06 Agustus 2009

Pesawatku

Setiap kali pergi dengan pesawat, rasa mules makin menjadi dibandingkan jika perjalanan darat. Baru reda setelah yakin semua beres. Tiket, boarding pass, berkali-kali melihat gate berapa dan nomor kursi berapa, meyakinkan diri tidak salah gerbong, hingga berdoa supaya dapat teman yang tidur terus supaya tak perlu basa-basi.

Urusan doa, pesawat membuat saya makin dekat dengan Gusti Allah. Bukan karena ada di langit beberapa puluh menit tetapi karena benar-benar menyerahkan segala kepadaNya.

Sering saya protes dalam hati, mengapa di pesawat hanya ada pelampung? Seharusnya disediakan juga payung parasut sehingga bisa melayang jika ada apa-apa. Pelampung kan hanya untuk pendaratan darurat di air. Lha kalau seperti twin otter yang jatuh di Papua, apa guna pelampung?

Feri saja ada sekocinya. Saya bayangkan, jika di bagian bawah tempat duduk ada pelampung, harusnya di sandaran kursi disediakan sayap lengkap dengan helm yang mengembang bila ditiup. Begitu ada apa-apa, tinggal tempel sayap, whussss.... Ini mau saya.

Ketika ada kerjaan yang mengharuskan berangkat ke Jogjakarta dan naik pesawat yang hobi delay, saya terkekeh saat dipersilakan masuk. Pramugari yang muda, cantik, berbedak dan gincu tebal, dengan senyum yang tak pernah henti meski mata mereka nyaris tak mesem, dengan ramah menyambut. ”Selamat datang Bapak dan Ibu. Mohon maaf atas keterlambatan kami. Nomor kursi di tiket tidak berlaku lagi. Silakan memilih tempat duduk sendiri.”

Gedubrak, awas, minggir, permisi, aduh, maaf. Langsung riuh rendah seperti keroyokan di Terminal Bungurasih ketika lebaran. Maklum, semua sudah tak sabar ingin segera ke Jogjakarta setelah delay 2 jam dan terkantuk-kantuk di Bandara Juanda, Surabaya.

Tetapi paling asyik memang naik satu maskapai tertua di Indonesia. Saya tak peduli dengan pramugari yang mesem ala kadarnya. Senyum ini baru kelihatan nikmat dilihat ketika sudah sampai tujuan dan para penumpang turun. Ini senyum lega karena urusan melayani usai. Saya senang karena pilihan koran gratisnya banyak terutama untuk koran yang tak saya temui di kios koran di Surabaya.

Senin (27/7) ke Jakarta lagi. Seperti biasa mas-mas staf maskapai ini memberitahu posisi pesawat. Biasanya cuma, kita ada di ketinggian sekian. Tetapi mas yang satu ini sangat ramah. Dia tahu, ada beberapa rombongan turis di pesawat. Dengan sangat ramah mas ini bercerita tentang wilayah yang dilewati. Suaranya tegas dan tidak disengau-sengaukan seperti biasanya. “Bapak dan Ibu, kita sekarang ada di atas kota Cirebon. Kota ini ada di Jawa Barat. Cirebon dikenal dengan hasil laut dan kerajinan batik pesisirnya. Wilayah ini berbatasan dengan Gunung Ciremay. Tinggi gunung ini... bla-bla-bla.”

Penjelasannya panjang. Senang saya mendengarnya karena baru kali ini saya menikmati keramahan guide di dalam pesawat. Nah, si mas ini kan harus menerjemahkan dalam bahasa Inggris. Dia berbicara sama ramahnya dan sama panjangnya seperti dalam bahasa Indonesia.

Begitu si mas mengatakan selamat menikmati keindahan Cirebon dan Gunung Ciremay, rombongan turis langsung melongok ke jendela untuk melihat Cirebon dan Gunung Ciremay yang disebut itu. Mereka tolah-toleh mencari. Tak mungkin menengok ke belakang karena jendela pesawat cuma seuprit.

Yah… si mas tadi tidak berhitung dia sedang naik pesawat. Ketika memberitahu dalam bahasa Indonesia saya bisa langsung melirik ke bawah dan melihat gunung itu karena cuaca cerah. Tetapi ketika si mas ngoceh dalam bahasa Inggris yang juga panjang, pesawat sudah meninggalkan Cirebon. Lha… apa yang dilihat para turis itu?