05 Juli 2009

Juragan Sawah yang Bangkrut





Libur selalu menyenangkan. Dengan dua sepeda onthel, kalau bisa bangun pagi dan tidak ada acara pagi lain, saya dan suami mencoba kekuatan kaki. Ngonthel. Seperti orang-orang yang tergabung dalam Hash, ada rute short, medium, dan long. Ngonthel juga begitu. Tetapi itu bergantung jam bangun. Kalau bisa bangun pagiii ya ambil rute long.

Rute long ini makan waktu sekitar 1,5 jam. Mulai dari rumah, pasar, menyeberang jembatan tol di Wage, Perumahan Taman Aloha, kampung, Perumahan Cipta Karya, dan ini dia yang paling kami suka: menyusuri sungai kecil sepanjang sawah. Sungai ini sejajar dengan jalan tol Surabaya-Porong.

Yang membuat perjalanan menjadi lama, kalau ada kerumunan ikan gathul dan sepat di sungai, sepeda berhenti. Kalau ada yuyu, berhenti lagi. Posko pertama tak pernah berubah: di bawah pohon gayam. Ya baru setua ini saya tahu pohon gayam meski sampai sekarang tak pernah melihat buahnya yang kata suami saya gurih.

Kabarnya, pohon gayam ini vila favoritnya para hantu. Mungkin benar juga. Wong saya saja krasan kok apalagi hantu. Di bawah pohon gayam ini adem, rindang, dan bikin ngantuk. Nah, di posko pertama ini mulai ngemil jajan yang tadi dibeli di pasar.

Kalau pas panen kacang panjang ya beli. Petani diberi Rp 5.000 wah... keranjang sepeda saya langsung penuh kacang panjang yang segar. Pernah saya beli terong seharga kacang panjang, keranjang langsung beraaat. Lumayan bisa untuk oleh-oleh tetangga.

Ngonthel lagi melewati Perumahan Puri Maharani. Ini tempat favorit anak muda dan yang merasa muda untuk berduaan. Gaya pacarannya aneh-aneh. Ada yang nangkring di atas sepeda motor, ada yang saling urut kaki, ada yang diam sambil cemberut. Risih juga melihatnya meski mereka sama sekali tidak risih ketika kami lewat.

Posko kedua sudah di depan mata. Di dekat jembatan tol menuju Perumahan Pasegan ada pasar pagi. Ramai. Posko kedua tepat di pertigaan jalan tempat orang berjualan goreng-gorengan. Makan pisang goreng, tahu, tempe, nyeruput teh hangat sampai kenyang paling habis Rp 4.000. Tontonannya ya orang lalu lalang. Yang asyik, sepeda motor dilarang lewat, jadi lumayan bersih udaranya meski di bawah sana mobil yang lewat jalan tol tak pernah putus.

Kenyang perut dan mata, ngonthel lagi lewat jembatan tol ke Pasegan dan Masangan. Di tempat ini ada sawah yang cantik. Luaaaas dan berbatas jalan tol jauh di ujung. Sungai irigasinya juga deras. Kalau tidak malu saya pasti sudah nyemplung. Acara mengayuh sepeda dilanjutkan ke tengah sawah. Ini benar-benar Sidoarjo yang asli. Lewat pematang yang cukup lebar, ada gubuk untuk menghalau burung, dan pohon mangga entah jenis apa yang ditanam sebagai peneduh. Nikmat bener.

Puas cengengesan berdua di tempat ini, dilanjutkan ngonthel lagi. Sekarang mengambil jalur pulang lewat Perumahan Bhayangkara dan Perumahan Sukoasri. Di tempat ini ada pasar kaget juga. Mampir lagi karena agenda tetapnya sarapan pecel Madiun yang dijual di mobil. Tak banyak yang bisa dilihat karena ini dekat perumahan. Tak ada yang asyik selain pecel itu.

Rumah sudah kelihatan, ngonthelnya dipercepat melewati tanah kosong yang membatasi Perumahan Sukoasri dengan rumah saya. Di sini ada tempat sampah liar yang baunya huekkk. Dulu tanah kosong ini juga sawah seindah di Masangan. Tepat di depan rumah kalau sedang bengong, nikmat memandang sawah. Saya seolah juragan pemilik sawah.

Sayangnya, sekarang sawah itu sudah dikapling-kapling dan dalam lima tahun terakhir bermunculan rumah gedong yang bagus-bagus. Saya si juragan sawah seperti sedang bangkrut. Sudah tak bisa menikmati sawahnya. Sekarang di depan rumah tumbuh bangunan yang semuanya bertingkat. Tak apa-apa, saya masih punya sungai irigasi di depan rumah. Di kanan-kiri sungai masih ada lahan untuk menanam pohon mangga. Di sepanjang sungai, glagah tumbuh adu cepat dengan sabetan arit petani yang lahannya tersisa seuprit.

Yang membuat saya bersyukur, sampai sekarang setiap pagi dan sore burung-burung liar masih gembira hinggap di pohon mangga depan rumah, tepi sungai. Bahkan mereka tak takut menclok di pohon mangga kurus yang saya tanam di lahan kosong belakang rumah, dekat kamar. Burung-burung ini seenaknya menclok di dapur, di atas panci, bahkan ketika ada saya, mereka tidak takut. Mungkin pikir mereka, ini dulu rumahku kok. Ngapain juga takut.