa dan ditawarkan pemijat lain, Yu Tukini. Ini rekomendasi para bulik. Saya manut.
Jadilah saya dipijat Yu Tukini. Aduh, saya masih merasakan ujung jarinya yang runcing. Artinya, jam terbangnya belum tinggi karena bukan usapan yang saya rasakan. Benarlah, beberapa kali saya meringis karena dia tak punya trik. Biasanya jika ada yang harus dipijat dengan keras, selalu dialihkan dulu, baru kemudian bagian sumber sakit itu dipijat lagi, dialihkan, dipijat lagi sehingga sakitnya terbagi. Yang ini tidak. Pathok bangkrong, ya di tempat itu.
Hasilnya?
Paginya saya tak bisa bangun. Badan rasanya seperti digebuki. Ketika diraba, sakitnya luar biasa. Baru setelah bisa bangun, tahulah saya. Bonyok di mana-mana. Waduh, maunya cari alat mujarab penghilang capek, nyatanya malah tak bisa melek.
Mungkin benar kata seorang teman, obat ampuh untuk menghilangkan capek adalah tidur. Semua organ akan istirahat dan ketika bangun dijamin bugar.

19 Juni 2009

Melewati Ringin Kembar



Berkali-kali ke Jogjakarta, tak pernah tergoda mencoba melewati ringin kembar di Alun-alun Kidul. Kurang kerjaan apa, menutup mata sambil berjalan berusaha masuk di antara dua beringin besaaaar itu.

Apalagi cerita yang beredar cukup membuat syereem. Hanya orang tertentu yang bisa melewati dua beringin itu. “Sudah banyak pakar ilmu matematika yang mengotak-atik kemungkinan melewati dua ringin itu. Dihitung jarak, diukur, jumlah langkah, bahkan dicoba menarik garis lurus tetapi tak pernah bisa melewatinya,” kata Pak Wahyu, sopir dari persewaan mobil Adira, yang mengantar berkeliling Jogja, Sabtu (6/6).

Hmmm… masih banyak cerita tentang kegagalan melewati ‘gang’ beringin itu meski jarak antara dua beringin itu bisa dipakai parkir tiga mobil sekaligus. Diyakini, mereka yang bisa masuk di antara dua ringin itu, permintaannya akan dikabulkan.

Saya jaim ketika Febta, Putri Lingkungan dari Malang, kepingin. Si Cantik ini antusias sekali mencoba. Melihatnya sangat berharap, akhirnya kami –para pinisepuh, haha—mengantarkan. Febta menutup mata dan berjalan yakin. Eh... tiba-tiba dia melenceng ke kanan, gedubrak... menabrak pagar beringin. Gagal. Dicoba lagi, melenceng lagi ke kanan. Gagal lagi.

Andy dari Radar Malang ikut mencoba. Sekali coba, melenceng. Dua kali, telanjur melek dan dianggap batal. Baru pada usaha ketiga dia bisa melewati. Itu pun dia mengaku agak mengintip karena hampir tersandung. Akhirnya dia bisa.

Seorang bapak muda mencoba. Matanya ditutup kain hitam. Dengan mantap dia melangkah, eh melenceng ke kanan. Dicoba lagi, sekarang malah melenceng ke kiri.

Saya amati dari pagar pendek di depan keraton, ada satu pola di alun-alun itu. Alun-alun berumput ini tampak botak pada titik tertentu dan terus membotak pada jalur ke kanan sampai di pojok luar beringin di sebelah kanan. Saya pikir, berarti pada tempat tertentu orang mulai kehilangan orientasi langkah dan mulai berbelok. Kalau sampai botak artinya sangat banyak yang masuk jalur salah yang seperti memanggil itu. Padahal di jalur yang melenceng ke kiri, rumput memang tipis tapi tak sampai botak.

Bapak muda ini tertawa-tawa setelah tahu gagal. Istrinya ikut mencoba. Mata ditutup dan mulai berjalan. Tepat di titik persimpangan dia tiba-tiba balik kanan seperti pasukan berbaris dan kembali ke tempat semula. Suami dan dua anaknya tertawa geli. Kami yang melihat ikut tergelak.

Nek badhe pados guyu nggih ten ngriki,” kata penjual kacang rebus di depan Sasono Hinggil, keraton. (Kalau ingin mencari gembira, tertawa, di sini tempatnya.)

Kali ini suami-istri itu sama-sama ditutup matanya. Mereka bergandengan dan mencoba saling menguatkan supaya bisa melewati ringin kembar. Mantap... langsung belok kiri bahkan sebelum sampai di titik persimpangan, sampai di tempat orang memasang tenda untuk acara esok hari. Huehehe. Sekarang anak lelakinya mencoba. Ditutup mata, berjalan cepat terus... sampai ke tengah-tengah ringin. Sukses.

”Anak-anak di bawah 12 tahun selalu bisa melewati ringin kembar,” kata ibu yang menyewakan penutup mata. Satu penutup mata Rp 3.000. Entah apa ukurannya dengan angka 12 itu. Mungkin lulus SD atau sudah sunat ya. Padahal gak ada hubungannya.

Bu Aida dari Pikiran Rakyat, Bandung, awalnya tak mau juga. Tetapi si ibu yang punya banyak pengalaman dengan makhluk lain ini mau juga. Dia berjalan setelah berdoa. Berjalan terus dan masuk di antara dua beringin. Sukses! Lamat-lamat terdengar orang-orang di depan keraton bertepuk tangan.

Pak Sulhi dari Intisari, Jakarta, keukeuh menolak. Tetapi melihat Bu Aida bisa dan Mas Oki (dari Sampoerna Hijau) yang ikut aliran melencengisme ke kanan, akhirnya Pak Sulhi penasaran juga. Mata ditutup kain hitam, mungkin berdoa dulu karena sebelum melangkah dia diam agak lama untuk konsentrasi, dan mulailah berjalan. Teruuuus... berbelok ke kanan. Yang melihat mulai mesem, dan membiarkan dia terus salah jalan. Sampai akhirnya dia berhenti di dekat kambing ditambatkan. Gagal!

Ke-jaim-an saya luluh ketika Febta meminta saya ikut mencoba. Dalam hati saya menolak. Ini takhyul, saya tak mau mencoba. Tetapi melihat wajah memelas Febta yang ingin ditemani berjalan (meski sama-sama merem), saya jalan juga. Segala permintaan ampun saya panjatkan karena sebenarnya tak ingin mencicipi. Setelah itu jalan terus. Mau melenceng ke kiri atau ke kanan, ya silakan saja. Wong memang mata saya tertutup, mana saya tahu kemauan kaki. Terserah mata kaki saya.

Sambil tertawa-tawa untuk menutupi khawatir, saya jalan terus. Tiba-tiba dalam penglihatan saya di depan ada tembok putih luas. Otomatis saya berhenti dan membuka mata. Lho, kok sudah ada di antara dua beringin. Aha... sukses! Lega juga bisa memenuhi tantangan.

”Wah, bisa. Pernah mencoba?” tanya ibu yang menyewakan penutup mata.

Dereng, belum,” jawab saya.

”Jarang lho Mbak yang bisa melewati ringin kembar,” katanya lagi.

Saya meringis. Bangga? Tidak ah, cuma lega. Sebenarnya ada buku primbon yang menjelaskan mengapa dalam penglihatan muncul tembok putih, jurang, atau batu besar. Saya tidak ingin tahu.

Di mobil dalam perjalanan ke Bandara Adi Sucipto, berbagai komentar tentang ringin kembar muncul. “Berarti permintaannya bakal terkabul, Mbak,” kata Pak Sulhi.

Permintaan? Lho, iya. Saya lupa. Tadi sebelum berjalan saya tidak memasang permintaan apa-apa. Waduh, sia-sia dong acara jalan tadi. Bisa nggak ya permintaannya menyusul? Kalau bisa sih akan saya susun deretan permintaan.

Foto: saya yang motret
Febta (jongkok), Pak Sulhi, dan Bu Aida di depan Sasono Hinggil sebelum penasaran mencoba melewati ringin kembar.

18 Juni 2009

Rokok Kemenyan




Menjelang sore rombongan tim juri yang akan menilai wilayah dalam program Sampoerna Hijau Kotaku Hijau berhenti di RW 1 Desa Bubutan, Kecamatan Purwodadi, Kabupaten Purworejo, Jumat (5/6). Menjelang sore udara jernih campuran antara bau sawah, tegalan, dan segarnya air sungai.
Sambutan di desa ini cukup unik. Para ibu, anak-anak, simbah-simbah berjajar sambil memegang sapu lidi. Ada yang sapu lidinya sudah memendek terlalu sering dipakai tetapi yang banyak justru sapu lidi yang masih baru dengan ujung tidak dipangkas. Hehe, mana bisa menyapu dengan nikmat ya kalau bentuknya seperti ekor kuda. Beberapa membawa sapu ala Harry Potter.
Makin sore sambutan makin meriah. Tetapi kok ada aroma aneh ya. Seperti kemenyan yang membuat sedikit merinding. Apalagi matahari cepat sekali menggelincir ke sebelah barat. Setiap kali mendekat ke rombongan para bapak di desa itu, setiap kali pula tercium aroma yang dekat dengan segala yang membuat semua persediaan hantu keluar dari sarangnya.
”Bau kemenyan ya,” bisik Bu Aida dari Pikiran Rakyat, Bandung. Saya tak merespons, khawatir penciumannya benar. Yang tanggap justru Pak Sulhi dari Intisari, Jakarta. Makin dihirup, makin jelas aroma kemenyan.
Iseng saya tanya pada rombongan bapak yang berjalan berjajar ketika akan menunjukkan bagaimana RW mereka mengumpulkan sampah yang dicampur kotoran sapi kemudian digiling hingga menjadi pupuk. Pupuk ini yang dipakai lagi di tegalan. Halaman-halaman yang Masya Allah luasnya rimbun dengan barongan bambu dan aneka pohon menjadi setting yang cocok dengan bau kemenyan. Apalagi di hari menjelang surup, senja.
”Kok bau kemenyan ya, Pak. Jangan-jangan ini jopa-japu alias mantra supaya menang.” Para bapak itu terkekeh. ”Bukan, Mbak. Ini bau rokok kemenyan,” kata seorang bapak menunjukkan rokok yang panjangnya hampir dua kali lipat rokok biasa yang disulut seorang bapak di depan salah satu rumah. ”Itu produksi asli desa ini. Yang membuat Pak Seno,” kata bapak itu.
Yang dipanggil Pak Seno ada di dalam rombongan ini. Pak Seno tersenyum. ”Itu saya namakan rokok Ilegal. Saya meramu sendiri, melinting.”
Konsumennya warga desa ini. Menurut Pak Seno yang berkumis sangat tebal ini, rokok kemenyan menjadi favorit. Selain rasanya sesuai selera, harganya juga murah. Sebatang Rp 500 dengan masa isap dua kali lipat lebih lama dibandingkan rokok biasa. Sehari Pak Seno bisa melinting 100 rokok. Dari setiap batang, dia mengambil untung Rp 100. Lumayan, sebulan dia bisa dapat Rp 300.000.
”Walah, jangan dihitung untungnya. Boyok yang pegel karena harus membungkuk ketika melinting apa tidak dihitung. Pijetnya itu lho,” kata Pak Seno tertawa. Karena ini kegiatan selingan, dia tidak mematok harus melinting setiap hari. ”Pokoknya kalau di warung-warung sudah tinggal sedikit, ya saya nglinting lagi. Kalau pulang dari tegalan, capek, ya tidak nglinting. Kalau ada tamu seperti sampeyan begini, saya juga tidak nglinting.”
Malu, kedatangan saya dan rombongan ternyata membuat warga desa menghentikan aktivitas yang bisa mendatangkan keuntungan. Dengan enteng Pak Seno membagi resep rokok lintingnya. ”Ya racikannya biasa. Mbako (tembakau) enak dan yang biasa dicampur, dikepyuri kemenyan, dilinting. Takarannya tidak tahu ya, pokoknya dikira-kira,” kata Pak Seno.
Pak Sulhi beli 10 batang. Katanya untuk oleh-oleh teman-temannya di Jakarta. Jika sangat panjang, bagaimana kemasannya? Orang desa tak peduli kemasan wong mereka belinya juga eceran. Karena Pak Sulhi beli 10, rokok dikemas dalam plastik sekiloan yang diikat begitu saja. Rokok rakyat ini memang unik.
Pak Seno menawari saya rokok kemenyan. Saya ambil sebatang, saya cium. Hhhhggg... bau kelembak alias kemenyannya tercium samar-samar. Aroma ini akan kuat ketika rokok dibakar dan diisap. Tentu saja saya menggeleng ketika ditawari korek api. Gila apa memenuhi paru-paru dengan konon ’makanan’ makhluk lain!

Yang motret: saya
1. Anak-anak TPQ diajak menyambut dengan sapu baru. Ustadzahnya oke, sabar.
2. Sentra perajin pot dengan hiasan beling. Lihat saja rokok di mulut bapak ini, panjang dan baunya itu lho.

14 Juni 2009

Wajah di Dinding




Mengikuti program Sampoerna Hijau Kotaku Hijau 2009 sejak 4 Juni-6 Juni 2009, membuat saya punya kantong cerita banyak. Salah satunya tentang pot berbentuk wajah orang. Pot ini menempel di dinding gang pembatas rumah penduduk di pinggir Kali Code, Jogjakarta, dengan tempat usaha.

Biasalah, di kota selalu ada perbedaaan ekstrem yang agaknya wajib dibatasi dengan tembok panjang-tinggi-tebal untuk menunjukkan ini wilayahku dan itu bukan tempatku. Di lorong yang membosankan ini, warga RW 7 Kelurahan Cokrodiningratan, Kecamatan Jetisharjo, Jogjakarta menyiasatinya dengan membuat mural. Tetapi mural saja tentu tidak berkonsep hijau meski di banyak mural tampil warna hijau. Konsep hijau yang digulirkan Prof. Dr. Ir. Hadi Susilo Arifin (sebenarnya masih ada sederet gelar lagi), guru besar lanskap di IPB yang menjadi ketua tim juri pada penilaian bersih dan hijau di 10 kota di Jawa, konsep hijau merangkum ekologi, pengolahan sampah, dll.

Pot yang biasanya ditata di bawah, dipindah ke dinding setinggi kepala orang dewasa. Dasar mbeling, supaya lebih menarik, pot dibentuk ekspresi wajah orang. Bagian atas 'kepala' diisi tanah dan kompos dan ditanami. Daun yang dipilih diatur sehingga setiap pot wajah ini memiliki aksen berbeda. Ada yang rambutnya krewul, ada yang gondrong, ada yang botak, ada rambut kurang gizi, ada punya yang jigrak. Favorit saya pot berwajah mirip pelawak Dono di Warkop DKI dengan rambut jigrak. Saya langsung jatuh cinta pada pot itu.

Ah, bisa jadi inspirasi. Asal di gang itu tidak mati lampu, pot ini menyejukkan mata. Tetapi jika mati lampu, huuuuah... ada yang melotot dengan rambut gimbal di dinding.

foto: saya yang motret

28 Mei 2009

Wisata Lumpur






Menjual Lumpur di Atas Tanggul
Tiga Tahun Bertahan di Lumpur Lapindo

Rakyat itu tahan banting, mudah beradaptasi dengan kemiskinan. Bisa jadi itu juga dialami Puji, 40. Tukang ojek ini tiga tahun lalu menjadi buruh di pabrik rotan. Sekarang dia mengandalkan nasib baik di bibir tanggul.

Tanggul yang melingkupi semburan lumpur yang muncul sejak 29 Mei 2006, kini menjadi lahan baru bagi Puji dan lebih dari 100 tukang ojek lain. Dulu ketika menjadi buruh di pabrik rotan hanya tangan yang terampil, kini ayah dua anak ini harus pintar menjual cerita.

Tanggul raksasa seluas lebih dari 550 hektare kini menjadi area wisata lumpur. Inilah tempat ’mencangkul’ baru. Lahan ini tak terlalu subur, tetapi bagi pengojek sudah sangat lumayan. Meski rata-rata mereka masih menjual cerita tentang rumah yang tenggelam, tetapi Selasa (26/5), tak ada wajah mengiba. Para pengojek yang sekaligus menjual merchandise CD tentang semburan lumpur lebih layak disebut guide. Percaya diri dan ramah menjadi pemikat. Golnya, jika ada yang pesan ojek.

Ada dua paket yang ditawarkan. Paket pendek di tanggul selatan Rp 15.000 dan paket panjang bagi yang ingin mengitari seluruh danau lumpur, Rp 50.000. ”Bisa ditawar. Kami juga menunggu pengunjung yang ingin foto-fotoan dulu,” kata Puji, Selasa (26/5). Mereka juga bisa menjadi tukang foto dadakan untuk pengunjung yang ingin berpose.

Jarak pendek hanya butuh waktu 15 menit lengkap dengan acara pose. Jarak panjang bisa sampai 1,5 jam karena harus mengitari tanggul. Tak banyak yang mengambil paket panjang karena butuh waktu lama.

Bagi Munir dan Imam asal Malang, ini kali kedua mereka mengunjungi wisata lumpur. Setelah tahu jalur untuk melihat lumpur dari dekat tanpa harus membayar ojek dan ongkos masuk, mereka langsung menuju pos di Desa Mindi. Hanya dengan menitipkan sepeda motor, pengunjung bisa sampai di bibir tanggul.

Tak biasanya tukang ojek mendapat durian runtuh seperti Puji yang diminta mengantar paket panjang. Kholik, pengojek di sisi utara, sedang apes. Sejak pagi sepeda motornya belum distater sama sekali. Hujan semalaman hingga dini hari membuat Kholik gigit jari. Tak ada pengunjung di wisata lumpur. Baru setelah tengah hari beberapa mobil berhenti. Itu pun tak ada yang mengojek. Hanya foto-fotoan setelah itu turun. ”Kalau Minggu atau hari libur lumayan,” kata Kholik yang jika panen bisa mendapat ongkos ojek Rp 50.000.

Menurut Dja’far, Ketua Paguyuban Ojek Tanggul Lumpur, para pengojek ini bisa mendapat rezeki dari penjualan CD dan kaus. CD serempak dihargai Rp 25.000 dan kaus mulai Rp 15.000. Kualitas kausnya sesuai harga dengan warna biru dan hijau buram. Hasil penjualan dan ojek sebagian dibagi untuk mereka yang tidak dapat rezeki. Seminggu sekali mereka memasukkan Rp 1.000 untuk kas yang dipakai jika ada yang sakit atau keluarganya meninggal.

Bagi Dja’far yang pernah menjadi koordinator lapangan saat menuntut ganti rugi ke PT Minarak Lapindo Jaya, mengamati calon pembeli potensial atau pengunjung yang memanfaatkan ojek, cukup dengan melihat kendaraan yang diparkir jauh di pinggir jalan. Mereka tak terlalu bersemangat bila kendaraan yang parkir berkode S, M, D, N karena biasanya hanya menjenguk sebentar dan pulang.

”Kaha Tour, travel, rombongan dari Bali adalah pengunjung potensial. Biro perjalanan biasanya membawa wisatawan yang tak segan membeli CD dan kaus. Kalau waktunya agak banyak, mereka juga menyewa ojek bersama-sama.”

Biro travel sering mengajak orang Malaysia dan Singapura singgah. Merekalah wisatawan sesungguhnya: mau mendengarkan cerita, menikmati dahsyatnya danau lumpur, dan yang paling penting membeli CD serta mencoba ojek.

Tak heran ketika ada mobil pribadi yang bagus, mereka gembira. Yang mendapat giliran akan segera menguntit pengunjung, menjelaskan betapa rumah mereka terendam, dan dengan piawai bercerita tentang perkembangan semburan lumpur dan semburan gas berapi. Masing-masing punya cara pemikat. Seperti Dayat yang bergaya seperti pemain sinetron dengan kacamata hitam dan gaya bicara lepas. Lulusan SMK ini menurut Kholik menjadi guide yang pandai berbahasa Inggris.

”Tak ada jam khusus untuk pengojek. Biasanya teman-teman datang sepulang dari tempat kerja mereka,” kata Puji.

Saat datang, orang tak bisa lagi langsung naik tangga ke tepi tanggul teratas. Di jembatan kayu sudah ada yang menadahkan tangan. Tarif naik ke tanggul Rp 3.000. Jika datang berdua tak terasa berat. Tetapi jika satu rombongan datang, tinggal mengalikan saja. Satu bus berisi 50 orang menjadi panen raya mereka. Penarik ongkos ini tak ada hubungannya dengan tukang ojek dan penjual CD di atas tanggul.

”Yang saya koordinasi hanya tukang ojek di delapan pos. Mereka warga yang rumahnya terendam lumpur ini. Kami punya tanda pengenal,” kata Dja’far. Dia menambahkan, paguyubannya sangat ketat jika itu menyangkut pengunjung. Jika ada yang berani mengganggu pengunjung, Dja’far turun tangan langsung. ”Banyak yang khawatir saat naik ojek. Tetapi kami yakinkan jika wisata lumpur ini adalah sumber penghasilan kami jadi harus diamankan,” kata Dja’far.

Ketika banyak keluhan tentang cara menarik ongkos masuk yang kasar, tarif parkir yang gila-gilaan (mobil Rp 5.000 dan bus Rp 20.000), membuat pihak Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS) menutup wisata lumpur enam bulan lalu. Dengan pembicaraan alot akhirnya BPLS mau membuka lagi wisata lumpur dengan catatan tak ada lagi keluhan pengunjung.

Bagi Puji, Dja’far, Kholik, dan yang lain, menuntut ganti rugi tetap dilakukan. Tetapi urusan perut tak mungkin diabaikan. Puji mengajak melihat ke sisi utara. ”Saya tunjukkan pabrik rotan tempat saya dulu kerja. Sekarang tinggal gentingnya,” kata Puji. Dengan terampil dia mengendalikan kendaraan. Jalanan becek bekas hujan ditambah mobil dan truk yang lewat membuat sport jantung saat menyisir tanggul. Berkali-kali saya nyaris terbanting. Tak berani berpegangan pada tukang ojek, hanya mengandalkan keseimbangan tubuh. Ah, inilah wisata lumpur.

Foto: saya yang motret.
- Semburan lumpur masih mengepul di danau lumpur.
- Tangga dua tingkat. Jauh di bawah sana jalur utama Surabaya-Malang yang biasanya macet. Di tangga terbawah, pengunjung dikenai Rp 3.000.
- Lumpur masih menyisakan kecantikan. Bunga liar ini saya namakan bunga lumpur.
- Dayat (berkacamata hitam) dan Kholik.

16 Mei 2009

Saya Cantik?





Cantik, seperti apa itu? Banyak yang ngeles, cantik itu bukan fisik ukurannya tetapi inner beauty. Basi, ngomong begitu tetapi toh tetap saja ukuran fisik jadi yang utama.
Memangnya ada panitia yang mau memilih mbak penjual sate yang tiap pagi lewat di depan rumah saya, yang punya kaki datar hitam karena kebanyakan jalan sebagai finalis putri Indonesia atau kontes sejenisnya? Jangan salah, inner beauty-nya jempolan (dia selalu baik hati jika ada pembeli minta tambahan bumbu), keuletannya tak diragukan, urusan percaya diri tak perlu ditanya (dia tak pernah malu mendorong gerobak satenya).
Kalau ditodong kebisaan lain, saya bisa sebutkan, mbak sate ini punya suara bagus. Jadi seimbanglah dengan Sandra Angelia, Miss Indonesia, yang katanya suka nyanyi itu. Bagaimana tidak bagus, setiap pagi mbak sate ini olah vokal dengan sangat lantang, ”Sateeee ayam!”
Malam ini 14 pasang Cak dan Ning Surabaya 2009 berlaga menjadi yang terbaik. Ketika berkunjung ke kantor saya, Harian Surya, Rabu (13/5), para cak dan ning ini memang bening-bening. Cantik, selalu pasang senyum, dan percaya diri. Ah, lagi-lagi cantik.
Silvi, salah satu panitia Cak dan Ning 2009 mengakui tampilan fisik memang punya nilai besar. ”Tetapi bahasa Inggris, pengetahuan tentang wisata Surabaya, kepribadian juga jadi penilaian lho, Mbak,” kata Silvi saat saya wawancarai. Iseng saya lontarkan, ”Berarti saya sudah gak mungkin jadi Ning Surabaya ya. Lha fisik tidak memenuhi syarat.” Gadis bermata bulat itu cuma tertawa.
Bagi Arswendo Atmowiloto, sosok cantik itu seperti tokoh Tante Iyos dalam novel Becak Emak. Tante Iyos sekretaris yang selalu berpakaian rapi, wangi, pasang senyum, dan mampu membuat Emak cemburu.
Kalau ada yang berbesar hati mengatakan ukuran fisik bukan masalah, ah... gombal. Dia pasti tak akan menolak bila ada sosok tipikal model, artis, selebrita mendekati.
Tadi siang, Sabtu (16/5), lagi-lagi saya mengelus dada. Setelah saling diam beberapa waktu, seorang ibu berdandan sempurna dengan senyum lebar menyodorkan dua lembar kertas kecil. Isinya Bio Fit, program pengendalian berat badan. Di situ tertulis nama ibu penuh senyum itu: Tuti. ”Saya dari 50 (kg) lebih sekarang jadi 40 (kg),” katanya sambil tersenyum manis. Meski mata saya berminus tebal, saya tahu pasti angka 40 tak akan pernah mampir di tubuhnya meski dia pakai celana ketat, baju kurung yang memperlihatkan bentuk tubuh yang lebar di pinggul. ”Malu Jeng kalau badan seperti bola. Saya sekarang sudah langsing,” katanya melirik badan saya.
Saya cuma bisa tersenyum kecut dikatakan berbadan bola, sambil memasukkan dua brosur itu ke dalam tas. Dalam hati, ketika berpisah dengan Ibu Tuti, saya ingat-ingat lagi. Kapan ya suami pernah mengatakan saya cantik. Sampai habis ingatan saya, rasanya pujian cantik itu tak pernah meluncur dari mulutnya. Berarti, saya tidak cantik, dong. Duh. Tetapi dia tak pernah komplain dengan ukuran tubuh, kok, batin saya menghibur.
”Ah, yang namanya bude-bude ya memang gendut,” kata suami saya, selalu.
Syukurlah, meski itu tidak menghilangkan kecemasan: jangan-jangan memang saya ada di luar kotak berlabel cantik. Harus ada second opinion supaya saya mantap. Yang paling jujur tentu anak kecil. Keponakan saya, Gaby (2,5), pasti akan membela budenya. Bukankah selama ini dia selalu sayang pada saya? Dia juga selalu gembira jika saya datang dan mengajaknya bermain. Pasti dia ada di pihak saya, mengatakan budenya cantik.
”Gaby, Bude cantik tidak?” tanya saya.
Gaby memandang saya dengan wajah lucunya. Dia mendekatkan wajah, mencium pipi saya. Lega, dia berpihak pada saya. Sekali lagi saya tanya, ”Bude cantik gak?”
Dia memandang saya dengan mata bulat, ”Gak.”


Foto Cak dan Ning Surabaya 2009 oleh Habiburrohman.

04 April 2009

Saat Bulan Sakit



Saya menemukan tulisan lama saya di blog tetangga yang dimuat tahun 2008. Jadi kangen membuat tulisan anak-anak lagi. Tulisan ini saya ikutkan lomba menulis cerita anak di Majalah Ayahbunda tahun 2004, yah... sekitar tahun itulah. Tidak menjadi juara pertama tetapi jadi cerita pilihan yang boleh tampil dalam kumpulan cerita anak. Terima kasih Shami Windya yang punya blog ini.
Ini saya edit ulang karena gatal melihat tanda baca yang jumpalitan.

Saat Bulan Sakit

Monday, March 15, 2004 - Sumber : Endah Imawati
Feb 24, ‘08 6:25 AM for everyone
(Ditampilkan dalam blog oleh Shami Windya, XI IPA 1 di http://scotle.multiply.com)



Sore itu bintang-bintang berdandan rapi. Mereka membasuh mukanya sampai cemerlang.

Matahari heran, “Aduh... cantiknya. Kalian akan kemana?”

Mereka tersenyum. “Ke rumah Bulan.”

Matahari terkejut, “Apakah di sana ada pesta? Mengapa aku tidak diundang?”

“Bukan pesta,” jawab Bintang Kejora. “Kami akan menemani Bulan. Kasihan kalau dia harus bekerja sendiri di malam gelap. Karena itu kami membasuh muka sampai cemerlang. Langit yang gelap pasti akan cerah.”

Matahari menjadi sedih. “Bulan sangat beruntung. Aku sudah bekerja keras tapi tak ada yang memperhatikan.”

Matahari ingat, jika mulai bersinar, banyak anak menangis kalau harus bangun untuk mandi dan berangkat sekolah. Siang hari pun Matahari sering mendengar orang mengeluh kepanasan. Sebaliknya, banyak orang mengunggu Bulan. Mereka akan memandang Bulan sambil berdecak kagum. “Indahnya Bulan hari ini. Sinarnya seperti emas.”

Matahari sangat sedih. Air mata menetes di pipinya yang merah. “A... aku memang tidak berguna. Hik-hik-hik. Aku tidak mau bersinar lagi. Huuu....”

Menjelang pagi Bulan dan Bintang bintang pulang. Mereka sudah lelah setelah semalaman menerangi langit yang gelap.

Tetapi, oh... Pak Jago kebingungan. Dia sudah merasa waktunya bangun tetapi Matahari belum muncul, “Mungkin aku bangun terlalu pagi. Kalau begitu tidur lagi ahhh.” Akibatnya semua orang terlambat bangun.

Awan segera ke rumah Matahari. Dilihatnya Matahari menutupi tubuhnya dengan selimut besar. Rambut merahnya berantakan.

“Kamu sakit?” tanya Awan.

“Tidak. Aku tidak mau keluar. Aku ini tidak berguna. Hik-hik-hik,” Matahari mulai menangis sedih. “Aku tidak seperti bulan. Dia selalu dikelilingi para bintang. Orang-orang juga selalu menunggu Bulan. Hik-hik-hik... huaaa....”

Karena Matahari tak mau muncul, Awan meminta Bulan untuk bersinar. Bulan yang sudah mengantuk akhirnya keluar lagi. Dia menggantikan Matahari. Tetapi karena semalaman sudah bersinar, Bulan menjadi lesu. Sinarnya redup.

Dua hari lamanya Bulan harus bersinar siang dan malam. Tentu saja Bulan menjadi sangat lelah. Sinarnya menjadi sipit, namanya bulan sabit. Malamnya Bulan benar-benar sakit.

Matahari yang bosan meringkuk di tempat tidur keluar. Oh... di luar gelap. Ke mana Bulan?

Awan menjawab, “Bulan sakit. Dia terpaksa menggantikanmu.”

Matahari terkejut. Dia tak menyangka kalau Bulan menggantikan dirinya. Matahari bergegas ke rumah Bulan. Dilihatnya Bulan memakai jaket tebal.

“Maafkan aku,” kata Matahari. “Aku sedih mendengarkan anak-anak tidak mau bangun pagi.”

Bulan tersenyum. “Tidak, kamu keliru. Ibu-ibu kebingungan karena baju dan kasur yang dijemur tidak kering. Tumbuhan juga memerlukan sinarmu untuk memasak makanan di daunnya.”

“Tetapi... aku tak pernah punya teman sepertimu.”

“Itu karena sinarmu sangat panas. Bintang-bintang tidak berani mendekat karena takut meleleh,” kata Bulan. “Tetapi mereka selalu kagum pada sinarmu yang terang.”

Matahari menunduk malu. Tak pantas diri iri pada Bulan. Sejak itu Matahari tidak pernah malas bersinar.

(Kumpulan Cerita Anak Seri I Ayahbunda No. 18)

02 April 2009

Peluang Bisnis di Rumah Sebelah


Belajar membuat hiasan dari handuk di Surabaya Handicraft Bazaar 2009, ITC Surabaya, Rabu (1/4).

Alarm ponsel menjadi bunyi yang paling menyebalkan karena selalu menuntut saya bangun. Paling tidak untuk mematikan dan kadang-kadang minta bonus terlelap lagi barang 10 menit. Setiap pukul 04.15 WIB alarm itu langsung menjerit-jerit.
Harus bangun kalau tidak ingin telat sarapan. Ada sebab lain, rantangan sudah dipesan agar datang pagi mruput, pagi sekali, sekitar pukul 05.15 WIB. Ini karena teman baikku harus sarapan 15 menit kemudian dan berangkat sekolah tepat pukul 06.00 WIB. Telat sedikit, dibekap macet.
Saya tidak akan bercerita tentang isi rantang yang sehari dibanderol Rp 20.000 dengan lauk dan sayur yang cukup untuk makan berdua sehari. Murah kan dibandingkan biaya dokter ketika berkali-kali teman baikku kena gejala tipes karena setiap hari makan entah apa dan di mana.

***

Kemarin, Rabu (1/4), memenuhi undangan teman baik saya, Lan Fang yang penulis novel, sesiang sampai menjelang sore saya di ITC. Ada pembukaan pameran kerajinan yang berlangsung hingga Minggu (5/4). Ada yang istimewa? Selain karena serentak diadakan pameran di tujuh mal Surabaya, pameran ini tidak jauh berbeda dengan pameran-pameran sebelumnya yang diadakan Dekranasda. Ada pelatihan keterampilan, pameran produk, batik (huaaa… ada kain panjang diskon yang motif dan warnanya bagus di Batik Canting!), saya menemukan wajah-wajah lama.
Senang bertemu lagi dengan Bu Heri 'Daun', Bu Widya 'Sampah', dll.
Dari UKM dan perajin (yang tidak sekadar ala rumahan) ini ditunjukkan bahwa peluang itu ada. Asal mau bergerak, jeli melihat pasar, kemasan menarik, dan promosi, pasti ada yang melirik. Soal dibeli atau tidak, itu nanti dulu. Paling tidak bagi Bu Tjahjani Retno Wilis, istri Wakil Wali Kota Surabaya, yang menggagas acara ini, setidaknya untuk meraih perhatian masyarakat.
Peluang itu –kabarnya—ada di mana-mana. Tetapi tak banyak yang menangkap peluang dengan cerdas. Hanya yang mau buka mata buka telinga yang bisa mendapatkannya. Begitu kata banyak pakar kewirausahaan.
Membaca semua tentang wirausaha menjadi santapan menyenangkan untuk saya. Tekadnya, suatu saat saya akan punya usaha sendiri. Kapan? Masih mengumpulkan modal dan sekarang sedang mengeruk ilmu dari buku, internet, dan di mana saja. Yang jelas bukan MLM karena saya terbukti tak bisa menawarkan dengan penuh emosi. Pasti ada cara lain.

***
Kembali ke rantangan. Bu Ferry, tetangga saya, tidak mengira jika dia akan melayani kebutuhan beberapa keluarga lewat masakannya. Bu Ferry ini oma yang tinggal beda blok dengan rumah saya. Dulu, setahu saya, tugasnya bersama Pak Ferry (yang ini sudah pasti suaminya) momong cucu.
Dalam beberapa kesempatan, Bu Ferry dimintai tolong memasak untuk dhahar romo. Yang kebagian tugas orang sibuk jadi men-sub-kan tugas ke Bu Ferry. Alasannya sederhana, oma kan di rumah, pasti punya banyak waktu untuk sekadar membuatkan sayur, lauk, dan sambal.
Dari situ, orang lain juga melihat kesempatan ngeles tugas memasak. Lagi-lagi Bu Ferry yang dimintai tolong. Meningkat ke acara kecil di sekitar perumahan, kembali oma yang memasak. Akhirnya berkembang menjadi permintaan tolong permanen: menyiapkan sayur dan lauk untuk beberapa keluarga sibuk yang harus berangkat pagi. Maklum, karena rumah saya di pinggiran, untuk mencapai tengah kota tempat bekerja dan sekolah harus berjuang melawan macet. Berangkat lebih pagi.
Jadilah oma yang memasakkan satu-dua keluarga setiap pagi. Melihat orang lain bisa keluar rumah dengan segar tanpa cemberut karena masih bau dapur, orang lain ikut pesan masakan ke oma. Yang lain juga, yang lain begitu pula.
Itu juga yang disarankan Bu dan Pak Agung. “Ngerantang saja ke oma. Praktis dan tidak mahal. Lagipula dijamin bersih,” begitu kata Bu Agung.
Malam itu juga saya ke oma dan pesan untuk enam hari. Minggu saya minta libur, malu, masa seumur hidup ngerantang. Padahal kalau Minggu, jalan-jalan ke pasar ternyata beli sarapan matang di tempat Bu Budi, mangut ala Semarang yang sedap. Lagi-lagi tidak masak.
Bukan karena saya manusia sibuk kalau memilih rantangan wong saya bisa berangkat pukul 10.00 WIB. Saya sadar diri. Untuk bangun dari tidur yang hanya 3-4 jam karena pulang dari kantor larut malam, rasanya badan ini tak bisa diajak cekatan mengiris bawang. Masih setengah sadar untuk menyiapkan sarapan sekaligus bekal makan siang. Pilihannya, pesan saja.
Ini yang berkali-kali dikatakan Safir Senduk, si perencana keuangan yang bukunya saya koleksi. Lihat dan tangkap peluang sekecil apa pun. Oma melihatnya. Lewat masakan sederhana seperti sayur bayam, sayur asam, sup, oseng-oseng, dan lauk yang benar-benar ala nyonya rumah, belasan rantang selalu beredar. Oma tak sekadar memasak. Ada jurus yang tak dipunyai usaha rantangan lain di sekitar perumahan. Waktu yang tepat.
Ada yang minta diantar mruput, pagi buta, seperti saya dan keluarga yang anak-anaknya harus berangkat pagi, ada yang minta agak siang, ada yang minta tengah hari. Semua dilayani sesuai dengan pesanan. Mana ada rantangan yang seenaknya minta diantar setelah subuh seperti saya?
Selain itu, oma juga menuruti mau pelanggannya. Saya tak mau bersentuhan dengan daging dan ayam. Oke, dituruti. Ada yang ingin spesial dengan daging yang banyak dalam sayur (waks), boleh juga, tentu dengan tambahan biaya.
Seksi pengantaran, Opa Ferry yang berbadan besar. Kadang-kadang kasihan juga melihat opa terengah-engah membawa tas besar berisi rantang-rantang. Tetapi itu sekaligus menjadi olahraganya.
Saya melihat oma dan opa sangat beruntung. Ketika orang sepuh lain bingung mau ngapain di hari tua, Pak dan Bu Ferry justru punya kesibukan yang menghasilkan uang. Bukankah ini peluang yang luar biasa? Siapa bilang hanya mereka yang muda dan berotot kuat yang bisa menghasilkan pemasukan? Dua orang tua ini membuktikan.

***
Lirik rumah tetangga. Mereka perlu apa? Anak-anak yang hanya berdua dengan mbak-mbak bisa digarap. Buka les spesial untuk mengerjakan PR di siang hari. Jadi, ketika ibu mereka pulang dari kerja, PR anak-anak sudah beres. Peluang, lho. Tentu saja jangan pasang tarif tinggi. Kalau rumah bisa menyediakan buku-buku untuk anak, tentu orangtua tak segan melepas anaknya ke rumah kita.
Hehe, ini salah satu mimpi yang saya idamkan. Rumah jadi perpustakaan dan familiar untuk anak-anak tetangga.

25 Februari 2009

Alhamdulillah Disangoni Simbah




Lagi, Sabtu (22/2), naik bemo. Surabaya setelah hujan tampak lebih segar meski hawa tetap gerah. Setengah terkantuk-kantuk, di dekat Giant ada ibu dengan tiga anak masuk. Rambut mereka basah.
Ibu yang usianya tak lebih tua dari saya itu menggendong anak bungsunya. Entah lelaki atau perempuan karena ditutup brukut dengan selendang gendongan. Anak sulungnya yang dipanggil Mbak mengingatkan saya pada Dhea Imut. Mirip sekali. Adiknya mungkin duduk di bangku TK, berambut panjang krewul seperti ibunya.
Tak ada yang istimewa dari keluarga itu. Sayang, saya punya dua telinga yang berlubang sehingga menangkap semua pembicaraan mereka yang memang volume suaranya tidak dikecilkan.
Mereka berbincang tentang bakso mana yang lebih enak dan murah ketika melewati deretan penjual makanan di depan Giant. Lalu bercerita tentang dua nama yang saya (tentu saja) tidak tahu itu siapa. Lalu Mbak berkata pada ibunya.
“Ma, berarti gajian nanti papa bisa dapat banyak, yo. Seminggu Rp 300.000 berarti sebulan Rp 1,2 juta. Lumayan yo, Ma,” kata Mbak dengan mata berbinar.
“Iya, dongakna papamu bisa nyupir keluar kota terus biar gajinya bisa dapat Rp 1,2 juta. Lek gak yo gak sampai segitu. Paling Rp 800.000,” kata ibu itu dengan nada bangga.
“Ya lumayan Ma kalau dapat Rp 800.000. Alhamdulillah,” kata Mbak.
Saya bayangkan, keluarga ini cukup terbuka hingga berapa gaji ayah bisa dihitung oleh anaknya. Si Mbak yang belum lulus SD ini sudah dilibatkan dalam neraca keluarga mereka. Dan… baik ibu juga si Mbak itu bangga pada ayahnya. Gaji Rp 1,2 juta dipakai hidup sekeluarga. Neraca seperti apa yang dipunyai ibu yang duduk di sebelah saya ini. Berhitung dengan para gapit pun tak masuk akal. Mungkin Gusti Allah itu selalu menambahkan akal panjang untuk mereka dan tidak untuk saya.
Kuping saya tak bisa mendengar perbincangan lain karena penumpang di depan saya sibuk dengan ponselnya. Sementara di luar gerimis mulai berisik.
“Alhamdulillah ya Mbak, tadi disangoni Mbah Rp 5.000,” kata si ibu. “Kepengin apa? Bakso? Nanti mampir beli bakso untuk makan,” tambah ibu itu.
Si Mbak dan adiknya menggeleng, tak mau makan bakso. “Mi,” kata Mbak. Adiknya manut, mengangguk.
“Ya sudah, nanti langsung beli mi goreng dua, telur seperempat (kilogram). Cukup untuk makan sore. Nanti papamu dibuatkan telur dadar pakai irisan lombok,” kata ibu. “Lumayan lho ngirit satu kali makan,” tambahnya.
Hah?! Disangoni Rp 5.000 saja Alhamdulillah? Masya Allah. Betapa besar uang seuprit itu untuk mereka. Bisa makan sekeluarga dengan menu istimewa: mi goreng, telur dadar dua versi pedas dan tidak pedas untuk ayah-ibu, Mbak, adik, dan si bungsu.
Ada di mana kaki saya selama ini? Menginjak bulan atau awan, sampai percakapan kecil itu sungguh membuat malu.
Padahal dalam hati saya tadi langsung berkomentar, oalah simbah mereka itu kebangeten. Masa nyangoni kok cuma Rp 5.000 untuk tiga cucunya. Ternyata itu memang ukuran yang lumayan untuk sekali makan sekeluarga. Makin wirang rasanya muka ini. Itu hanya uang untuk slilit jajan di koperasi kantor.
Bukan maksud saya untuk merasa lebih berpunya atau justru lebih hemat, super-irit. Saya hanya berusaha memaksa pantat saya untuk duduk dalam posisi yang tidak biasa. Duduk bersama keluarga Mbak tadi, misalnya. Jadi saya bisa ikut mencicipi nikmatnya mi yang Alhamdulillah.
Masya Allah, mudah-mudahan saya tidak ada di wilayah hedonisme meski belum bisa pula berugahari. Saya bisa berkilah, hedonisme atau ugahari sangat bergantung di mana pantat saya duduk dan mata saya melihat.
Tetapi demi bertemu Mbak yang mirip Dhea Imut itu, saya jadi khawatir masuk ke dalam kerumunan orang yang egois dan berusaha mencari kenikmatan untuk diri sendiri. Padahal saat ini saya sedang mengincar alat olahraga injek-injekan untuk menurunkan berat badan seharga Rp 800.000, setara gaji papanya Mbak sebulan jika tidak nyupir keluar kota.
Lha gimana, kata sebuah situs perempuan, berat badan saya kelebihan 10 kilogram. Alamak! Tidak ugaharikah saya?