25 Februari 2009

Alhamdulillah Disangoni Simbah




Lagi, Sabtu (22/2), naik bemo. Surabaya setelah hujan tampak lebih segar meski hawa tetap gerah. Setengah terkantuk-kantuk, di dekat Giant ada ibu dengan tiga anak masuk. Rambut mereka basah.
Ibu yang usianya tak lebih tua dari saya itu menggendong anak bungsunya. Entah lelaki atau perempuan karena ditutup brukut dengan selendang gendongan. Anak sulungnya yang dipanggil Mbak mengingatkan saya pada Dhea Imut. Mirip sekali. Adiknya mungkin duduk di bangku TK, berambut panjang krewul seperti ibunya.
Tak ada yang istimewa dari keluarga itu. Sayang, saya punya dua telinga yang berlubang sehingga menangkap semua pembicaraan mereka yang memang volume suaranya tidak dikecilkan.
Mereka berbincang tentang bakso mana yang lebih enak dan murah ketika melewati deretan penjual makanan di depan Giant. Lalu bercerita tentang dua nama yang saya (tentu saja) tidak tahu itu siapa. Lalu Mbak berkata pada ibunya.
“Ma, berarti gajian nanti papa bisa dapat banyak, yo. Seminggu Rp 300.000 berarti sebulan Rp 1,2 juta. Lumayan yo, Ma,” kata Mbak dengan mata berbinar.
“Iya, dongakna papamu bisa nyupir keluar kota terus biar gajinya bisa dapat Rp 1,2 juta. Lek gak yo gak sampai segitu. Paling Rp 800.000,” kata ibu itu dengan nada bangga.
“Ya lumayan Ma kalau dapat Rp 800.000. Alhamdulillah,” kata Mbak.
Saya bayangkan, keluarga ini cukup terbuka hingga berapa gaji ayah bisa dihitung oleh anaknya. Si Mbak yang belum lulus SD ini sudah dilibatkan dalam neraca keluarga mereka. Dan… baik ibu juga si Mbak itu bangga pada ayahnya. Gaji Rp 1,2 juta dipakai hidup sekeluarga. Neraca seperti apa yang dipunyai ibu yang duduk di sebelah saya ini. Berhitung dengan para gapit pun tak masuk akal. Mungkin Gusti Allah itu selalu menambahkan akal panjang untuk mereka dan tidak untuk saya.
Kuping saya tak bisa mendengar perbincangan lain karena penumpang di depan saya sibuk dengan ponselnya. Sementara di luar gerimis mulai berisik.
“Alhamdulillah ya Mbak, tadi disangoni Mbah Rp 5.000,” kata si ibu. “Kepengin apa? Bakso? Nanti mampir beli bakso untuk makan,” tambah ibu itu.
Si Mbak dan adiknya menggeleng, tak mau makan bakso. “Mi,” kata Mbak. Adiknya manut, mengangguk.
“Ya sudah, nanti langsung beli mi goreng dua, telur seperempat (kilogram). Cukup untuk makan sore. Nanti papamu dibuatkan telur dadar pakai irisan lombok,” kata ibu. “Lumayan lho ngirit satu kali makan,” tambahnya.
Hah?! Disangoni Rp 5.000 saja Alhamdulillah? Masya Allah. Betapa besar uang seuprit itu untuk mereka. Bisa makan sekeluarga dengan menu istimewa: mi goreng, telur dadar dua versi pedas dan tidak pedas untuk ayah-ibu, Mbak, adik, dan si bungsu.
Ada di mana kaki saya selama ini? Menginjak bulan atau awan, sampai percakapan kecil itu sungguh membuat malu.
Padahal dalam hati saya tadi langsung berkomentar, oalah simbah mereka itu kebangeten. Masa nyangoni kok cuma Rp 5.000 untuk tiga cucunya. Ternyata itu memang ukuran yang lumayan untuk sekali makan sekeluarga. Makin wirang rasanya muka ini. Itu hanya uang untuk slilit jajan di koperasi kantor.
Bukan maksud saya untuk merasa lebih berpunya atau justru lebih hemat, super-irit. Saya hanya berusaha memaksa pantat saya untuk duduk dalam posisi yang tidak biasa. Duduk bersama keluarga Mbak tadi, misalnya. Jadi saya bisa ikut mencicipi nikmatnya mi yang Alhamdulillah.
Masya Allah, mudah-mudahan saya tidak ada di wilayah hedonisme meski belum bisa pula berugahari. Saya bisa berkilah, hedonisme atau ugahari sangat bergantung di mana pantat saya duduk dan mata saya melihat.
Tetapi demi bertemu Mbak yang mirip Dhea Imut itu, saya jadi khawatir masuk ke dalam kerumunan orang yang egois dan berusaha mencari kenikmatan untuk diri sendiri. Padahal saat ini saya sedang mengincar alat olahraga injek-injekan untuk menurunkan berat badan seharga Rp 800.000, setara gaji papanya Mbak sebulan jika tidak nyupir keluar kota.
Lha gimana, kata sebuah situs perempuan, berat badan saya kelebihan 10 kilogram. Alamak! Tidak ugaharikah saya?