04 April 2009

Saat Bulan Sakit



Saya menemukan tulisan lama saya di blog tetangga yang dimuat tahun 2008. Jadi kangen membuat tulisan anak-anak lagi. Tulisan ini saya ikutkan lomba menulis cerita anak di Majalah Ayahbunda tahun 2004, yah... sekitar tahun itulah. Tidak menjadi juara pertama tetapi jadi cerita pilihan yang boleh tampil dalam kumpulan cerita anak. Terima kasih Shami Windya yang punya blog ini.
Ini saya edit ulang karena gatal melihat tanda baca yang jumpalitan.

Saat Bulan Sakit

Monday, March 15, 2004 - Sumber : Endah Imawati
Feb 24, ‘08 6:25 AM for everyone
(Ditampilkan dalam blog oleh Shami Windya, XI IPA 1 di http://scotle.multiply.com)



Sore itu bintang-bintang berdandan rapi. Mereka membasuh mukanya sampai cemerlang.

Matahari heran, “Aduh... cantiknya. Kalian akan kemana?”

Mereka tersenyum. “Ke rumah Bulan.”

Matahari terkejut, “Apakah di sana ada pesta? Mengapa aku tidak diundang?”

“Bukan pesta,” jawab Bintang Kejora. “Kami akan menemani Bulan. Kasihan kalau dia harus bekerja sendiri di malam gelap. Karena itu kami membasuh muka sampai cemerlang. Langit yang gelap pasti akan cerah.”

Matahari menjadi sedih. “Bulan sangat beruntung. Aku sudah bekerja keras tapi tak ada yang memperhatikan.”

Matahari ingat, jika mulai bersinar, banyak anak menangis kalau harus bangun untuk mandi dan berangkat sekolah. Siang hari pun Matahari sering mendengar orang mengeluh kepanasan. Sebaliknya, banyak orang mengunggu Bulan. Mereka akan memandang Bulan sambil berdecak kagum. “Indahnya Bulan hari ini. Sinarnya seperti emas.”

Matahari sangat sedih. Air mata menetes di pipinya yang merah. “A... aku memang tidak berguna. Hik-hik-hik. Aku tidak mau bersinar lagi. Huuu....”

Menjelang pagi Bulan dan Bintang bintang pulang. Mereka sudah lelah setelah semalaman menerangi langit yang gelap.

Tetapi, oh... Pak Jago kebingungan. Dia sudah merasa waktunya bangun tetapi Matahari belum muncul, “Mungkin aku bangun terlalu pagi. Kalau begitu tidur lagi ahhh.” Akibatnya semua orang terlambat bangun.

Awan segera ke rumah Matahari. Dilihatnya Matahari menutupi tubuhnya dengan selimut besar. Rambut merahnya berantakan.

“Kamu sakit?” tanya Awan.

“Tidak. Aku tidak mau keluar. Aku ini tidak berguna. Hik-hik-hik,” Matahari mulai menangis sedih. “Aku tidak seperti bulan. Dia selalu dikelilingi para bintang. Orang-orang juga selalu menunggu Bulan. Hik-hik-hik... huaaa....”

Karena Matahari tak mau muncul, Awan meminta Bulan untuk bersinar. Bulan yang sudah mengantuk akhirnya keluar lagi. Dia menggantikan Matahari. Tetapi karena semalaman sudah bersinar, Bulan menjadi lesu. Sinarnya redup.

Dua hari lamanya Bulan harus bersinar siang dan malam. Tentu saja Bulan menjadi sangat lelah. Sinarnya menjadi sipit, namanya bulan sabit. Malamnya Bulan benar-benar sakit.

Matahari yang bosan meringkuk di tempat tidur keluar. Oh... di luar gelap. Ke mana Bulan?

Awan menjawab, “Bulan sakit. Dia terpaksa menggantikanmu.”

Matahari terkejut. Dia tak menyangka kalau Bulan menggantikan dirinya. Matahari bergegas ke rumah Bulan. Dilihatnya Bulan memakai jaket tebal.

“Maafkan aku,” kata Matahari. “Aku sedih mendengarkan anak-anak tidak mau bangun pagi.”

Bulan tersenyum. “Tidak, kamu keliru. Ibu-ibu kebingungan karena baju dan kasur yang dijemur tidak kering. Tumbuhan juga memerlukan sinarmu untuk memasak makanan di daunnya.”

“Tetapi... aku tak pernah punya teman sepertimu.”

“Itu karena sinarmu sangat panas. Bintang-bintang tidak berani mendekat karena takut meleleh,” kata Bulan. “Tetapi mereka selalu kagum pada sinarmu yang terang.”

Matahari menunduk malu. Tak pantas diri iri pada Bulan. Sejak itu Matahari tidak pernah malas bersinar.

(Kumpulan Cerita Anak Seri I Ayahbunda No. 18)

02 April 2009

Peluang Bisnis di Rumah Sebelah


Belajar membuat hiasan dari handuk di Surabaya Handicraft Bazaar 2009, ITC Surabaya, Rabu (1/4).

Alarm ponsel menjadi bunyi yang paling menyebalkan karena selalu menuntut saya bangun. Paling tidak untuk mematikan dan kadang-kadang minta bonus terlelap lagi barang 10 menit. Setiap pukul 04.15 WIB alarm itu langsung menjerit-jerit.
Harus bangun kalau tidak ingin telat sarapan. Ada sebab lain, rantangan sudah dipesan agar datang pagi mruput, pagi sekali, sekitar pukul 05.15 WIB. Ini karena teman baikku harus sarapan 15 menit kemudian dan berangkat sekolah tepat pukul 06.00 WIB. Telat sedikit, dibekap macet.
Saya tidak akan bercerita tentang isi rantang yang sehari dibanderol Rp 20.000 dengan lauk dan sayur yang cukup untuk makan berdua sehari. Murah kan dibandingkan biaya dokter ketika berkali-kali teman baikku kena gejala tipes karena setiap hari makan entah apa dan di mana.

***

Kemarin, Rabu (1/4), memenuhi undangan teman baik saya, Lan Fang yang penulis novel, sesiang sampai menjelang sore saya di ITC. Ada pembukaan pameran kerajinan yang berlangsung hingga Minggu (5/4). Ada yang istimewa? Selain karena serentak diadakan pameran di tujuh mal Surabaya, pameran ini tidak jauh berbeda dengan pameran-pameran sebelumnya yang diadakan Dekranasda. Ada pelatihan keterampilan, pameran produk, batik (huaaa… ada kain panjang diskon yang motif dan warnanya bagus di Batik Canting!), saya menemukan wajah-wajah lama.
Senang bertemu lagi dengan Bu Heri 'Daun', Bu Widya 'Sampah', dll.
Dari UKM dan perajin (yang tidak sekadar ala rumahan) ini ditunjukkan bahwa peluang itu ada. Asal mau bergerak, jeli melihat pasar, kemasan menarik, dan promosi, pasti ada yang melirik. Soal dibeli atau tidak, itu nanti dulu. Paling tidak bagi Bu Tjahjani Retno Wilis, istri Wakil Wali Kota Surabaya, yang menggagas acara ini, setidaknya untuk meraih perhatian masyarakat.
Peluang itu –kabarnya—ada di mana-mana. Tetapi tak banyak yang menangkap peluang dengan cerdas. Hanya yang mau buka mata buka telinga yang bisa mendapatkannya. Begitu kata banyak pakar kewirausahaan.
Membaca semua tentang wirausaha menjadi santapan menyenangkan untuk saya. Tekadnya, suatu saat saya akan punya usaha sendiri. Kapan? Masih mengumpulkan modal dan sekarang sedang mengeruk ilmu dari buku, internet, dan di mana saja. Yang jelas bukan MLM karena saya terbukti tak bisa menawarkan dengan penuh emosi. Pasti ada cara lain.

***
Kembali ke rantangan. Bu Ferry, tetangga saya, tidak mengira jika dia akan melayani kebutuhan beberapa keluarga lewat masakannya. Bu Ferry ini oma yang tinggal beda blok dengan rumah saya. Dulu, setahu saya, tugasnya bersama Pak Ferry (yang ini sudah pasti suaminya) momong cucu.
Dalam beberapa kesempatan, Bu Ferry dimintai tolong memasak untuk dhahar romo. Yang kebagian tugas orang sibuk jadi men-sub-kan tugas ke Bu Ferry. Alasannya sederhana, oma kan di rumah, pasti punya banyak waktu untuk sekadar membuatkan sayur, lauk, dan sambal.
Dari situ, orang lain juga melihat kesempatan ngeles tugas memasak. Lagi-lagi Bu Ferry yang dimintai tolong. Meningkat ke acara kecil di sekitar perumahan, kembali oma yang memasak. Akhirnya berkembang menjadi permintaan tolong permanen: menyiapkan sayur dan lauk untuk beberapa keluarga sibuk yang harus berangkat pagi. Maklum, karena rumah saya di pinggiran, untuk mencapai tengah kota tempat bekerja dan sekolah harus berjuang melawan macet. Berangkat lebih pagi.
Jadilah oma yang memasakkan satu-dua keluarga setiap pagi. Melihat orang lain bisa keluar rumah dengan segar tanpa cemberut karena masih bau dapur, orang lain ikut pesan masakan ke oma. Yang lain juga, yang lain begitu pula.
Itu juga yang disarankan Bu dan Pak Agung. “Ngerantang saja ke oma. Praktis dan tidak mahal. Lagipula dijamin bersih,” begitu kata Bu Agung.
Malam itu juga saya ke oma dan pesan untuk enam hari. Minggu saya minta libur, malu, masa seumur hidup ngerantang. Padahal kalau Minggu, jalan-jalan ke pasar ternyata beli sarapan matang di tempat Bu Budi, mangut ala Semarang yang sedap. Lagi-lagi tidak masak.
Bukan karena saya manusia sibuk kalau memilih rantangan wong saya bisa berangkat pukul 10.00 WIB. Saya sadar diri. Untuk bangun dari tidur yang hanya 3-4 jam karena pulang dari kantor larut malam, rasanya badan ini tak bisa diajak cekatan mengiris bawang. Masih setengah sadar untuk menyiapkan sarapan sekaligus bekal makan siang. Pilihannya, pesan saja.
Ini yang berkali-kali dikatakan Safir Senduk, si perencana keuangan yang bukunya saya koleksi. Lihat dan tangkap peluang sekecil apa pun. Oma melihatnya. Lewat masakan sederhana seperti sayur bayam, sayur asam, sup, oseng-oseng, dan lauk yang benar-benar ala nyonya rumah, belasan rantang selalu beredar. Oma tak sekadar memasak. Ada jurus yang tak dipunyai usaha rantangan lain di sekitar perumahan. Waktu yang tepat.
Ada yang minta diantar mruput, pagi buta, seperti saya dan keluarga yang anak-anaknya harus berangkat pagi, ada yang minta agak siang, ada yang minta tengah hari. Semua dilayani sesuai dengan pesanan. Mana ada rantangan yang seenaknya minta diantar setelah subuh seperti saya?
Selain itu, oma juga menuruti mau pelanggannya. Saya tak mau bersentuhan dengan daging dan ayam. Oke, dituruti. Ada yang ingin spesial dengan daging yang banyak dalam sayur (waks), boleh juga, tentu dengan tambahan biaya.
Seksi pengantaran, Opa Ferry yang berbadan besar. Kadang-kadang kasihan juga melihat opa terengah-engah membawa tas besar berisi rantang-rantang. Tetapi itu sekaligus menjadi olahraganya.
Saya melihat oma dan opa sangat beruntung. Ketika orang sepuh lain bingung mau ngapain di hari tua, Pak dan Bu Ferry justru punya kesibukan yang menghasilkan uang. Bukankah ini peluang yang luar biasa? Siapa bilang hanya mereka yang muda dan berotot kuat yang bisa menghasilkan pemasukan? Dua orang tua ini membuktikan.

***
Lirik rumah tetangga. Mereka perlu apa? Anak-anak yang hanya berdua dengan mbak-mbak bisa digarap. Buka les spesial untuk mengerjakan PR di siang hari. Jadi, ketika ibu mereka pulang dari kerja, PR anak-anak sudah beres. Peluang, lho. Tentu saja jangan pasang tarif tinggi. Kalau rumah bisa menyediakan buku-buku untuk anak, tentu orangtua tak segan melepas anaknya ke rumah kita.
Hehe, ini salah satu mimpi yang saya idamkan. Rumah jadi perpustakaan dan familiar untuk anak-anak tetangga.