14 Oktober 2010

Mantra Pawang Hujan

Kajian Medan Makna

Endah Imawati


1. Latar Belakang


Saat Olimpiade Beijing 2008, hujan menjadi kekhawatiran penyelenggara pesta olahraga akbar ini. China menyiapkan tiga teknologi mutakhir untuk menghindari hujan. Pertama, dia menyiapkan meriam penangkis udara yang berisi garam iodium untuk mengikat butiran air di awan. Kedua, dengan menyediakan peluncur roket jika upaya pertama gagal dilakukan. Ketiga, menggunakan pesawat ringan untuk menebarkan katalis pada awan hitam. Dan terbukti, dengan upaya pertama saja mendung berhasil disingkirkan dan olimpiade berlangsung tanpa hujan.

Tentu saja teknologi ini sangat mahal. Bangsa kita punya cara yang relatif murah dan mudah dilakukan yaitu dengan minta bantuan pawang hujan untuk menyingkirkan tetesan hujan di daerah tertentu. Pawang hujan sebagai perantara menurut kelaziman sebenarnya tidak boleh memasang tarif. Tetapi biasanya mereka diberi sangu (uang saku) mulai Rp250.000,00 sampai Rp1.500.000,00 bergantung jenis hajatan pengundang. Jika hanya acara khitan, pesta perkawinan, tentu lebih murah dibandingkan dengan acara besar seperti pentas musik, sepak bola, atau acara yang melibatkan banyak orang.

Bukan hanya murah, jasa pawang hujan dengan mantranya sebenarnya merupakan kekayaan budaya Indonesia. Di Jawa, keberadaan mereka masih tak tergantikan oleh teknologi karena terbukti hasilnya bisa diandalkan. Paling tidak bagi penyelenggara pertandingan sepak bola, nama Ki Ageng Sumari cukup dikenal. Dia dipercaya ‘menjaga’ situasi agar hujan tidak turun ketika Persebaya turun ke lapangan.

Mantra yang diucapkan Ki Ageng Sumari ini awalnya mantra kejawen tetapi kini dia menggunakan doa Islam sebagai pembuka meskipun ritualnya tetap kejawen. Profesi ini membuat Ki Ageng Sumari sering dimintai bantuan untuk menahan hujan di suatu tempat.
Ada lagi Joko Hari Nugroho, pawang hujan amatir yang dikenal dalam lingkungan terbatas yang bisa menahan hujan dengan doa-doa Islam yang sebenarnya tidak bisa dimasukkan dalam mantra. Tetapi karena Joko Hari Nugroho juga memasukkan unsur mantra, maka unsur ini yang akan dikaji maknanya.

Untuk mencegah agar tidak turun hujan di antara orang Betawi keturunan China memiliki kebiasaan untuk menusukkan sebutir bawang merah dan sebutir cabai merah pada tusuk sate yang kemudian ditancapkan pada pagar rumah. Untuk mencegah agar pada pesta pernikahan tidak turun hujan, orang Jawa Timur keturunan China mencegahnya dengan melarang mandi pada para calon mempelai sejak kemarin petangnya (Danandjaja, 1997:165).

Penelitian atas sastra lisan seperti mantra perlu dilakukan karena dari kajian-kajian ini akan terlihat budaya Indonesia yang beragam. Kajian linguistik pada mantra juga bisa menepis anggapan bahwa mantra selalu berkonotasi negatif. Bagi sebagian orang Jawa, sepanjang hidupnya selalu ada mantra yang menyertai mulai dari dalam kandungan, lahir, tumbuh, menikah, hingga mati. Ini menarik untuk dikaji.
Fungsi sastra lisan dalam masyarakat antara lain mengetahui apakah peranan sastra di dalam masyarakat. Jika sastra berperan dalam masyarakat, sedikit ataukah banyak ia mencerminkan keadaan budaya dan tata susunan masyarakat? Jika sastra lisan merefleksikan keadaan masyarakat, apakah yang direfleksikan itu (Hutomo, 1991:18).

Secara teori, kajian makna mantra akan menambah kekayaan penelitian linguistik mengenai bahasa yang digunakan dalam budaya masyarakat. Meski dianggap kuno, kenyataannya sampai saat ini mantra masih berkembang meski sudah dimodifikasi. Penelitian tentang mantra membuktikan bangsa ini memiliki kekayaan budaya yang layak diteliti. Kajian makna mantra akan menambah kekayaan penelitian sastra lisan maupun linguistik mengenai bahasa yang digunakan dalam budaya masyarakat. Jasa dan mantra pawang hujan masih banyak digunakan dalam masyarakat. Manfaat penelitian ini untuk mengetahui makna mantra yang digunakan pawang hujan.

Masalah yang akan dibahas hanya pada mantra dan bukan doa. Karena dua pawang hujan yang menjadi sumber data sudah mengolaborasikan mantra dengan doa Islam, maka doa Islam tidak akan dibahas karena tidak termasuk dalam mantra.

Ciri-ciri sastra lisan adalah penyebarannya melalui mulut, lahir di dalam masyarakat yang berdorak desa, masyarakat di luar kota, atau masyarakat yang belum mengenal huruf. Sastra lama menggambarkan ciri budaya suatu masyarakat sebab sastra itu warisan budaya, tidak diketahui siapa pengarangnya dan oleh karena itu menjadi milik masyarakat. Sastra ini bercorak puitis, teratur, berulang-ulang, juga tidak mementingkan fakta dan kebenaran kebih menekankah pada aspek khayalan/fantasi yang tidak bisa diterima masyarakat modern. Biasanya, sastra lisan itu terdiri dari beberapa versi, menggunakan bahasa lisan sehari-hari, tidak menggunakan dialek, dan kadang-kadang diucapkan tidak lengkap (Hutomo, 1991:3).

Mantra pawang hujan sebenarnya termasuk sastra lisan primer meskipun sekarang banyak yang menuliskan mantra milik pawang hujan ini. Sastra lisan primer adalah hasil sastra lisan yang tidak dikenal versi tulisnya dan penyampaiannya umumnya secara langsung dan terlebih dulu tidak perlu menghafalkan teks tulis. Sebaliknya, sastra lisan sekunder adalah hasil sastra lisan yag didahului oleh teks tulisannya. Teks tulis ini dibaca dan dihafal baru kemudian dilisankan pada khalayak pendengar (Hutomo, 1998:224).

Mantra merupakan salah satu produk sastra sebagai sebuah kebudayaan yang pernah mewarnai kehidupan masyarakat di Nusantara. Matra bisa berupa puisi lisan yang berpotensi memiliki kekuatan gaib atau semacam doa yang memanfaatkan bahasa lokal dengan didasari oleh keyakinan yang telah diwariskan oleh para leluhur. Agar dapat dimanfaatkan, mantra tidak cukup untuk sekadar dihafalkan, tetapi harus disertai laku mistik (Saputra, 2007:xxv).

Mantra menurut leksikon Sansekerta berasal dari kata man/manas ‘berpikir/pikiran’ dan tra/tri ‘melindungi’. Jadi, apabila kita berpijak pada pengertian tersebut, artinya mantra bersifat melindungi pikiran manusia dari nafsu-nafsu rendah duniawi. Secara sederhana mantra diartikan sebagai perkataan atau ucapan yang memiliki kekuatan gaib (KBBI, 2008:876). Tim Penyusun Kamus berpendapat tentang pengertian mantra adalah (1) perkataan atau ucapan yang dapat mendatangkan daya gaib (misal: dapat menyembuhkan; mendatangkan celaka; dan sebagainya); (2) susunan kata berunsur puisi yang dianggap mengandung kekuatan gaib, biasanya diucapkan oleh dukun atau pawang untuk menandingi kekuatan gaib yang lain.

Mantra memiliki banyak jenis berdasarkan fungsinya, yaitu mantra pengasihan, mantra kanuragan, mantra kasuksman, mantra pertanian, mantra dagang/penglarisan, mantra panyuwunan, mantra panulakan, mantra pengobatan, mantra trawangan/sorog, mantra panglarutan, mantra sirep/panglerepan, mantra pangracutan, dan mantra dhanyangan.

Era modern dengan kemajuan teknologi yang semakin canggih, ternyata masih menyisakan ruang bagi tradisi lisan, khususnya mantra. Namun pada kenyataannya tradisi lisan hanya mampu berkembang di pelosok-pelosok desa. Kebingungan manusia untuk membedakan antara tradisi dan modern, akhirnya menuntut manusia untuk menggabungkan antara yang dianggap tradisi dan yang dianggap modern. Dalam kehidupan masyarakat modern, tidak jarang mantra menunjukkan keberadaannya pada situasi-situasi tertentu.

Kesulitan dan kepenatan berbagai permasalahan hidup di zaman modern ini, oleh sebagian masyarakat Jawa khususnya, mantra dipercaya dapat digunakan sebagai sarana untuk mencapai berbagai keinginannya. Yang menarik, mantra menunjukkan keberadaannya yakni mampu mengatasi berbagai permasalahan seperti rumah tangga, percintaan, ketenagakerjaan, kesehatan, hukum adat (warisan), pekerjaan, pertanian, tolak balak, tumbal, dan perdagangan.
Sebagai produk bahasa, mantra memiliki medan makna sesuai dengan latar belakang penuturnya. Menurut Harimurti Kridalaksana dalam Chaer (2002), medan makna (semantic field, semantik domain) adalah bagian dari sistem semantik bahasa yang menggambarkan bagian dari bidang kebudayaan atau realitas dalam alam semesta tertentu yang direalisasikan oleh seperangkat unsur leksikal yang maknanya berhubungan.

Istilah teori medan makna berkaitan dengan teori bahwa perbendaharaan kata dalam suatu bahasa memiliki medan struktur, baik secara leksikal maupun konseptual, yang dapat dianalisis secara sinkronik, diakronis, maupun secara paradigmatik (Aminuddin, 2008:108). Ini dikuatkan oleh Sembiring (2005:49) dalam kumpulan tulisan Pesona Bahasa yang menyatakan medan merupakan istilah yang mengacu pada hal atau topik. Medan makna merupakan subjek atau topik dalam teks untuk pembicaraan.

Pandangan F. De Saussure dalam Parera (2004:138) mengungkapkan bahwa medan makna adalah suatu jaringan asosiasi yang rumit berdasarkan pada simililaritas atau kesamaan, kontak/hubungan, dan hubungan-hubungan asosiatif dengan penyebutan satu kata. Makna kata ditentukan oleh tempat titik yang menggambarkannya dalam keseluruhan jaringan. Aspek yang paling penting dari jaringan semantik ini ialah hubungan hierarki dari sebuah himpunan.

Kajian yang akan dipakai adalah makna mantra sebagai perkataan atau ucapan yang dapat mendatangkan daya gaib dan medan makna menurut Harimurti Kridalaksana. Penelitian tentang fungsi mantra pawang hujan ini memanfaatkan teori Ruth Finnegan yang menguraikan pengaruh puisi lisan termasuk mantra. Menurut Finnegan, pengaruh puisi lisan tidak harus bergantung pada sifat permanen teks, tetapi pada lingkungan sekitar tempat puisi lisan (Sudikan, 2001:115). Secara umum, puisi lisan meliputi ritual penyembuhan, penyelesaian perselisihan, menambah kekhidmatan upacara, memberi kenyamanan, dan lain-lain.


2. Struktur Pembangun Mantra


Menurut Hartarta (2009), struktur mantra tidak memiliki pola umum, jadi unsur-unsur di atas tidak seluruhnya benar apabila diterapkan untuk mantra yang dimiliki pawang hujan. Secara garis besar struktur di dalam tubuh mantra menjadi 3 unsur yaitu awal/purwa, tengah/madya, dan akhir/wasana. Jika dijabarkan, struktur pembangun mantra biasanya terdiri dari beberapa hal berikut.

a. Komponen Salam Pembuka
Unsur pembuka adalah kata pertama yang terdapat pada mantra yang berisi salam pembuka. Biasanya menggunakan kata-kata yang diadopsi dari bahasa Arab, bahasa Sanskerta (Hindu), dan bahasa Jawa. Komponen pembuka merupakan pengakuan tunduk, takhluk, dan mohon perlindungan Allah penguasa semesta.

b. Komponen Niat
Secara tegas dan jelas dinyatakan dengan kata kunci niat. Makna kata niat sering disejajarkan dengan kata tekad. Dalam konteks pemanfaatan mantra tertentu harus disesuaikan dengan niat atau keinginan yang akan dicapai. Niat diungkapkan dengan dua cara, yaitu secara langsung dan tidak langsung. Pengungkapan niat secara langsung melalui frasa niat ingsun (aku berniat), ingsun (sun) matek ajiku (aku berniat mengamalkan ajianku...), ingsun mateg mantram sakti kodrating Pangeran (aku mengamalkan mantram sakti dari Tuhan), dan sebagainya. Sedangkan pengungkapan niat secara tidak langsung adalah bahwa rasa niat tersebut terkandung di dalam mantra. Duh Allah Gusti muga-muga…. Niat memiliki kedudukan yang sangat penting karena keberhasilan atau hasil sebuah pekerjaan sangat bergantung dari niatnya.

c. Komponen Nama Mantra
Komponen ini berisi dengan penyebutan nama sebuah mantra yang hendak digunakan (diamalkan, dimelkan). Biasanya dimulai dengan frasa ajiku (si) (nama mantra), disebut langsung dengan kata sapaan mbok, sira, atau Ismuku (nama mantra). Komponen nama sebuah mantra, terletak di bagian depan dalam sebuah mantra, sehingga masuk sebagai salah satu unsur head ’kepala, pendahuluan’. Tidak semua jenis mantra memiliki komponen nama ini karena nama mantra itu sendiri sekadar dilisankan oleh pihak pemberi mantra (dukun, sesepuh). Jadi, unsur ini hanya memberikan identitas nama.

d. Komponen Sugesti
Unsur sugesti adalah unsur yang berisi metafora-metafora atau analogi-analogi yang dianggap memiliki daya atau kekuatan tertentu dalam rangka membantu membangkitkan potensi kekuatan magis atau gaib pada mantra. Sugesti yang diterima adalah memiliki hal yang serupa disebutkan oleh kalimat mantra. Komponen sugesti untuk beberapa mantra didominasi oleh sentuhan-sentuhan mitologi.

e. Komponen Visualisasi dan Simbol
Komponen viasualisasi boleh juga disebut sebagai komponen proses yang berisi perintah. Komponen ini merupakan bagian yang menggambarkan satu peristiwa yang menjadi tugas mantra terhadap sasarannya. Komponen visualisasi sangat dekat dengan komponen harapan dan gaya bahasa. Sedangkan simbol atau lambang yang terdapat di dalam mantra bisa juga merupakan sosok pembayangan yang terdapat di dalam mantra.

f. Komponen Nama Sasaran
Komponen ini berisi penyebutan nama sasaran (objek) yang hendak dituju. Sasaran dapat berupa nama perorangan maupun kelompok masyarakat (kolektif).

g. Komponen Tujuan
Unsur tujuan merupakan muara atau maksud yang ingin dicapai oleh pemantra dalam mengamalkan mantra. Komponen tujuan ini semacam kesimpulan atau intisari dari rangkaian unsur-unsur yang membentuk struktur mantra. Unsur tujuan juga berfungsi untuk membedakan mantra satu dengan mantra yang lain.

h. Komponen Harapan
Komponen ini merupakan komponen panyuwunan atau ’permintaan’ agar apa yang telah dilakukan (mengamalkan ajian atau mantra) dapat terlaksana dengan baik dan berhasil dengan gemilang.

i. Komponen Penutup
Unsur penutup merupakan larik akhir yang biasanya juga menggunakan kata-kata dari bahasa Jawa maupun Arab.

3. Kajian Data
a. Pengumpulan Data

Data diambil dari mantra Ki Ageng Sumari, seorang pawang hujan yang menjadi orang kepercayaan tim Persebaya saat tim sepak bola ini turun bertanding. Data kedua adalah mantra yang biasa dilafalkan Joko Hari Nugroho, junalis, jika akan menahan hujan saat hajatan berlangsung. Data yang akan dianalisis hanya mantra di luar doa Islam yang digabungkan dalam mantra mereka.

Penampilan Ki Ageng Sumari yang berbaju serba hitam saat melakukan ritual dalam sebuah acara, membuatnya langsung dikenali. Apalagi dia terus diam memerhatikan panggung yang menjadi 'tanggung jawabnya' selama acara berlangsung. Ki Ageng ini cukup modern karena dia familiar dengan teknologi komunikasi. Bahkan ketika dimintai data tentang mantra yang digunakannya saat menahan hujan dalam acara Jumpa Fans Cinta Fitri di Harian Surya, Jln. Rungkut Industri 68-70 Surabaya, pada 17 Januari 2010 dan Peresmian Gedung Baru Harian Surya pada 20 Januari 2010, Ki Ageng melafalkan dengan tegas. Supaya tidak terjadi salah persepsi, Ki Ageng kemudian menuliskan mantra itu di telepon selularnya dan dikirim lewat SMS.

Data tertulis ini tentu saja tidak menggunakan bahasa penuh singkatan yang khas SMS karena ini berupa mantra. Data ini ditulis seperti data asli penulisan Ki Ageng Sumari.

Wa iya kanas ta in wujudku kai fafa robuka… byak… byak…
Sun matek aji montro dirgo
Rogo mulyo roso jati ingsun
Podo sebo marang dumadi
Surodirojoyoningrat
Lebur dening pangastuti
Hayu hayu hayu rahayu
Kersaning Gusti kang moho suci

Mantra Joko Hari Nugroho:
Bismillahirachman hirrachim
Niat ingsun nerang udan
Kakang kawah adhi ari-ari
Sedulur papat lima pancer
Muhammad ya Rosulku

(Selanjutnya membaca Al Fatihah, Al Ikhlas, Al Falaq, Annas, dan Ayat Kursi.)

b. Analisis Data
Setiap bentuk (lambang bunyi) memiliki makna atau mendukung makna. Analisis makna kadang-kadang menyampingkan analisis kata meski kata atau susunan kata kadang-kadang memiliki makna yang tidak dapat diramal dari makna keseluruhannya (Djajasudarma, 1999:49).

Wa iya kanas ta in wujudku kai fafa robuka… byak… byak…
Ini penulisan asli dari Ki Ageng Sumari. Maksudnya:
Waiya ka nastain
wujudku
Kaifafa Robbuka
Byak… byak…

Artinya
Waiya ka nastain
Dan kepadaNya kami minta pertolongan
Dan kepadaNya kami minta pertolongan

Wujudku
Ragaku
Hai ragaku

Kaifafa Robbuka
Perhatikan Tuhanmu
Perhatikan Tuhanmu

Byak… byak…
____ ____ (gerakan menyibak awan dan hujan)
Dan tersibaklah awan yang mengandung air hujan

Sun matek aji montro dirgo
Aku memasang jimat mantra udara
Aku tengah menggunakan kekuatan gaib dalam mantra di jagat raya

Rogo mulyo roso jati ingsun
Raga mulia rasa sejati aku
Seluruh raga dan rasaku

Podo sebo marang dumadi
Semua menghadap kepada yang terjadi
Pasrah pada apa yang akan terjadi

Surodirojoyoningrat
Angkara murka
Agar semua angkara murka

Lebur dening pangastuti
Mmelebur dengan memuja Yang Kuasa
Lebur bersama saat memuja Tuhan yang Mahakuasa

Hayu hayu hayu rahayu
Selamat selamat selamat selamat
Selamat, semuanya dalam diberkahi

Kersaning Gusti kang moho suci
Keinginan Tuhan yang maha suci
Sesuai dengan keinginan Tuhan yang Mahasuci

Makna mantra Ki Ageng Sumari ini untuk meminta agar awan tersibak, menyingkir, dari suatu tempat untuk sementara dengan seizin Tuhan. Meskipun telah menggunakan kekuatan, justru karena manusia tidak berdaya jika Tuhan tidak berkehendak, maka dia melebur seluruh rasa dan raga dalam kekuasaan Tuhan dalam kepasrahan total supaya angkara murka tidak mendekat. Dengan berserah sepenuhnya, maka seluruh alam akan selamat. Ini juga menjadi bentuk motiviasi untuk berjuang melawan kejahatan.

Mantra Ki Ageng Sumari menggabungkan doa Islam dengan mantra dengan melihat sisipan wujudku dalam dua doa Islam di awal mantra. Matek aji artinya menggunakan atau memanfaatkan kekuatan gaib yang terkandung di dalam mantra dengan mekanisme prosesi ritual yang berupa laku mistik.

Mantra Joko Hari Nugroho yang digunakan untuk menahan hujan adalah:
Bismillahirachman hirrachim

niat ingsun nerang udan
niat saya menahan hujan
Niat saya supaya hujan tidak turun

kakang kawah adhi ari-ari
kakak ketuban adik plasenta
Wahai saudaraku yang tak kelihatan

sedulur papat lima pancer
saudara empat lima pusat
Empat saudara spiritual dalam satu jiwa

Muhammad ya Rosulku
Nabi Muhammad Rosulku
Nabi Muhammad Rasulku

Selanjutnya membaca Al Fatihah (doa pembuka), Al Ikhlas (ketaukhidan, keesaan Tuhan), Al Falaq (menjauhkan dari maksud buruk), Annas (perlindungan diri dari godaan setan), dan Ayat Kursi (supaya merasa aman).

Medan makna mantra ini dapat dipahami dengan melihat makna dalam bahasa aslinya. Bukan hanya makna kalimat tetapi juga arti filosofi mantra ini. Kalimat kakang kawah adhi ari-ari sedulur papat lima pancer diambil dari Kitab Kidungan Purwajati yang dimulai dari lagu Dhandanggula. Menurut Heru S.P. Saputra (2007), sedulur papat atau saudara empat adalah marmati, kawah, ari-ari (plasenta), dan darah yang umumnya disebut rahsa. Semua itu berpusat di pusar si bayi, di setiap manusia.

Marmati artinya samar mati (takut mati). Umumnya bila seorang ibu mengandung maka pikirannya dipenuhi kekhawatiran akan mati. Rasa khawatir tersebut hadir lebih dulu sebelum keluarnya kawah (air ketuban), ari-ari, dan rahsa. Oleh karena itu rasa samar mati itu lalu dianggap sedulur tuwa (saudara tua). Saat proses kelahiran, air kawah (ketuban) akan keluar dulu sebelum bayi. Ini membuat kawah juga dianggap sedulur tuwa yang kemudian disebut kakang kawah. Setelah bayi lahir, proses itu diakhiri dengan keluarnya ari-ari (plasenta). Karena keluar kemudian, plasenta ini disebut sedulur enom atau adhi ari-ari.

Setiap kelahiran akan membuat banyak darah keluar. Keluarnya darah (rah = getih) ini pada waktu proses berakhir. Karena itu rahsa juga dianggap sebagai sedukur enom. Puser (tali pusat) bati umumnya akan pupak (gugur) ketika bayi berumur tujuh hari. Tali pusat yang lepas ini dianggap saudara bayi. Pusar inilah yang dianggap pusat saudara empat. Inilah yang disebut sedulur papat lima pancer.

Sedulur papat lima pancer ini juga berarti bahwa manusia memiliki empat saudara spiritual yang berupa hasrat dan satu jiwa (diri). Empat hasrat itu meliputi nafsu aluamah, amarah, supiyah, dan mutmainah yang dituturkan dalam bahasa Jawa dari bahasa aslinya bahasa Arab. Sedangkan jiwa atau diri merupakan unsur kelima yang menjadi pusat dan bertugas mengendalikan empat unsur lainnya (Saputra, 2007:154).
Medan makna yang ada dalam mantra Ki Ageng Sumari dan Joko Hari Nugroho tak bisa begitu saja dipahami karena penuh perlambang. Dalam konsep medan makna menurut Harimurti Kridalaksana, medan makna (semantic field, semantik domain) adalah bagian dari sistem semantik bahasa yang menggambarkan bagian dari bidang kebudayaan atau realitas dalam alam semesta tertentu yang direalisasikan oleh seperangkat unsur leksikal yang maknanya berhubungan.

Makna leksikal yang ada dalam dua mantra ini hanya bisa digambarkan dengan mengusung latar belakang budaya mereka. Keduanya dari Jawa dan dengan pemahaman atas realitas alam semesta dalam budaya Jawa, dua mantra ini bisa dipahami.
Kata-kata yang memiliki makna bersayap dan harus melihat kembali latar budayanya agar mengetahui maknanya adalah:

matek aji
rogo mulyo roso jati ingsun
marang dumadi
surodirojoyoningrat
pangastuti
hayu rahayu

Kakang kawah adhi ari-ari
Sedulur papat lima pancer

Mantra Ki Ageng Sumari ini meski sekuat tenaga ingin menahan hujan tetapi juga menunjukkan kerendahhatian sebagai manusia yang tak berdaya. Meski 80 persen usahanya berhasil, tetap ada 20 persen yang tak bisa dilakukannya.

Dalam mantra Joko Hari Nugroho, penyebutan saudara spiritual ini untuk menguatkan maksud. Menurutnya, semua tetap sesuai dengan kehendak alam tetapi dengan pendampingan saudara spiritual ini dia merasa lebih kuat memohon.

Tanpa memahami budaya yang melatarbelakangi kedua pawang ini, makna leksikal dalam mantra tak akan bisa didapat. Tanpa mengerti kisah panjang di belakang kalimat yang diucapkan, mantra ini hanya berfungsi sebagai susunan kalimat atau bisa dianggap sebagai puisi.

c. Ritual

Ada ritual yang digunakan keduanya. Ritual ini dipercaya bisa menjadi alat untuk menguatkan maksud menunda turunnya hujan. Ki Ageng Sumari melakukan ritual dengan pasa mutih, berpuasa dengan hanya makan nasi tanpa garam dan minum air putih, selama tiga hari. Jadi, Ki Ageng Sumari tak bisa menerima job mendadak karena dia harus menyiapkan diri.

Selain pasa mutih, sebelum hajatan diadakan, dia akan datang ke tempat itu untuk memasang sepasang janur. Janur ini diikat pada tiang yang menjadi pusat acara. Jika acaranya menggunakan panggung, maka janur diikat di dua tiang panggung. Jika acara dilakukan dalam gedung, dia akan mengikat sepasang janur di pintu masuk, kanan dan kiri.

Kadang-kadang karena alasan teknis, mendung yang sudah penuh titik air hujan tak bisa disibakkan. “Kalau sudah begini, saya justru akan menurunkan hujan sebelum acara. Jadi ketika acara dimulai, langit sudah bersih,” kata Ki Ageng Sumari dalam wawancara tanggal 20 Januari 2010.

Bisa jadi ada banyak pawang hujan yang diminta bantuan untuk ‘mengamankan’ daerah tertentu. Jika sudah begini akan terjadi ‘perang’ antarpawang. Kekuatan pawang yang menentukan siapa yang bisa memindahkan hujan ke daerah lain. Jika tidak ingin ‘perang’ dengan pawang lain, menurut Ki Ageng Sumari, biasanya diambil kesepakatan untuk mengalihkan hujan ke daerah yang sama.

Joko Hari Nugroho tak punya ritual khusus. Dia hanya salat lima waktu dan berdoa secara Islam. Satu-satunya alat yang digunakan adalah sapu lidi yang dipasang terbalik. Pada ujung sapu lidi ini ditancapkan bawang merah, bawang putih, dan cabai. Menurut Joko Hari Nugroho, ini kebiasaan warga Magetan ketika melangsungkan pernikahan. “Karena biasanya mereka menyiapkan masakan sendiri dalam jumlah besar dan memakai pekarangan terbuka, maka sapu lidi ini sebagai sarana untuk menahan hujan agar acara memasak tetap lancar,” kata Joko Hari Nugroho dalam wawancara tanggal 19 Januari 2010. Karena urusannya dengan dapur maka perlambang yang digunakan dalam alat juga berhubungan dengan isi dapur.

Ritual atau laku mistik menurut Heru S.P. Saputra adalah proses ritual yang dilakukan untuk mendapatkan kekuatan gaib. Dalam konsep Islam (santri), laku mistik dapat dilakukan dengan salat lima waktu secara khusyuk dan memperbanyak dzikir. Sedangkan dalam konteks tradisi atau abangan dapa dilakukan dengan cara puasa, semedi, dan lek-lekan. Laku mistik tersebut sebenarnya diperlukan oleh seseorang sebagai perantara untuk mencapai tingkat konsentrasi yang cukup tinggi yang kemudian menghasilkan tenaga psikokinetis (2007:xxiv).

4. Interpretasi

Ada bahasa yang memiliki keanggotaan lambang yang banyak untuk medan makna tertentu, misalnya bahasa Jawa (Pateda, 2001:256). Orang yang mempunyai kompetensi mengenai bahasanya tidak akan salah memilih konstruksi yang benar dan akan memiliki kata yang sesuai dengan pemakaiannya.

Mantra yang dilakukan pawang hujan Ki Ageng Sumari dan Joko Hari Nugroho memiliki arti minta kepada Tuhan yang Mahakuasa agar hujan tidak turun di suatu tempat pada saat tertentu.

Medan makna dalam mantra pawang hujan Ki Ageng Sumari dan Joko Hari Nugroho hanya dapat dimengerti dengan mengetahui latar belakang budaya keduanya dan latar belakang bahasa yang digunakannya. Mereka menggunakan bahasa Jawa dan dalam setiap kata dan kalimat memiliki arti khusus. Mantra yang dilafalkan tak hanya berupa deretan bunyi tetapi penuh makna. Tanpa memahami budaya yang melatarbelakangi, mantra ini hanya menjadi puisi yang tidak memiliki arti mendalam.

Pengetahuan akan budaya penutur asli akan membuat pemahaman atas bahasa yang digunakan menjadi lengkap. Kelengkapan ini diperlukan supaya tidak terjadi salah persepsi. Mantra yang digunakan oleh dua pawang hujan ini tidak untuk memanggil roh-roh tetapi justru untuk menguatkan diri dan pasrah kepada Tuhan.

Penelitian atas sastra lisan seperti mantra perlu dilakukan karena dari kajian-kajian ini akan terlihat budaya Indonesia yang beragam. Kajian linguistik pada mantra juga bisa menepis anggapan bahwa mantra selalu berkonotasi negatif. Bagi sebagian orang Jawa, sepanjang hidupnya selalu ada mantra yang menyertai mulai dari dalam kandungan, lahir, tumbuh, menikah, hingga mati. Ini menarik untuk dikaji.


Daftar Pustaka

Aminuddin. 2008. Semantik Pengantar Studi tentang Makna. Bandung: Sinar Baru
Algensindo.

Chaer, Abdul. 2002. Pengantar Semantik Bahasa Indonesia. Jakarta: Rineka Cipta.

Danandjaja, James. 1997. Folklor Indonesia. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti.

Departemen Pendidikan Nasional. 2008. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama.

Djajasudarma, Fatimah. 1999. Semantik 1. Bandung: Refika Aditama.

Hartarta, Arif. 2009. Mantra Jawa dalam penelitianmantra.blogspot.com.23 Juli.

Hutomo, Suripan Sadi. 1991. Mutiara yang Terlupakan. Surabaya: Himpunan
Sarjana Kesusastraan Indonesia.

Hutomo, Suripan Sadi. 1998. Kentrung Warisan Budaya Tradisi Lisan Jawa. Malang:
Yayasan Mitra Alam Sejati.

Kushartanti, dkk. 2005. Pesona Bahasa. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Parera, J.D. 2004. Teori Semantik. Jakarta: Erlangga.

Saputra, Heru S.P. 2007. Memuja Mantra. Jogjakarta: LKiS.

Sudikan, Setya Yuwana. 2001. Metode Penelitian Sastra Lisan. Surabaya: Citra
Wacana.

Suyono, Capt. R. P. 2009. Mistisisme Tengger. Jogjakarta: LKiS.

Suara Perempuan dalam Novel Ciuman di Bawah Hujan

Kajian Feminisme


Endah Imawati

Sebagai gerakan modern, feminisme lahir awal abad ke-20 yang dipelopori oleh Virginia Woolf dalam bukunya yang berjudul A Room of One’s Own (1929) dan berkembang pesat pada 1960-an. Model analisisnya beragam, sangat kontekstual, berkaitan dengan aspek sosial, ekonomi, dan politik. Menurut Teeuw dalam Ratna (2009:183) ada beberapa indikator yang dianggap telah memicu lahirnya feminisme, di antaranya karena ketidakpuasan terhadap teori dan praktik ideologi Marxis orthodox, tidak terbatas pada Marxis Sovyet tetapi Marxis di dunia Barat secara keseluruhan.
Tujuan feminis adalah keseimbangan, interelasi gender. Dalam pengertian yang luas, feminis ialah gerakan kaum wanita untuk menolak segala sesuatu yang dimarginalisasikan, disubordinasikan, dan direndahkan oleh kebudayaan dominan, baik dalam bidang politik dan ekonomi maupun kehidupan sosial pada umumnya. Dalam pengertian sastra, feminis dikaitkan dengan cara-cara memahami karya sastra baik dalam kaitannya dengan proses produksi maupun resepsi.
Nancy K. Miller berpendapat bahwa menulis secara personal, yang dinamainya sebagai personal criticism, merupakan sebuah kritik kultural. Kritik personal membutuhkan tindak autobiografis yang melibatkan tindakan yang sengaja menuju figurasi diri, meskipun tingkat dan bentuk membuka diri itu berbeda-beda (Prabasmoro, 2007).
Sastra dan kritik sastra, juga merupakan konstruksi sosial yang sarat politis. Sebagaimana upaya-upaya pengajian perempuan pada umumnya, kritik sastra berwawasan feminis bertolak dari asumsi bahwa perempuan harus menciptakan pengetahuannya sendiri. Dia harus menciptakannya kembali dalam batasan-batasan yang diberikan oleh sejarah—dan bahwa dalam menciptakan pengetahuan, kita lalu bertindak terhadap hubungan kekuasaan di dalam kehidupan kita.
Pengamat sastra yang feminis bisa saja dapat melihat di dalam sastra bukan kisah penderitaan atau pengalaman pribadi, tetapi kisah-kisah perjuangan dan pola-pola hubungan kekuasaan. Pemahaman tentang teks sastra dapat diuraikan bukan sebagai renungan terhadap teks itu sendiri, tetapi sebagai pengajian atas sejarah dan pengajian yang berdampak politis. Cara lain adalah melakukan penelusuran teks sastra bukan dengan membacanya secara objektif, tetapi sebagai langkah intervensi, suatu metode untuk membentuk kembali penggunaan kebudayaan atas penulisan yang dibuat oleh perempuan.
Suatu pola kritik sastra berwawasan feminis berasumsi bahwa perempuan secara universal bukanlah makhluk yang serupa. Hubungan-hubungan mereka juga di tentukan oleh ras, kelas, dan identifikasi seksual. Namun ada konstruksi yang serupa yang dapat dikatakan universal yang diberlakukan terhadap perempuan, yakni konstruksi yang dihadirkan oleh patriarki, sebagai ideologi dominan.
Kritik sastra feminis yang mutakhir lebih menyorot tradisi sastra oleh wanita dan pengalaman wanita yang terungkap di dalamnya serta kemungkinan adanya cara penulisan khas wanita (Luxemburg, 1991).
Teori feminis erat berkaitan dengan konflik kelas dan ras, khususnya konflik gender. Antara konflik kelas dengan feminis memiliki asumsi-asumsi yang sejajar, mendekonstruksi sistem dominasi dan hegemoni, pertentangan antara kelompok yang lemah dengan kelompok yang dianggap lebih kuat.

A. Konflik Kelas dan Ras
Bagi Fung Lin, tokoh dalam novel Ciuman di Bawah Hujan (CdBH), perbedaan kelas antara pejabat dan bukan pejabat sangat mencolok. Salah satunya tampak ketika sang pejabat harus membuka acara. Terlambat hingga setengah jam bagi seorang pejabat adalah lumrah. Ketika datang pun dia hanya menebar senyum dan tak merasa bersalah telah membuat semua orang menunggu. Pejabat merasa sudah seharusnya dia datang terlambat dan ditunggu.

Akhirnya si pejabat muncul juga setelah jarum di jam tangannya telah bergeser lebih dari 60 menit. Semua heboh menyiapkan penyambutan.
Si pejabat memberikan senyum kepada hadirin. Lalu ia menyalami para tamu yang duduk di jejeran kursi paling depan. Kemudian langsung dipersilakan naik ke atas pentas memberikan kata sambutan. Seorang ajudan memberikan berkas yang dibacanya untuk membuka acara.
Setelah itu, si pejabat turun dari atas pentas. Tetap saja ia sambil tersenyum. Ia kembali menyalami tamu-tamu di kursi deretan paling depan. Kemudian ia melambaikan tangannya kepada para hadirin sambil berjalan meninggalkan ruangan.
Fung Lin melihat jarum jam tangannya. Seluruh prosesi pembukaan acara selesai hanya dalam waktu sepuluh menit. Tetapi para hadirin harus menunggu kedatangan si pejabat untuk enam puluh menit. (CdBH, halaman 18)


Perbedaan kelas itu digambarkan Lan Fang dalam bentuk penyambutan dan cara mengistimewakan sang pejabat. Perbedaan kelas ini juga tampak tidak hanya pada orang yang ditunggu kedatangannya karena mereka yang duduk di deretan kursi paling depan pastilah terhitung pejabat yang mungkin kedudukannya di bawah sang pejabat yang baru datang. Kursi paling depan adalah hak mereka yang memiliki pangkat. Makin ke belakang, pangkat yang disandang makin rendah.
Itu menunjukkan perbedaan kelas sesama pejabat. Hanya orang nomor satulah yang boleh (dan disetel) terlambat. Semua pejabat di bawahnya harus sudah siap sedia di lokasi acara sebelum sang nomor wahid ini datang.

“Aku wartawan yang ditugasi meliput acara ini. Kata panitia, akan hadir anggota dewan yang berkaitan dengan para TKW di Hong Kong ini. Aku ingin mewawancarainya. Tetapi kelihatannya sampai sekarang dia belum muncul,” sambung Fung Lin panjang lebar. (CdBH, halaman 22)


Perbedaan kelas yang ditunjukkan Lan Fang juga muncul dalam bentuk inferioritas tokoh Fung Lin. Ketika Fung Lin diajak ke rumah Anto, lelaki yang disukainya, Fung Lin langsung merasa ada perbedaan kelas yang membuatnya tak dapat menembus kelas itu. Perbedaan itu tercipta hanya dengan melihat rumah, pagar, lantai, kendaraan, bahkan pintu utama yang besar.

Ini bukan rumah. Tapi istana!
Ketika sampai di ambang pintu masuk, langkahnya tertahan. Karena Fung Lin menghentikan langkah dan hanya berdiri diam di tempat, Anto tidak tahu apa yang dipikirkan gadis itu. Ia tidak bisa menerka mimik wajahnya yang menjadi aneh.
“Anto, apakah ini rumahmu?”
“Ya, ini rumah orang tuaku.”
“Kalau begitu aku menunggu di garasi saja.”
Sangat tidak pantas kalau ia mengatakan takut masuk ke rumah itu karena ia merasa menjadi begitu kecil dan kusam. (CdBH, halaman 46)



Penampilan juga membuat Lan Fang menciptakan kelas berbeda. Saat Fung Lin kali pertama bertemu dengan ibu Anto, Fung Lin langsung mengetahui kelasnya hanya dengan melihat penampilan. Lan Fang tidak hanya memainkan penglihatan untuk mendeteksi kelas tokohnya. Dia juga menggunakan penciuman.

Sesosok tubuh langsing berdiri dengan anggun. Perempuan itu cantik sekali. Kulit wajahnya bersih tanpa jerawat, rambutnya tertata rapi, dengan poni sedikit berjambul, makeup-nya tipis, pakaiannya rapi dan indah, harumnya wangi bunga kenanga. (CdBH, halaman 49)

Sosok ini dibandingkan dengan Fung Lin sebagai penanda perbedaan kelas di antara mereka. Lan Fang membandingkan dengan fisik Fung Lin. Ini pembedaan yang kasat mata. Pembedaan ini sering terjadi di mana pun. Bahkan di halte bus orang akan mengukur, menimbang, dan berusaha menghitung rupiah yang dikenakan orang lain dari kepala hingga kaki. Taksiran pahit seperti menghitung harga sapi di pasar hewan ini yang diangkat Lan Fang. Seperti yang dilakukan tokoh Wenny Yeung, model terkenal di Hong Kong yang cemburu pada Ngatinah, pembantu rumah tangga tunangannya, Yao Man.
Perasaan di dalam diri wanita sangat besar. Cinta berhubungan dengan hati dan telinga. Wanita selalu lebih luwes dalam menyelesaikan masalah. Moris dalam Handayani (2004:167) menyatakan bahwa wanita tidak cenderung untuk terkunci pada suatu posisi, mereka rela untuk berubah arah kalau arah sebelumnya dirasa kurang bijaksana. Wanita terlatih untuk mengawasi dan mengamati orang lain sehingga kemampuan untuk mengenal orang lain jauh lebih tinggi dibandingkan laki-laki. Kebiasaan itu mudah dipelajari oleh wanita karena secara alamiah mereka terlatih untuk berempati, berintuisi, dan merasa.

Walaupun pakaiannya tidak bak model seperti aku, tetapi jika ia keluar untuk berhari Minggu, ia sudah memakai celana jins dengan merek yang cukup terkenal. Yau Man memang tidak pernah memuji Tina secara khusus. Tetapi dari kata-katanya yang terdengar datar itu bukankah ia menunjukkan bahwa ia juga memperhatikan gadis itu?
Dadaku serasa terbakar. (CdBH, halaman 221)



Gaya menyelidik dan menaksir harga ini juga dilakukan ibu Anto ketika Fung Lin datang ke rumahnya. Sama seperti cara Fung Lin menaksir kemahalan yang menempel pada ibu Anto, perempuan ini juga menaksir seberapa mahal sosok gadis di depannya.

Dilihatnya gadis muda itu dari kepala sampai ke kaki. Wajahnya biasa saja, warna kulitnya juga biasa saja, rambutnya dibuntut kuda, baunya sengatan matahari, tasnya kelihatan menggembung karena berisi buku-buku, tali sepatu ketsnya yang sebelah kiri terlepas. (CdBH, halaman 49)


Akan tetapi, Lan Fang menunjukkan tokohnya adalah perempuan yang ingin mengubah nasib, tak hanya melanjutkan usaha ayah dan ibunya yang memiliki toko sepatu. Dia ingin berkuliah. Ibu Fung Lin meluluskan permintaan itu meski Fung Lin tak pernah punya uang cukup banyak untuk bersenang-senang dengan teman-temannya. Keinginan mendapatkan pendidikan tinggi diungkapkan Sidharta (1982:173). Umumnya anak-anak China dianjurkan untuk belajar tekun dan mereka pun sangat rajin dan mempunyai rasa ingin tahu yang besar. Orang-orang yang berpendidikan dianggap telah ‘menjadi orang’. Para perempuan sering menunjukkan ambisi yang lebih besar. Apalagi jika dalam keluarga itu juga memiliki anak laki-laki karena biasanya anak laki-lakilah yang mendapat prioritas pendidikan. Jika ada anak perempuan ingin bersekolah, dia harus benar-benar menunjukkan keseriusannya dan menekan keinginan untuk segera menikah. Bagi mereka, begitu menikah, orang tua pihak perempuan sudah tidak memiliki hak atas anaknya.

Biasanya sehabis kuliah mereka pergi bersama-sama. Tetapi Fung Lin tidak pernah diajak. Tepatnya, Fung Lin pernah diajak beberapa kali, tetapi memutuskan tidak ikut karena setiap hari mereka pergi makan dan berbelanja di plaza. Mama hanya memberinya uang untuk membayar kuliah, membeli buku, dan membayar angkot. Selain itu, dia punya kewajiban menjaga toko setiap pulang sekolah.
Fung Lin lebih suka ke perpustakaan kampus. Di sana dia bisa membaca dan menyalin catatan dengan tenang. (CdBH, halaman 37)


Konflik ras dimunculkan dengan tragis. Konflik ini sudah muncul dalam bab pertama yang menunjukkan keheranan tokoh Ari sang anggota dewan ketika melihat sosok Fung Lin yang kental ke-China-annya. Mata yang seperti kuaci dan kulit berwarna terang bagi Lan Fang adaah pembeda yang tak bisa dikelabuhi. Bahkan dalam etnis China, perbedaan kelas kental dirasakan.
Toko sepatu orang tua Fung Lin adalah salah satu agen dari pabrik orang tua Lie Ming. Tetapi jangan berpikir orang tua Fung Lin adalah agen besar. Tidak seperti itu. Toko Sumber Rezeki, nama toko orang tua Fung Lin hanyalah toko kecil yang juga menjual sepatu secara eceran.

Fung Lin berusaha menyalami Lie Ming. Tetapi ternyata ia tidak mendapat balasan senyum dari Lie Ming. Fung Lin berusaha menerima keangkuhan itu sebagai hal yang biasa saja. Sebab Lie Ming mempunyai cukup modal untuk angkuh. Ia muda, terpelajar, tampan, dan sudah jelas kaya raya. (CdBH, halaman 148)

Perbedaan ras ini dianggap Lan Fang sangat penting karena konflik ini memuncak dengan klimaksnya berupa pembakaran rumah dan toko milik orang tua Fung Lin.

Mereka memecahkan, melempari, mendobrak, membakar, merusak, menghancurkan….
Termasuk mengambil para perempuan yang bermata lebih kecil.
Fung Lin melihat asap mengepul dari arah toko orang tuanya.
Fung Lin beradu cepat dengan angin. Karena ia melihat Mama dan Papa terbang bersama angin. Mereka membumbung keluar bersama gumpalan asap…. Tampak sekujur tubuh mereka terang karena berdiri di ats bola-bola api. (CdBH, halaman 186)



B. Peran Perempuan
Menurut Selden dalam Ratna (2009:194) ada lima masalah yang biasanya muncul dalam kaitannya dengan teori feminis, yaitu masalah biologis, pengalaman, wacana, ketaksadaran, dan masalah sosioekonomi. Helena Cixous, novelis, penulis drama, sekaligus kritikus feminis, memilih dua titik perhatian yaitu hegemoni opisisi biner dalam kebudayaan Barat dan praktik penulisan feminine yang dikaitkan dengan tubuh.
Konsekuensi logis dalam oposisi biner adalah salah satu faktor diposisikan lebih penting dan lebih utama dibandingkan aspek lain. Dalam tradisi China di Hong Kong, posisi anak lelaki menjadi posisi sentral apalagi jika dia adalah anak lelaki pertama. Pola pengasuhan orang tua mengikuti pola itu.
Bagi orang China, menantu perempuan wajib merawat dan taat kepada mertuanya seperti oang tua sendiri. Karena ketika menikah, dia meninggalan keluarganya sendiri dan menjadi bagian dari keluarga besar suaminya.

Sedangkan anak perempuanku kedua disibukkan mengurus suami dan kedua anaknya yang masih kecil-kecil. Ia memang tidak tinggal bersama mertuanya karena ia menikah dengan anak laki-laki kedua. Mertuanya tinggal serumah dengan anak laki-laki pertamanya.
Karena Yao Man adalah anak laki-laki satu-satunya maka aku ikut Yao Man. Wenny Yeung, model cantik yang akan menjadi istri Yao Man, yang harus merawat aku, mertuanya. (CdBH, halaman 113)



Penolakan terhadap hegemoni laki-laki, menurut Cixous, harus dilakukan dengan praktik menulis feminin. Hubungan esensial antara tulisan perempuan dan ibu menjadi sumber dan asal suara yang terdengar dalam semua teks perempuan. Keseluruhan pembicaraan adalah suara perempuan.
Dalam CdBH, tokoh perempuan bersuara lebih banyak daripada tokoh laki-laki. Pikiran dan sikap mereka menjadi pengeras suara bagi Lan Fang untuk menyatakan kehendaknya. Mereka adalah Mama, Fung Lin, ibu Anto, Bibi Tua, Bobo Ng, Ngatinah, Katty, Aida, penjual jeruk, anak perempuan penjual jeruk, dan Wenny Yeung. Suara perempuan ini tidak hanya dilontarkan perempuan karena tokoh laki-laki yang dibedakan secara biologis juga dikemas untuk menyempitkan perbedaan perempuan dan laki-laki.
Keberanian Lan Fang menyuarakan keinginannya untuk tidak lagi melihat perbedaan kelas, ras, dan gender diwakili para tokohnya. Bagi Musdah Mulia, aktivis perempuan, sikap berani selama ini dianggap ciri maskulin, karena itu dianggap tidak pantas dimiliki wanita. Ini keliru. Sikap keberanian adalah sikap positif dan pantas dimiliki wanita dan pria (Femina, 2010).


Aku harus bertahan setidaknya tujuh bulan sejak aku bekerja, untuk membayar utang kepada agency yang memberangkatkanku. Tetapi tentu saja bukan sekadar itu alasanku harus bertahan. Aku punya mimpi-mimpi yang ingin kuwujudkan. (CdBH, halaman 226)

Aku bangga sekali.
Sambil menunggu, aku masih merasa seperti bermimpi. Tetapi kali ini bukan mimpi ingin mengganti atap rumbia dengan genteng atau membelikan sepeda motor untuk ibu. (CdBH, halaman 246)



Tugas kodrati istri, menurut Musdah Mulia, hanyalah sepanjang menyangkut masalah reproduksi. Selain itu dapat dibagi secara tulus dengan suami. Lan Fang tidak menunjukkannya dalam Fung Lin dalam hubungan kedekatan dengan Rafi, Ari, atau Anto. Lan Fang bersuara melalui Mama Lie Ming, Fung Lin, dan Ngatinah saat dilamar Mas Wawan.

“Nduk…, kita bisa mengelola kolam pembibitan lele dumbo bersama…. Aku kepingin mengelolanya bersamamu sampai tua.” (244)

Sedangkan anak perempuanku kedua disibukkan mengurus suami dan kedua anaknya yang masih kecil-kecil. Ia memang tidak tinggal bersama mertuanya karena ia menikah dengan anak laki-laki kedua. Mertuanya tinggal serumah dengan anak laki-laki pertamanya.
Karena Yao Man adalah anak laki-laki satu-satunya maka aku ikut Yao Man. Wenny Yeung, model cantik yang akan menjadi istri Yao Man, yang harus merawat aku, mertuanya. (CdBH, halaman 113)

Perempuan setengah baya itu kemudian memutar-mutar tubuhnya. Lalu ia meraba pinggang dan pinggulnya. “Hahaha… boleh juga…. Dia bisa melahirkan banyak anak laki-laki.”
Hei… dalam pelajaran Bilogi menjelaskan bahwa jenis kelamin anak tidak ditentukan oleh bentuk pinggang dan pinggul. Tetapi oleh kromosom yang dimiliki spermatozoa, Fung Lin berteriak dalam hati. (CdBH, halaman 151)



Di samping pengasuhan ibu, dalam keluarga yang dikemas Lan Fang memiliki pembantu rumah tangga. Fungsinya seringkali bukan sekadar membantu apa yang dibutuhkan keluarga itu tetapi juga menjadi induk semang anak-anak keluarga itu, seperti yang banyak dilakukan keluarga China karena ayah dan ibu harus bekerja. Kadang-kadang ibu tidak bekerja di luar rumah tetapi dia harus mengurus suami sehingga anak-anak diserahkan kepada pembantu.
Ini seperti yang terjadi dalam kehidupan Ong Pik Hwa. Pendiri majalah Fu Len yang terbit 15 Desember 1937 ini lahir tahun 1906. Mengenai pembantunya, ia (Ong Pik Hwa) menulis dengan penuh kasih sayang. Pembantu inilah yang selalu mendampinginya ke mana-mana dan dialah yang menemani dan mengeloni sampai dia tertidur. Begitu juga ketika dia sudah masuk sekolah. Pada jam istirahat, pembantu sudah menyiapkan makanan yang dibawa dari rumah. Dia mengingatkan bahwa pembantu juga berfungsi sebagai perisai kalau ibunya sedang marah dan mau memukulnya dengan sapu lidi. Dia bersembunyi di belakang pembantu yang tentu tidak dapat mengelakkan pukulan yang sebetulnya ditujukan kepada dirinya.

Jika cucu laki-lakinya itu ngompol di pangkuannya, maka pakaian Bobo Ng akan basah kena pipisnya. Sehingga tugasku menjadi lebih banyak, karena bukan saja mengganti celana Vincent Ng, tetapi juga pakaian Bobo Ng. Tetapi sungguh, aku melakukannya dengan suka hati. Sama sekali tidak menjadi beban bagiku karena aku merasakan kebahagiaan yang sama seperti anggota keluarga yang lain. (CdBH, halaman 242)

Bibi Tua jarang berbicara padanya. Ia selalu sibuk mengerjakan pekerjaan rumah tangga. Bibi Tua tidak pernah memandangnya sama sekali.
Bibi Tua menyabuni dan mengeramasinya. Setelah tubuhnya bersih, handuk hangat membungkusnya. Kemudian Bibi Tua membantu Fung Lin mengenakan piama dan membernya secangkir teh panas sepat.
Fung Lin tidak mampu menahan diri. Dia mengembangkan tangan dan memeluk tubuh kurus dan bungkuk itu.
Ia mendongak ketika merasakan elusan sayang di rambutnya yang masih basah. (CdBH, halaman 203)


Jeruk yang disembunyikan di belakang punggung pun terlepas. Menggelinding. Suaranya terbata-bata memanggil seseorang.
“Bibi Tua….” Ia tidak berani memanggil Mama. (CdBH, halaman 265)


Seorang istri diharapkan sabar, mengalah, penurut, penuh pengertian, apa pun yang dilakukan suaminya Sofia (2009:37). Tanpa memiliki sifat-sifat ini, seorang perempuan akan mudah menerima cercaan dari suaminya, mertua, tetangga, bahkan orang tuanya sendiri (Sobary, 2007:108).

“Rambutnya hitam dan kaku sekali. Seperti ijuk.”
“Keras kepala ya, Ma.”
“Telinganya juga kaku,” kali ini Mama Lie Ming mengangkat rambut dan melipat-lipat telinganya.
“Tidak bisa menurut ya, Ma?”
Fung Lin ingin mengatakan apa yang dipikirkannya. Tetapi dia ingat pesan mamanya, “Anak perempuan yang manis dan sopan tidak boleh protes.”
“Tulang kakinya tidak menonjol. Bagus. Dia tidak menimbulkan kemalangan. Suaminya bisa berumur panjang.” (CdBH, halaman 150)

Fung Lin tidak membantah ketika Lie Ming menyuruhnya mengenakan gaun panjang yang ujungnya berjuntai menyapu lantai dengan gemulai. Ia pun tidak banyak cingcong ketika Lie Ming menyuruhnya berganti sepatu. Fung Lin menurut saja walaupun karena sepatu Ssembilan senti itu ia hampir jatuh saat berjalan di atas lantai marmer yang licin. (CdBH, halaman 190)



Meski secara struktur formal mereka tidak berpengaruh, tetapi secara informal pengaruh tersebut sangat besar. Kecenderungan tersebut didukung penelitian tentang pola pengasuhan dalam kultur Jawa dan Asia yang menunjukkan adanya perbedaan antara anak laki-laki dan wanita. Anak laki-laki dipersiapkan untuk bertanggung jawab terhadap istri dan anak-anaknya (Handayani, 2004:15)

“Apakah tadi kau bersikap manis dan sopan kepada Bapak Presiden?”
Kemudian Mama menciumnya. “Kau memang anak manis dan sopan.” Mama jarang sekali menciumnya. Jadi kalau sekarang Mama member ciuman, itu adalah hadiah yang istimewa. (CdBH, halaman 32)


Papa tidak pernah membelikan boneka untukku. Kata Papa, boneka adalah permainan anak perempuan. Rupanya Papa lebih menyukai anak laki-laki karena anak laki-laki sangat penting untuk orang China. Anak laki-laki akan bekerja untuk keluarga dan meneruskan marga. Sedangkan anak perempuan hanya akan menjadi anak menantu orang lain. (CdBH, halaman 338)

Mama juga tidak suka aku terlalu banyak berlari-lari. Menurut Mama, anak perempuan yang manis haruslah duduk anteng dengan anggun. (CdBH, halaman 339)


Akan tetapi, pada kenyataannya terdapat banyak perempuan yang tidak sabar, mengalah, atau penurut. Lan Fang menolak tradisi yang membuat perempuan tak ubahnya seperti sepatu dagangan di toko Sumber Rezeki. Pemberontakan pertamanya datang ketika nekat berhujan-hujan dengan anak kampung setelah Bibi Tua memberi izin diam-diam. Penolakan Lan Fang tidak selalu sukses. Ketika Fung Lin mengajak Lie Ming menyewa payung meski tahu ada mobil yang siap menjemput, dia tidak yakin apakah kelakuan di luar kepantasan yang disematkan Lie Ming itu berdampak positif. Fung Lin menganggap itu pemberontakan atas perjodohan yang dilakukan orang tua.

“Untuk apa?!” Ini kali ketiga kalinya Lie Ming melontarkan pertanyaan yang sama. Fung Lin terperangah. Ia sangat terluka dengan pertanyaan yang diulangi tiga kali dengan sengit itu. Fung Lin langsung tahu bahwa Lie Ming pasti bukan laki-laki yang menciumnya di suatu waktu pada suatu tempat yang entah itu. (CdBH, halaman 195)

Pada saat mengalami kesulitan wanita biasanya bingung. Mereka akan menangis sejadi-jadinya atau mencoba melakukan bunuh diri. Mereka merasa kegilangan harapan. Fase emosional, seperti menangis, amat dipengaruhi budaya.
Studi tentang emosi yang tersalurkan lewat tangisan pernah dilaporkan melalui eksperimen yang diadakan di laboratorium. Gregg Levoy pada tahun 1988 melaporkan bahwa kelenjar air mata mengumpulkan dan mengeluarkan mangan dari tubuh. Konsentrasi mangan dalam air mata berkadar 30 persen lebih tinggi daripada yang terkandung dalam serum darah. Dari 85 persen wanita dan 75 persen wanita yang diselidiki dilaporkan bahwa mereka merasa lega secara psikis dan fisik setelah menangis. Mereka cenderung menilai tangisan secara positif. Kekuatan lain dari dimensi feminin adalah ketahanannya untuk menderita. Penelitian-penelitian ilmiah menyebutkan bahwa hampir semua suku di dunia menerima bahwa wanita atau ibu amat akrab dengan aspek penderitaan ini (Handayani, 2004:166).

Fung Lin yakin Udin tidak menangis. Ia tidak pernah melihat Udin menangis. Bahkan ketika Udian jatuh berebut bola atau berkelahi sampai berdarah pun, Fung Lin tidak pernah melihatnya menitikkan air mata. Menurut Udin, air mata tidak akan membasuh darah. Tetapi sekarang Fung Lin melihat mata Udin terluka seperti berdarah. (CdBH, halaman 264)

Sekarang Fung Lin sudah tidak sanggup menahan perasaannya. Dadanya turun-naik tidak beraturan.Sesak sekali rasanya. Bia ia menahannya lebh lama maka dadanya bisa pecah. Ia merasa sedih, takut, menyesal, marah, sekaligus malu kepada dirinya sendiri.
Maka ia terduduk di tanah dengan air mata bercucuran. Jeruk yang disembunyikan di belakang pungung pun terlepas. (CdBH, halaman 265)



Kemudian kesedihan yang semula hanya menggumpal di dada Fung Lin, pelan-pelan naik lagi membuntu hidungnya, pelan-pelan… ia tidak sanggup lagi menahan sakit yang mengalir dalam tiap desir darah. Maka Fung Lin pun meledak. “Mamaaaa! Papaaaa!”
Ia terkulai di tengah jalan dengan pandangan yang kabur oleh genangan air mata. (CdBH, halaman 188)



Akan tetapi, kemarahan juga bisa meruap menjadi bentuk yang sadis, tanpa air mata. Ketika pedagang jeruk tidak terima karena Fung Lin mencuri sebutir jeruknya, dia melampiaskannya dengan memotong jeruk itu menjadi kepingan-kepingan kecil dengan pisau besarnya. Pelampiasan kemarahan yang disertai caci maki ini membuat Fung Lin tak berdaya.
Kemarahan Fung Lin karena melihat Titin, hamster betina yang mencaplok anak-anaknya sendiri, membuatnya bersikap sama seperti Titin. Dia melemparkan hamster itu ke kandang harimau.

C. Kekuatan Ekonomi
Ketidakberdayaan perempuan karena tidak memiliki akses ekonomi membuat perempuan ‘menyerah’. Lan Fang menggambarkan Fung Lin tidak punya uang sama sekali karena dia tidak lagi menjadi wartawan lepas dan memilih menulis tanpa pekerjaan lain. Karena dengan hidup sendiri, maka dia harus memiliki pekerjaan yang dapat menopang hidupnya.
Alur kisah ini menjadi tidak masuk akal. Fung Lin semula menjadi wartawan lepas dengan gaji yang sudah pasti tidak besar karena dia dibayar per tulisan. Apalagi Fung Lin tidak memiliki akses transportasi yang membuatnya bergerak cepat untuk mendapatkan berita agar dibayar lebih. Jika dia harus menyelesaikan tulisannya yang tidak dijelaskan selesai dalam berapa hari atau berapa minggu, tentu hanya dalam hitungan hari dia sudah tidak memiliki uang untuk hidup. Jika itu berlangsung beberapa minggu, darimana bagaimana mungkin dia bisa berhemat dari gajinya sebagai wartawan lepas yang pasti tidak seberapa.
Kedekatan dengan Ari yang hanya ditunjukkan dengan beberapa kali minum kopi bersama dan dialog imajinernya, membuat Fung Lin takluk dengan mengiba meminjam uang pada Ari. Fung Lin sadar, pinjam uang itu harus dikembalikan.

Ia membayangkan bagaimana bila Ari meminta pelunasan utang dalam bentuk lain? Misalnya, bila Ari ingin menidurinya? Laki-laki adalah bulus yang paling pandai memanfaatkan kesempatan di dalam kesempian. Terlebih untuk laki-laki yang berkuasan dan mempunyai uang. (CdBH, halaman 176)


Terjepit kebutuhan hidup, Fung Lin mencari pekerjaan. Apa saja. Dalam keinginan mendapatkan pekerjaan yang didambakan, 50,6 persen perempuan di Jakarta menyatakan telah memiliki keterampilan yang diperlukan untuk mengerjakan pekerjaan yang sangat didambakannya tersebut. Namun kebanyakan mengatakan tidak memiliki modal yang diperlukan untuk dapat melakukan kegiatan/pekerjaan yang diinginkannya itu. Tidak adanya akses terhadap modal, cukup sering dilontarkan. Padahal mereka sangat mendambakan dapat mengembangkan suatu usaha, paling tidak bisa mengawali cita-citanya (Wiludjeng, 2005:120).

Aku tidak terlalu pusing menghitung keuntungan yang dia dapat setiap bulan, asal aku menerima uang gajiku yang cukup untuk membayar uang sekolah adik-adikku. (CdBH, halaman 122)


Sebetulnya pekerjaan ini tidak berat. Bukankah di rumah aku juga mencuci pakaian, merebus air panas untuk mandi adikku yang kecil. Sedangkan di Hong Kong, semua pekerjaan rumah tangga kulakukan dibantu mesin. Aku tidak kerasan. Tetapi aku harus bertahan setidaknya tujuh bulan sejak bulan aku bekerja yntuk membayar utang kepada agency yang memberangkatkanku. (CdBH, halaman 227)

Tugas kasir hanya menerima pembayaran, memberi kembalian, lalu mencocokkan nota dan uang saat tutup depot. (CdBH, halaman 283)



Perdagangan skala kecil biasanya dianggap sebagai sektor informal yang biasanya diikuti oleh kaum perempuan. Berbagai penelitian menyebutkan bahwa keterlibatan kaum perempuan dalam kegiatan-kegiatan telah menambah penghasilan. Fenomena ini telah menjadi gejala umum di Indonesia. Menurut Clifford Geertz dalam Sobary (2007:91), para pedagang kecil setempat kebanyakan kaum perempuan. Mereka berdagang barang-barang kecil hasil lokal, barang-barang hasil industri rumah, makanan-makanan kecil, hasil kebun, dan semacam itu.

Si penjual jeruk itu perempuan setengah baya. Kira-kira umurnya belum terlalu tua. Ia terlihat lebih tua dari Mama. Terlalu banyak keriput di wajahnya dan uban di rambutnya. Warna bajunya sudah pudar. Aku melihat ada sobekan di bagian kerahnya. Dan jari-jari tangannya terlihat besar dan kasar. Aku melihat kakinya yang tersembunyi di balik keranjang jeruk. Ia mengenakan sandal jepit yang sudah sangat tipis. Warna sandal yang sebelah kanan berbeda dengan warna sandal yang sebelah kiri. (CdBH, halaman 269)


Pemberontakan Lan Fang atas kekuatan perempuan yang tak muncul dengan manis diwakili oleh Ngatinah, Bobo Ng, Wenny Yeung, Aida, dan Bibi Tua. Masing-masing tokoh ini menunjukkan kekuatannya dengan cara mengalir, tanpa pemberontakan ekstrem. Pada akhirnya, para tokoh ini merasakan kemenangan yang dalam proses sering menyakitkan.
Menurut teori feminisme multikultural dan global, definisi penindasan itu tidak hanya karena budaya patriarkal. Ketertindasan perempuan berkaitan dengan ras, kelas, preferensi seksual, umur, agama, pendidikan, kesempatan kerja, dan sebagainya (Arivia, 2006:115). Itu pula yang dialami para tokoh dalam CdBH. Ngatinah dengan tekanan ekonomi; Fung Lin dengan tekanan kelas, ras, ekonomi, dan politik; Bobo Ng dengan tekanan umur; Wenny Yeung dengan tekanan kelas; dan Aida dan Bibi Tua dengan tekanan kesempatan kerja.
Justru pada tokoh Fung Lin yang menjadi tokoh utama, Lan Fang tidak secara tegas menyatakan kekuatan Fung Lin saat berhadapan dengan kekuatan politik. Justru Fung Lin akhirnya menjadi tokoh yang berjuang untuk imajinasinya sendiri. Dia tidak memiliki dampak apa pun untuk orang lain, selain Rafi kekasihnya. Kekuatan Fung Lin sebenarnya bisa dipoles jika Lan Fang benar-benar memahami permainan politik karena Lan Fang menyebut novel ini bernapaskan politik. Sampai pada Coda, arus politik yang seharusnya menarik untuk didalami hanya menjadi tempelan.
Paling tidak, Lan Fang sudah mencoba menyuarakan kegelisahannya dalam tokoh-tokoh yang sesekali muncul. Pada tokoh-tokoh sambil lalu inilah kekuatan Lan Fang menjalin kisah terbentuk, bukan pada Fung Lin. Suara perempuan yang menjadi perpanjangan suara Lan Fang cukup menjanjikan kesetaraan gender. Paling tidak, dalam sisi keberanian, ekonomi, kebebasan berpikir, kebebasan memilih sesuai dengan pilihan hidup sudah disodorkan. Mungkin teriakan untuk menyadarkan orang lain akan kebutuhan kaum perempuan agar mendapat porsi tepat dalam novel ini tidak terlalu keras terdengar. Akan tetapi, justru dalam jalinan kisah yang mudah dimengerti, orang paling tidak memahami bahwa perempuan memiliki kekuatan untuk berubah.

















Daftar Pustaka


Arivia, Gadis. 2006. Feminisme: Sebuah Kata Hati. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.

Handayani, Christina S. dan Ardhian Novianto. 2004. Kuasa Wanita Jawa. Jogjakarta: LKiS.

Lan Fang. 2010. Ciuman di Bawah Hujan. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Luxemburg, Jan van dkk. 1991. Tentang Sastra. Jakarta: Intermasa.

Mulia, Musdah. 2010. “Memberi Saya Keberanian” dalam Femina No. 16 24-30 April. Jakarta.

Prabasmoro, Aquarini Priyatna. 2007. Kajian Budaya Feminis: Tubuh, Sastra, dan Budaya Pop. Jogjakarta: Jalasutra.

Ratna, Nyoman Kutha. 2009. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra. Jogjakarta: Pustaka Pelajar.

Sidharta, Myra. 1982. “Wanita Peranakan Cina” dalam Kepribadian dan Perubahannya. Jakarta: Gramedia.

________ 2004. Dari Penjaja Tekstil sampai Superwoman. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.

Sobary, Mohammad. 2007. Kesalehan Sosial. Jogjakarta: LKiS.

Sofia, Adib. 2009. Aplikasi Kritik Sastra Feminis. Jogjakarta: Citra Pustaka.

Wiludjeng, Henny dkk. 2005. Dampak Pembakuan Peran Gender terhadap Perempuan Kelas Bawah di Jakarta. Jakarta: LBH-APIK Jakarta.