19 September 2009

Penyusuh

Nikmatnya libur meski cuma dapat tiga hari pas. Mendengar tetangga brak-bruk beres-beres rumah, jadi ketularan. Saya ingin punya ruang sendiri untuk kerja sekaligus berkhayal di rumah.

Sejak kecil saya selalu punya sudut untuk sekadar diam. Sudut ini tak selalu berarti pojokan. Pokoknya selalu ada tempat nyempil yang membuat saya betah berjam-jam diam di situ. Benar-benar berjam-jam. Biasanya sambil mikir sesuatu, merancang sesuatu, atau sekadar membayangkan menjadi Madam Mik Mak –penyihir gendut dalam Donal Bebek yang menjadi idola saya. Pokoknya di sudut yang gue banget ini saya bisa jadi apa saja.

Kemarin, sudut nyepi saya ada di depan lemari es. Benar-benar di depannya. Jadi kalau suami akan membuka lemari es, saya harus beringsut sedikit. Favorit lain duduk nempel di tembok di belakang pintu depan. Nikmat rasanya. Sayang sekali, berminggu-minggu saya tidak bisa menyepi sama sekali. Selalu gedebukan tak punya waktu.

Nah, saya ingin sudut Madam Mik Mak ini lebih representatif. Maksudnya bisa sekalian untuk belajar dan menulis. Pilihannya kamar belakang di bawah pohon mangga kurus.
Sepele, wong hanya berdua, mau milih di depan kamar mandi atau di bawah tangga juga bisa. Yang membuat bertele-tele adalah efek dominonya. Kalau mau pakai kamar belakang berarti harus memindahkan lemari es ke ruang lain, piring dan gelas ke lemari tempel di dapur. Gampang to?

Ternyata sama sekali tidak sepele. Sama sekali tidak gampang. Sebelum masuk lemari tempel, semua barang harus dicuci dulu. Ternyata lagi, saya memang punya bakat nyusuh –menimbun barang. Saya luar biasa kaya dengan benda-benda ajaib. Tutup stoples yang badannya tak ketahuan juntrungnya, deretan mug, bertumpuk panci, rantang-rantang, wadah pemisah kuning telur, waduh… saya merasa benar-benar kaya raya.

Panci berbagai ukuran saya pandangi dengan memelas. Lha wong saya ini makan saja ngerantang kok punya panci susun berbagai model. Saya usut, panci-panci itu ternyata hadiah dari koperasi. Beberapa kali dapat panci susun. Yang dipakai selalu yang berukuran paling kecil. Lainnya, ya nyumpel saja.

Selalu ada alasan pembenaran ketika akan membeli barang-barang itu. ”Belum berasa jadi ibu rumah tangga kalau belum punya Tupperware,” kata saya waktu mengambil dua set kotak makan. Padahal harganya tidak murah dan harus dibayar dengan uang makan beberapa kali. Karena didapat dengan perjuangan seperti ini, perkakas yang membuat saya berasa jadi ibu rumah tangga beneran ini saya eman-eman, saya sayang.

Belum juga berasa jadi ibu rumah tangga jika tidak punya piring dan mangkok melamine yang tebal. Jadilah membeli tiga set dengan tiga warna berbeda. Saya selalu merasa punya alasan untuk membeli kopi Nescafe dalam jumlah banyak agar mendapat mug kecilnya. Jika ada model yang belum punya, ya diburu. Belum lengkap jadi ratu dapur jika tidak punya panci presto. Beli juga tiga tahun lalu dan sampai sekarang belum pernah sekalipun keluar dari kardusnya. Nasibnya sama dengan juicer, rantang, termos, dan entah apa lagi.

Karena enggan merepotkan tetangga untuk pinjam barang kelak jika ada acara di rumah yang menghadirkan banyak orang, akhirnya beli piring satu set dan sendok cs setumpuk. Lha iya, ketempatan arisan dasa wisma saja setahun sekali. Ketempatan arisan PKK belum pernah. Bahkan tamu yang duduk lama pun tak pernah ada.
Saya pikir-pikir sambil meringis kecapaian mencuci perkakas ini, betapa tamaknya saya.

Saya menemukan mangkok hadiah dari kopi Kapal Api dan mug bertuliskan Hongkong. Kopi Kapal Api Special adalah kopi favorit ketika kuliah apalagi ketika berbonus mangkok. Membuat kopi ketika Maghrib dan saya tinggal tidur sampai kira-kira pukul 23.00 WIB. Kopi dingin ini yang menjadi doping tiap malam ketika menyelesaikan skripsi saat teman serumah tidur. Pasangannya semangkok mi instan.

Ini dua benda yang saya bawa dari kos-kosan ketika menikah 15 tahun lalu. Betapa nyusuhnya saya. Selama 15 tahun dua benda itu tetap saya sumpalkan di lemari. Iseng saya tunjukkan suami, ”Harta yang tidak termasuk gono-gini ya mangkok dan mug ini.” Ternyata harta suami yang tak termasuk gono-gini lebih banyak. Dia punya pemancar dengan antena, solder, komponen elektronika yang berjejal-jejal dalam beberapa dus berdebu, hingga sertifikat Orari dengan foto jadul dan rambut krewul.

Ternyata kami sama-sama penyusuh kelas berat.

Di kantor, saya selalu kemecer melihat kardus bekas air mineral. Beberapa kardus yang sudah dilipat terselip di bawah meja. Kotak cantik, wadah permen, beberapa kendil tanah liat lengkap dengan tutup, stoples, rotan tempat parsel, hingga tas kresek terkumpul. Lihatlah di bawah meja saya di kantor, benda-benda itu teronggok. “Siapa tahu dibutuhkan. Siapa tahu ada yang butuh. Ini bisa dipakai untuk wadah. Yang itu kalau dicat pasti bisa dimanfaatkan,” selalu seperti itu alasannya.

Sabtu (19/9), saya mulai membersihkan kamar belakang dan dapur pukul 08.15 WIB dan berakhir pukul 16.00 WIB. Itu pun masih menyisakan barang-barang ikutan.

Malam ini kamar belakang sudah bersih. Buku-buku teori sastra zaman kuliah bertumpuk lagi. Buku favorit, majalah Femina yang selalu dikempit tiap pagi kalau ke kamar mandi, koreksian siswa, berkas-berkas buku, sudah masuk. Tinggal ditata lagi.

Setelah 80 persen beres dan mandi lengkap dengan keramas, rasanya saya sudah menjadi bersih. Semoga. Semoga tidak nyusuh lagi. Saya berusaha membuat tawar perasaan ingin jadi ratu dapur ketika melihat iklan perangkat makan dari plastik dengan tutup yang diklaim antibocor. ”Noooo... saya tidak mau nyusuh."