14 Oktober 2010

Suara Perempuan dalam Novel Ciuman di Bawah Hujan

Kajian Feminisme


Endah Imawati

Sebagai gerakan modern, feminisme lahir awal abad ke-20 yang dipelopori oleh Virginia Woolf dalam bukunya yang berjudul A Room of One’s Own (1929) dan berkembang pesat pada 1960-an. Model analisisnya beragam, sangat kontekstual, berkaitan dengan aspek sosial, ekonomi, dan politik. Menurut Teeuw dalam Ratna (2009:183) ada beberapa indikator yang dianggap telah memicu lahirnya feminisme, di antaranya karena ketidakpuasan terhadap teori dan praktik ideologi Marxis orthodox, tidak terbatas pada Marxis Sovyet tetapi Marxis di dunia Barat secara keseluruhan.
Tujuan feminis adalah keseimbangan, interelasi gender. Dalam pengertian yang luas, feminis ialah gerakan kaum wanita untuk menolak segala sesuatu yang dimarginalisasikan, disubordinasikan, dan direndahkan oleh kebudayaan dominan, baik dalam bidang politik dan ekonomi maupun kehidupan sosial pada umumnya. Dalam pengertian sastra, feminis dikaitkan dengan cara-cara memahami karya sastra baik dalam kaitannya dengan proses produksi maupun resepsi.
Nancy K. Miller berpendapat bahwa menulis secara personal, yang dinamainya sebagai personal criticism, merupakan sebuah kritik kultural. Kritik personal membutuhkan tindak autobiografis yang melibatkan tindakan yang sengaja menuju figurasi diri, meskipun tingkat dan bentuk membuka diri itu berbeda-beda (Prabasmoro, 2007).
Sastra dan kritik sastra, juga merupakan konstruksi sosial yang sarat politis. Sebagaimana upaya-upaya pengajian perempuan pada umumnya, kritik sastra berwawasan feminis bertolak dari asumsi bahwa perempuan harus menciptakan pengetahuannya sendiri. Dia harus menciptakannya kembali dalam batasan-batasan yang diberikan oleh sejarah—dan bahwa dalam menciptakan pengetahuan, kita lalu bertindak terhadap hubungan kekuasaan di dalam kehidupan kita.
Pengamat sastra yang feminis bisa saja dapat melihat di dalam sastra bukan kisah penderitaan atau pengalaman pribadi, tetapi kisah-kisah perjuangan dan pola-pola hubungan kekuasaan. Pemahaman tentang teks sastra dapat diuraikan bukan sebagai renungan terhadap teks itu sendiri, tetapi sebagai pengajian atas sejarah dan pengajian yang berdampak politis. Cara lain adalah melakukan penelusuran teks sastra bukan dengan membacanya secara objektif, tetapi sebagai langkah intervensi, suatu metode untuk membentuk kembali penggunaan kebudayaan atas penulisan yang dibuat oleh perempuan.
Suatu pola kritik sastra berwawasan feminis berasumsi bahwa perempuan secara universal bukanlah makhluk yang serupa. Hubungan-hubungan mereka juga di tentukan oleh ras, kelas, dan identifikasi seksual. Namun ada konstruksi yang serupa yang dapat dikatakan universal yang diberlakukan terhadap perempuan, yakni konstruksi yang dihadirkan oleh patriarki, sebagai ideologi dominan.
Kritik sastra feminis yang mutakhir lebih menyorot tradisi sastra oleh wanita dan pengalaman wanita yang terungkap di dalamnya serta kemungkinan adanya cara penulisan khas wanita (Luxemburg, 1991).
Teori feminis erat berkaitan dengan konflik kelas dan ras, khususnya konflik gender. Antara konflik kelas dengan feminis memiliki asumsi-asumsi yang sejajar, mendekonstruksi sistem dominasi dan hegemoni, pertentangan antara kelompok yang lemah dengan kelompok yang dianggap lebih kuat.

A. Konflik Kelas dan Ras
Bagi Fung Lin, tokoh dalam novel Ciuman di Bawah Hujan (CdBH), perbedaan kelas antara pejabat dan bukan pejabat sangat mencolok. Salah satunya tampak ketika sang pejabat harus membuka acara. Terlambat hingga setengah jam bagi seorang pejabat adalah lumrah. Ketika datang pun dia hanya menebar senyum dan tak merasa bersalah telah membuat semua orang menunggu. Pejabat merasa sudah seharusnya dia datang terlambat dan ditunggu.

Akhirnya si pejabat muncul juga setelah jarum di jam tangannya telah bergeser lebih dari 60 menit. Semua heboh menyiapkan penyambutan.
Si pejabat memberikan senyum kepada hadirin. Lalu ia menyalami para tamu yang duduk di jejeran kursi paling depan. Kemudian langsung dipersilakan naik ke atas pentas memberikan kata sambutan. Seorang ajudan memberikan berkas yang dibacanya untuk membuka acara.
Setelah itu, si pejabat turun dari atas pentas. Tetap saja ia sambil tersenyum. Ia kembali menyalami tamu-tamu di kursi deretan paling depan. Kemudian ia melambaikan tangannya kepada para hadirin sambil berjalan meninggalkan ruangan.
Fung Lin melihat jarum jam tangannya. Seluruh prosesi pembukaan acara selesai hanya dalam waktu sepuluh menit. Tetapi para hadirin harus menunggu kedatangan si pejabat untuk enam puluh menit. (CdBH, halaman 18)


Perbedaan kelas itu digambarkan Lan Fang dalam bentuk penyambutan dan cara mengistimewakan sang pejabat. Perbedaan kelas ini juga tampak tidak hanya pada orang yang ditunggu kedatangannya karena mereka yang duduk di deretan kursi paling depan pastilah terhitung pejabat yang mungkin kedudukannya di bawah sang pejabat yang baru datang. Kursi paling depan adalah hak mereka yang memiliki pangkat. Makin ke belakang, pangkat yang disandang makin rendah.
Itu menunjukkan perbedaan kelas sesama pejabat. Hanya orang nomor satulah yang boleh (dan disetel) terlambat. Semua pejabat di bawahnya harus sudah siap sedia di lokasi acara sebelum sang nomor wahid ini datang.

“Aku wartawan yang ditugasi meliput acara ini. Kata panitia, akan hadir anggota dewan yang berkaitan dengan para TKW di Hong Kong ini. Aku ingin mewawancarainya. Tetapi kelihatannya sampai sekarang dia belum muncul,” sambung Fung Lin panjang lebar. (CdBH, halaman 22)


Perbedaan kelas yang ditunjukkan Lan Fang juga muncul dalam bentuk inferioritas tokoh Fung Lin. Ketika Fung Lin diajak ke rumah Anto, lelaki yang disukainya, Fung Lin langsung merasa ada perbedaan kelas yang membuatnya tak dapat menembus kelas itu. Perbedaan itu tercipta hanya dengan melihat rumah, pagar, lantai, kendaraan, bahkan pintu utama yang besar.

Ini bukan rumah. Tapi istana!
Ketika sampai di ambang pintu masuk, langkahnya tertahan. Karena Fung Lin menghentikan langkah dan hanya berdiri diam di tempat, Anto tidak tahu apa yang dipikirkan gadis itu. Ia tidak bisa menerka mimik wajahnya yang menjadi aneh.
“Anto, apakah ini rumahmu?”
“Ya, ini rumah orang tuaku.”
“Kalau begitu aku menunggu di garasi saja.”
Sangat tidak pantas kalau ia mengatakan takut masuk ke rumah itu karena ia merasa menjadi begitu kecil dan kusam. (CdBH, halaman 46)



Penampilan juga membuat Lan Fang menciptakan kelas berbeda. Saat Fung Lin kali pertama bertemu dengan ibu Anto, Fung Lin langsung mengetahui kelasnya hanya dengan melihat penampilan. Lan Fang tidak hanya memainkan penglihatan untuk mendeteksi kelas tokohnya. Dia juga menggunakan penciuman.

Sesosok tubuh langsing berdiri dengan anggun. Perempuan itu cantik sekali. Kulit wajahnya bersih tanpa jerawat, rambutnya tertata rapi, dengan poni sedikit berjambul, makeup-nya tipis, pakaiannya rapi dan indah, harumnya wangi bunga kenanga. (CdBH, halaman 49)

Sosok ini dibandingkan dengan Fung Lin sebagai penanda perbedaan kelas di antara mereka. Lan Fang membandingkan dengan fisik Fung Lin. Ini pembedaan yang kasat mata. Pembedaan ini sering terjadi di mana pun. Bahkan di halte bus orang akan mengukur, menimbang, dan berusaha menghitung rupiah yang dikenakan orang lain dari kepala hingga kaki. Taksiran pahit seperti menghitung harga sapi di pasar hewan ini yang diangkat Lan Fang. Seperti yang dilakukan tokoh Wenny Yeung, model terkenal di Hong Kong yang cemburu pada Ngatinah, pembantu rumah tangga tunangannya, Yao Man.
Perasaan di dalam diri wanita sangat besar. Cinta berhubungan dengan hati dan telinga. Wanita selalu lebih luwes dalam menyelesaikan masalah. Moris dalam Handayani (2004:167) menyatakan bahwa wanita tidak cenderung untuk terkunci pada suatu posisi, mereka rela untuk berubah arah kalau arah sebelumnya dirasa kurang bijaksana. Wanita terlatih untuk mengawasi dan mengamati orang lain sehingga kemampuan untuk mengenal orang lain jauh lebih tinggi dibandingkan laki-laki. Kebiasaan itu mudah dipelajari oleh wanita karena secara alamiah mereka terlatih untuk berempati, berintuisi, dan merasa.

Walaupun pakaiannya tidak bak model seperti aku, tetapi jika ia keluar untuk berhari Minggu, ia sudah memakai celana jins dengan merek yang cukup terkenal. Yau Man memang tidak pernah memuji Tina secara khusus. Tetapi dari kata-katanya yang terdengar datar itu bukankah ia menunjukkan bahwa ia juga memperhatikan gadis itu?
Dadaku serasa terbakar. (CdBH, halaman 221)



Gaya menyelidik dan menaksir harga ini juga dilakukan ibu Anto ketika Fung Lin datang ke rumahnya. Sama seperti cara Fung Lin menaksir kemahalan yang menempel pada ibu Anto, perempuan ini juga menaksir seberapa mahal sosok gadis di depannya.

Dilihatnya gadis muda itu dari kepala sampai ke kaki. Wajahnya biasa saja, warna kulitnya juga biasa saja, rambutnya dibuntut kuda, baunya sengatan matahari, tasnya kelihatan menggembung karena berisi buku-buku, tali sepatu ketsnya yang sebelah kiri terlepas. (CdBH, halaman 49)


Akan tetapi, Lan Fang menunjukkan tokohnya adalah perempuan yang ingin mengubah nasib, tak hanya melanjutkan usaha ayah dan ibunya yang memiliki toko sepatu. Dia ingin berkuliah. Ibu Fung Lin meluluskan permintaan itu meski Fung Lin tak pernah punya uang cukup banyak untuk bersenang-senang dengan teman-temannya. Keinginan mendapatkan pendidikan tinggi diungkapkan Sidharta (1982:173). Umumnya anak-anak China dianjurkan untuk belajar tekun dan mereka pun sangat rajin dan mempunyai rasa ingin tahu yang besar. Orang-orang yang berpendidikan dianggap telah ‘menjadi orang’. Para perempuan sering menunjukkan ambisi yang lebih besar. Apalagi jika dalam keluarga itu juga memiliki anak laki-laki karena biasanya anak laki-lakilah yang mendapat prioritas pendidikan. Jika ada anak perempuan ingin bersekolah, dia harus benar-benar menunjukkan keseriusannya dan menekan keinginan untuk segera menikah. Bagi mereka, begitu menikah, orang tua pihak perempuan sudah tidak memiliki hak atas anaknya.

Biasanya sehabis kuliah mereka pergi bersama-sama. Tetapi Fung Lin tidak pernah diajak. Tepatnya, Fung Lin pernah diajak beberapa kali, tetapi memutuskan tidak ikut karena setiap hari mereka pergi makan dan berbelanja di plaza. Mama hanya memberinya uang untuk membayar kuliah, membeli buku, dan membayar angkot. Selain itu, dia punya kewajiban menjaga toko setiap pulang sekolah.
Fung Lin lebih suka ke perpustakaan kampus. Di sana dia bisa membaca dan menyalin catatan dengan tenang. (CdBH, halaman 37)


Konflik ras dimunculkan dengan tragis. Konflik ini sudah muncul dalam bab pertama yang menunjukkan keheranan tokoh Ari sang anggota dewan ketika melihat sosok Fung Lin yang kental ke-China-annya. Mata yang seperti kuaci dan kulit berwarna terang bagi Lan Fang adaah pembeda yang tak bisa dikelabuhi. Bahkan dalam etnis China, perbedaan kelas kental dirasakan.
Toko sepatu orang tua Fung Lin adalah salah satu agen dari pabrik orang tua Lie Ming. Tetapi jangan berpikir orang tua Fung Lin adalah agen besar. Tidak seperti itu. Toko Sumber Rezeki, nama toko orang tua Fung Lin hanyalah toko kecil yang juga menjual sepatu secara eceran.

Fung Lin berusaha menyalami Lie Ming. Tetapi ternyata ia tidak mendapat balasan senyum dari Lie Ming. Fung Lin berusaha menerima keangkuhan itu sebagai hal yang biasa saja. Sebab Lie Ming mempunyai cukup modal untuk angkuh. Ia muda, terpelajar, tampan, dan sudah jelas kaya raya. (CdBH, halaman 148)

Perbedaan ras ini dianggap Lan Fang sangat penting karena konflik ini memuncak dengan klimaksnya berupa pembakaran rumah dan toko milik orang tua Fung Lin.

Mereka memecahkan, melempari, mendobrak, membakar, merusak, menghancurkan….
Termasuk mengambil para perempuan yang bermata lebih kecil.
Fung Lin melihat asap mengepul dari arah toko orang tuanya.
Fung Lin beradu cepat dengan angin. Karena ia melihat Mama dan Papa terbang bersama angin. Mereka membumbung keluar bersama gumpalan asap…. Tampak sekujur tubuh mereka terang karena berdiri di ats bola-bola api. (CdBH, halaman 186)



B. Peran Perempuan
Menurut Selden dalam Ratna (2009:194) ada lima masalah yang biasanya muncul dalam kaitannya dengan teori feminis, yaitu masalah biologis, pengalaman, wacana, ketaksadaran, dan masalah sosioekonomi. Helena Cixous, novelis, penulis drama, sekaligus kritikus feminis, memilih dua titik perhatian yaitu hegemoni opisisi biner dalam kebudayaan Barat dan praktik penulisan feminine yang dikaitkan dengan tubuh.
Konsekuensi logis dalam oposisi biner adalah salah satu faktor diposisikan lebih penting dan lebih utama dibandingkan aspek lain. Dalam tradisi China di Hong Kong, posisi anak lelaki menjadi posisi sentral apalagi jika dia adalah anak lelaki pertama. Pola pengasuhan orang tua mengikuti pola itu.
Bagi orang China, menantu perempuan wajib merawat dan taat kepada mertuanya seperti oang tua sendiri. Karena ketika menikah, dia meninggalan keluarganya sendiri dan menjadi bagian dari keluarga besar suaminya.

Sedangkan anak perempuanku kedua disibukkan mengurus suami dan kedua anaknya yang masih kecil-kecil. Ia memang tidak tinggal bersama mertuanya karena ia menikah dengan anak laki-laki kedua. Mertuanya tinggal serumah dengan anak laki-laki pertamanya.
Karena Yao Man adalah anak laki-laki satu-satunya maka aku ikut Yao Man. Wenny Yeung, model cantik yang akan menjadi istri Yao Man, yang harus merawat aku, mertuanya. (CdBH, halaman 113)



Penolakan terhadap hegemoni laki-laki, menurut Cixous, harus dilakukan dengan praktik menulis feminin. Hubungan esensial antara tulisan perempuan dan ibu menjadi sumber dan asal suara yang terdengar dalam semua teks perempuan. Keseluruhan pembicaraan adalah suara perempuan.
Dalam CdBH, tokoh perempuan bersuara lebih banyak daripada tokoh laki-laki. Pikiran dan sikap mereka menjadi pengeras suara bagi Lan Fang untuk menyatakan kehendaknya. Mereka adalah Mama, Fung Lin, ibu Anto, Bibi Tua, Bobo Ng, Ngatinah, Katty, Aida, penjual jeruk, anak perempuan penjual jeruk, dan Wenny Yeung. Suara perempuan ini tidak hanya dilontarkan perempuan karena tokoh laki-laki yang dibedakan secara biologis juga dikemas untuk menyempitkan perbedaan perempuan dan laki-laki.
Keberanian Lan Fang menyuarakan keinginannya untuk tidak lagi melihat perbedaan kelas, ras, dan gender diwakili para tokohnya. Bagi Musdah Mulia, aktivis perempuan, sikap berani selama ini dianggap ciri maskulin, karena itu dianggap tidak pantas dimiliki wanita. Ini keliru. Sikap keberanian adalah sikap positif dan pantas dimiliki wanita dan pria (Femina, 2010).


Aku harus bertahan setidaknya tujuh bulan sejak aku bekerja, untuk membayar utang kepada agency yang memberangkatkanku. Tetapi tentu saja bukan sekadar itu alasanku harus bertahan. Aku punya mimpi-mimpi yang ingin kuwujudkan. (CdBH, halaman 226)

Aku bangga sekali.
Sambil menunggu, aku masih merasa seperti bermimpi. Tetapi kali ini bukan mimpi ingin mengganti atap rumbia dengan genteng atau membelikan sepeda motor untuk ibu. (CdBH, halaman 246)



Tugas kodrati istri, menurut Musdah Mulia, hanyalah sepanjang menyangkut masalah reproduksi. Selain itu dapat dibagi secara tulus dengan suami. Lan Fang tidak menunjukkannya dalam Fung Lin dalam hubungan kedekatan dengan Rafi, Ari, atau Anto. Lan Fang bersuara melalui Mama Lie Ming, Fung Lin, dan Ngatinah saat dilamar Mas Wawan.

“Nduk…, kita bisa mengelola kolam pembibitan lele dumbo bersama…. Aku kepingin mengelolanya bersamamu sampai tua.” (244)

Sedangkan anak perempuanku kedua disibukkan mengurus suami dan kedua anaknya yang masih kecil-kecil. Ia memang tidak tinggal bersama mertuanya karena ia menikah dengan anak laki-laki kedua. Mertuanya tinggal serumah dengan anak laki-laki pertamanya.
Karena Yao Man adalah anak laki-laki satu-satunya maka aku ikut Yao Man. Wenny Yeung, model cantik yang akan menjadi istri Yao Man, yang harus merawat aku, mertuanya. (CdBH, halaman 113)

Perempuan setengah baya itu kemudian memutar-mutar tubuhnya. Lalu ia meraba pinggang dan pinggulnya. “Hahaha… boleh juga…. Dia bisa melahirkan banyak anak laki-laki.”
Hei… dalam pelajaran Bilogi menjelaskan bahwa jenis kelamin anak tidak ditentukan oleh bentuk pinggang dan pinggul. Tetapi oleh kromosom yang dimiliki spermatozoa, Fung Lin berteriak dalam hati. (CdBH, halaman 151)



Di samping pengasuhan ibu, dalam keluarga yang dikemas Lan Fang memiliki pembantu rumah tangga. Fungsinya seringkali bukan sekadar membantu apa yang dibutuhkan keluarga itu tetapi juga menjadi induk semang anak-anak keluarga itu, seperti yang banyak dilakukan keluarga China karena ayah dan ibu harus bekerja. Kadang-kadang ibu tidak bekerja di luar rumah tetapi dia harus mengurus suami sehingga anak-anak diserahkan kepada pembantu.
Ini seperti yang terjadi dalam kehidupan Ong Pik Hwa. Pendiri majalah Fu Len yang terbit 15 Desember 1937 ini lahir tahun 1906. Mengenai pembantunya, ia (Ong Pik Hwa) menulis dengan penuh kasih sayang. Pembantu inilah yang selalu mendampinginya ke mana-mana dan dialah yang menemani dan mengeloni sampai dia tertidur. Begitu juga ketika dia sudah masuk sekolah. Pada jam istirahat, pembantu sudah menyiapkan makanan yang dibawa dari rumah. Dia mengingatkan bahwa pembantu juga berfungsi sebagai perisai kalau ibunya sedang marah dan mau memukulnya dengan sapu lidi. Dia bersembunyi di belakang pembantu yang tentu tidak dapat mengelakkan pukulan yang sebetulnya ditujukan kepada dirinya.

Jika cucu laki-lakinya itu ngompol di pangkuannya, maka pakaian Bobo Ng akan basah kena pipisnya. Sehingga tugasku menjadi lebih banyak, karena bukan saja mengganti celana Vincent Ng, tetapi juga pakaian Bobo Ng. Tetapi sungguh, aku melakukannya dengan suka hati. Sama sekali tidak menjadi beban bagiku karena aku merasakan kebahagiaan yang sama seperti anggota keluarga yang lain. (CdBH, halaman 242)

Bibi Tua jarang berbicara padanya. Ia selalu sibuk mengerjakan pekerjaan rumah tangga. Bibi Tua tidak pernah memandangnya sama sekali.
Bibi Tua menyabuni dan mengeramasinya. Setelah tubuhnya bersih, handuk hangat membungkusnya. Kemudian Bibi Tua membantu Fung Lin mengenakan piama dan membernya secangkir teh panas sepat.
Fung Lin tidak mampu menahan diri. Dia mengembangkan tangan dan memeluk tubuh kurus dan bungkuk itu.
Ia mendongak ketika merasakan elusan sayang di rambutnya yang masih basah. (CdBH, halaman 203)


Jeruk yang disembunyikan di belakang punggung pun terlepas. Menggelinding. Suaranya terbata-bata memanggil seseorang.
“Bibi Tua….” Ia tidak berani memanggil Mama. (CdBH, halaman 265)


Seorang istri diharapkan sabar, mengalah, penurut, penuh pengertian, apa pun yang dilakukan suaminya Sofia (2009:37). Tanpa memiliki sifat-sifat ini, seorang perempuan akan mudah menerima cercaan dari suaminya, mertua, tetangga, bahkan orang tuanya sendiri (Sobary, 2007:108).

“Rambutnya hitam dan kaku sekali. Seperti ijuk.”
“Keras kepala ya, Ma.”
“Telinganya juga kaku,” kali ini Mama Lie Ming mengangkat rambut dan melipat-lipat telinganya.
“Tidak bisa menurut ya, Ma?”
Fung Lin ingin mengatakan apa yang dipikirkannya. Tetapi dia ingat pesan mamanya, “Anak perempuan yang manis dan sopan tidak boleh protes.”
“Tulang kakinya tidak menonjol. Bagus. Dia tidak menimbulkan kemalangan. Suaminya bisa berumur panjang.” (CdBH, halaman 150)

Fung Lin tidak membantah ketika Lie Ming menyuruhnya mengenakan gaun panjang yang ujungnya berjuntai menyapu lantai dengan gemulai. Ia pun tidak banyak cingcong ketika Lie Ming menyuruhnya berganti sepatu. Fung Lin menurut saja walaupun karena sepatu Ssembilan senti itu ia hampir jatuh saat berjalan di atas lantai marmer yang licin. (CdBH, halaman 190)



Meski secara struktur formal mereka tidak berpengaruh, tetapi secara informal pengaruh tersebut sangat besar. Kecenderungan tersebut didukung penelitian tentang pola pengasuhan dalam kultur Jawa dan Asia yang menunjukkan adanya perbedaan antara anak laki-laki dan wanita. Anak laki-laki dipersiapkan untuk bertanggung jawab terhadap istri dan anak-anaknya (Handayani, 2004:15)

“Apakah tadi kau bersikap manis dan sopan kepada Bapak Presiden?”
Kemudian Mama menciumnya. “Kau memang anak manis dan sopan.” Mama jarang sekali menciumnya. Jadi kalau sekarang Mama member ciuman, itu adalah hadiah yang istimewa. (CdBH, halaman 32)


Papa tidak pernah membelikan boneka untukku. Kata Papa, boneka adalah permainan anak perempuan. Rupanya Papa lebih menyukai anak laki-laki karena anak laki-laki sangat penting untuk orang China. Anak laki-laki akan bekerja untuk keluarga dan meneruskan marga. Sedangkan anak perempuan hanya akan menjadi anak menantu orang lain. (CdBH, halaman 338)

Mama juga tidak suka aku terlalu banyak berlari-lari. Menurut Mama, anak perempuan yang manis haruslah duduk anteng dengan anggun. (CdBH, halaman 339)


Akan tetapi, pada kenyataannya terdapat banyak perempuan yang tidak sabar, mengalah, atau penurut. Lan Fang menolak tradisi yang membuat perempuan tak ubahnya seperti sepatu dagangan di toko Sumber Rezeki. Pemberontakan pertamanya datang ketika nekat berhujan-hujan dengan anak kampung setelah Bibi Tua memberi izin diam-diam. Penolakan Lan Fang tidak selalu sukses. Ketika Fung Lin mengajak Lie Ming menyewa payung meski tahu ada mobil yang siap menjemput, dia tidak yakin apakah kelakuan di luar kepantasan yang disematkan Lie Ming itu berdampak positif. Fung Lin menganggap itu pemberontakan atas perjodohan yang dilakukan orang tua.

“Untuk apa?!” Ini kali ketiga kalinya Lie Ming melontarkan pertanyaan yang sama. Fung Lin terperangah. Ia sangat terluka dengan pertanyaan yang diulangi tiga kali dengan sengit itu. Fung Lin langsung tahu bahwa Lie Ming pasti bukan laki-laki yang menciumnya di suatu waktu pada suatu tempat yang entah itu. (CdBH, halaman 195)

Pada saat mengalami kesulitan wanita biasanya bingung. Mereka akan menangis sejadi-jadinya atau mencoba melakukan bunuh diri. Mereka merasa kegilangan harapan. Fase emosional, seperti menangis, amat dipengaruhi budaya.
Studi tentang emosi yang tersalurkan lewat tangisan pernah dilaporkan melalui eksperimen yang diadakan di laboratorium. Gregg Levoy pada tahun 1988 melaporkan bahwa kelenjar air mata mengumpulkan dan mengeluarkan mangan dari tubuh. Konsentrasi mangan dalam air mata berkadar 30 persen lebih tinggi daripada yang terkandung dalam serum darah. Dari 85 persen wanita dan 75 persen wanita yang diselidiki dilaporkan bahwa mereka merasa lega secara psikis dan fisik setelah menangis. Mereka cenderung menilai tangisan secara positif. Kekuatan lain dari dimensi feminin adalah ketahanannya untuk menderita. Penelitian-penelitian ilmiah menyebutkan bahwa hampir semua suku di dunia menerima bahwa wanita atau ibu amat akrab dengan aspek penderitaan ini (Handayani, 2004:166).

Fung Lin yakin Udin tidak menangis. Ia tidak pernah melihat Udin menangis. Bahkan ketika Udian jatuh berebut bola atau berkelahi sampai berdarah pun, Fung Lin tidak pernah melihatnya menitikkan air mata. Menurut Udin, air mata tidak akan membasuh darah. Tetapi sekarang Fung Lin melihat mata Udin terluka seperti berdarah. (CdBH, halaman 264)

Sekarang Fung Lin sudah tidak sanggup menahan perasaannya. Dadanya turun-naik tidak beraturan.Sesak sekali rasanya. Bia ia menahannya lebh lama maka dadanya bisa pecah. Ia merasa sedih, takut, menyesal, marah, sekaligus malu kepada dirinya sendiri.
Maka ia terduduk di tanah dengan air mata bercucuran. Jeruk yang disembunyikan di belakang pungung pun terlepas. (CdBH, halaman 265)



Kemudian kesedihan yang semula hanya menggumpal di dada Fung Lin, pelan-pelan naik lagi membuntu hidungnya, pelan-pelan… ia tidak sanggup lagi menahan sakit yang mengalir dalam tiap desir darah. Maka Fung Lin pun meledak. “Mamaaaa! Papaaaa!”
Ia terkulai di tengah jalan dengan pandangan yang kabur oleh genangan air mata. (CdBH, halaman 188)



Akan tetapi, kemarahan juga bisa meruap menjadi bentuk yang sadis, tanpa air mata. Ketika pedagang jeruk tidak terima karena Fung Lin mencuri sebutir jeruknya, dia melampiaskannya dengan memotong jeruk itu menjadi kepingan-kepingan kecil dengan pisau besarnya. Pelampiasan kemarahan yang disertai caci maki ini membuat Fung Lin tak berdaya.
Kemarahan Fung Lin karena melihat Titin, hamster betina yang mencaplok anak-anaknya sendiri, membuatnya bersikap sama seperti Titin. Dia melemparkan hamster itu ke kandang harimau.

C. Kekuatan Ekonomi
Ketidakberdayaan perempuan karena tidak memiliki akses ekonomi membuat perempuan ‘menyerah’. Lan Fang menggambarkan Fung Lin tidak punya uang sama sekali karena dia tidak lagi menjadi wartawan lepas dan memilih menulis tanpa pekerjaan lain. Karena dengan hidup sendiri, maka dia harus memiliki pekerjaan yang dapat menopang hidupnya.
Alur kisah ini menjadi tidak masuk akal. Fung Lin semula menjadi wartawan lepas dengan gaji yang sudah pasti tidak besar karena dia dibayar per tulisan. Apalagi Fung Lin tidak memiliki akses transportasi yang membuatnya bergerak cepat untuk mendapatkan berita agar dibayar lebih. Jika dia harus menyelesaikan tulisannya yang tidak dijelaskan selesai dalam berapa hari atau berapa minggu, tentu hanya dalam hitungan hari dia sudah tidak memiliki uang untuk hidup. Jika itu berlangsung beberapa minggu, darimana bagaimana mungkin dia bisa berhemat dari gajinya sebagai wartawan lepas yang pasti tidak seberapa.
Kedekatan dengan Ari yang hanya ditunjukkan dengan beberapa kali minum kopi bersama dan dialog imajinernya, membuat Fung Lin takluk dengan mengiba meminjam uang pada Ari. Fung Lin sadar, pinjam uang itu harus dikembalikan.

Ia membayangkan bagaimana bila Ari meminta pelunasan utang dalam bentuk lain? Misalnya, bila Ari ingin menidurinya? Laki-laki adalah bulus yang paling pandai memanfaatkan kesempatan di dalam kesempian. Terlebih untuk laki-laki yang berkuasan dan mempunyai uang. (CdBH, halaman 176)


Terjepit kebutuhan hidup, Fung Lin mencari pekerjaan. Apa saja. Dalam keinginan mendapatkan pekerjaan yang didambakan, 50,6 persen perempuan di Jakarta menyatakan telah memiliki keterampilan yang diperlukan untuk mengerjakan pekerjaan yang sangat didambakannya tersebut. Namun kebanyakan mengatakan tidak memiliki modal yang diperlukan untuk dapat melakukan kegiatan/pekerjaan yang diinginkannya itu. Tidak adanya akses terhadap modal, cukup sering dilontarkan. Padahal mereka sangat mendambakan dapat mengembangkan suatu usaha, paling tidak bisa mengawali cita-citanya (Wiludjeng, 2005:120).

Aku tidak terlalu pusing menghitung keuntungan yang dia dapat setiap bulan, asal aku menerima uang gajiku yang cukup untuk membayar uang sekolah adik-adikku. (CdBH, halaman 122)


Sebetulnya pekerjaan ini tidak berat. Bukankah di rumah aku juga mencuci pakaian, merebus air panas untuk mandi adikku yang kecil. Sedangkan di Hong Kong, semua pekerjaan rumah tangga kulakukan dibantu mesin. Aku tidak kerasan. Tetapi aku harus bertahan setidaknya tujuh bulan sejak bulan aku bekerja yntuk membayar utang kepada agency yang memberangkatkanku. (CdBH, halaman 227)

Tugas kasir hanya menerima pembayaran, memberi kembalian, lalu mencocokkan nota dan uang saat tutup depot. (CdBH, halaman 283)



Perdagangan skala kecil biasanya dianggap sebagai sektor informal yang biasanya diikuti oleh kaum perempuan. Berbagai penelitian menyebutkan bahwa keterlibatan kaum perempuan dalam kegiatan-kegiatan telah menambah penghasilan. Fenomena ini telah menjadi gejala umum di Indonesia. Menurut Clifford Geertz dalam Sobary (2007:91), para pedagang kecil setempat kebanyakan kaum perempuan. Mereka berdagang barang-barang kecil hasil lokal, barang-barang hasil industri rumah, makanan-makanan kecil, hasil kebun, dan semacam itu.

Si penjual jeruk itu perempuan setengah baya. Kira-kira umurnya belum terlalu tua. Ia terlihat lebih tua dari Mama. Terlalu banyak keriput di wajahnya dan uban di rambutnya. Warna bajunya sudah pudar. Aku melihat ada sobekan di bagian kerahnya. Dan jari-jari tangannya terlihat besar dan kasar. Aku melihat kakinya yang tersembunyi di balik keranjang jeruk. Ia mengenakan sandal jepit yang sudah sangat tipis. Warna sandal yang sebelah kanan berbeda dengan warna sandal yang sebelah kiri. (CdBH, halaman 269)


Pemberontakan Lan Fang atas kekuatan perempuan yang tak muncul dengan manis diwakili oleh Ngatinah, Bobo Ng, Wenny Yeung, Aida, dan Bibi Tua. Masing-masing tokoh ini menunjukkan kekuatannya dengan cara mengalir, tanpa pemberontakan ekstrem. Pada akhirnya, para tokoh ini merasakan kemenangan yang dalam proses sering menyakitkan.
Menurut teori feminisme multikultural dan global, definisi penindasan itu tidak hanya karena budaya patriarkal. Ketertindasan perempuan berkaitan dengan ras, kelas, preferensi seksual, umur, agama, pendidikan, kesempatan kerja, dan sebagainya (Arivia, 2006:115). Itu pula yang dialami para tokoh dalam CdBH. Ngatinah dengan tekanan ekonomi; Fung Lin dengan tekanan kelas, ras, ekonomi, dan politik; Bobo Ng dengan tekanan umur; Wenny Yeung dengan tekanan kelas; dan Aida dan Bibi Tua dengan tekanan kesempatan kerja.
Justru pada tokoh Fung Lin yang menjadi tokoh utama, Lan Fang tidak secara tegas menyatakan kekuatan Fung Lin saat berhadapan dengan kekuatan politik. Justru Fung Lin akhirnya menjadi tokoh yang berjuang untuk imajinasinya sendiri. Dia tidak memiliki dampak apa pun untuk orang lain, selain Rafi kekasihnya. Kekuatan Fung Lin sebenarnya bisa dipoles jika Lan Fang benar-benar memahami permainan politik karena Lan Fang menyebut novel ini bernapaskan politik. Sampai pada Coda, arus politik yang seharusnya menarik untuk didalami hanya menjadi tempelan.
Paling tidak, Lan Fang sudah mencoba menyuarakan kegelisahannya dalam tokoh-tokoh yang sesekali muncul. Pada tokoh-tokoh sambil lalu inilah kekuatan Lan Fang menjalin kisah terbentuk, bukan pada Fung Lin. Suara perempuan yang menjadi perpanjangan suara Lan Fang cukup menjanjikan kesetaraan gender. Paling tidak, dalam sisi keberanian, ekonomi, kebebasan berpikir, kebebasan memilih sesuai dengan pilihan hidup sudah disodorkan. Mungkin teriakan untuk menyadarkan orang lain akan kebutuhan kaum perempuan agar mendapat porsi tepat dalam novel ini tidak terlalu keras terdengar. Akan tetapi, justru dalam jalinan kisah yang mudah dimengerti, orang paling tidak memahami bahwa perempuan memiliki kekuatan untuk berubah.

















Daftar Pustaka


Arivia, Gadis. 2006. Feminisme: Sebuah Kata Hati. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.

Handayani, Christina S. dan Ardhian Novianto. 2004. Kuasa Wanita Jawa. Jogjakarta: LKiS.

Lan Fang. 2010. Ciuman di Bawah Hujan. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Luxemburg, Jan van dkk. 1991. Tentang Sastra. Jakarta: Intermasa.

Mulia, Musdah. 2010. “Memberi Saya Keberanian” dalam Femina No. 16 24-30 April. Jakarta.

Prabasmoro, Aquarini Priyatna. 2007. Kajian Budaya Feminis: Tubuh, Sastra, dan Budaya Pop. Jogjakarta: Jalasutra.

Ratna, Nyoman Kutha. 2009. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra. Jogjakarta: Pustaka Pelajar.

Sidharta, Myra. 1982. “Wanita Peranakan Cina” dalam Kepribadian dan Perubahannya. Jakarta: Gramedia.

________ 2004. Dari Penjaja Tekstil sampai Superwoman. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.

Sobary, Mohammad. 2007. Kesalehan Sosial. Jogjakarta: LKiS.

Sofia, Adib. 2009. Aplikasi Kritik Sastra Feminis. Jogjakarta: Citra Pustaka.

Wiludjeng, Henny dkk. 2005. Dampak Pembakuan Peran Gender terhadap Perempuan Kelas Bawah di Jakarta. Jakarta: LBH-APIK Jakarta.

Tidak ada komentar: