12 Desember 2008

Pengantin Setara



Pertengahan Oktober lalu ada undangan pernikahan di Kediri. Pernikahan dilakukan secara Katolik. Pemberkatan pernikahan ini di Gereja Puhsarang, Kediri. Menarik. Selain karena tempatnya unik, ritual ini dilakukan sambil lesehan, duduk di tikar. Hanya sepasang pengantin dan orangtua yang duduk di kursi.

Koor pengiring juga dilakukan sambil ndheprok dengan iringan gitar. Penyanyi koor sesekali memakai kertas teks lagu untuk kipas-kipas, sesekali mengajak anaknya duduk anteng, sesekali mengipasi anaknya yang tertidur di pangkuan. Apa adanya tetapi regeng, akrab.

Usai dari gereja, semua rombongan ke rumah pengantin putri untuk resepsi. Sudah pukul 12.00 WIB lewat, perut mulai menagih. Dengan penuh semangat kami, rombongan dari Surabaya, segera mengikuti peta menuju tempat resepsi.

Ternyata rumah pengantin putri ini biyuh… jauh. Jalan memang beraspal mulus tetapi menanjak, berkelok, hingga tepat di ujung belokan dan tanjakan semua berhenti. Di situ tempat resepsi. Dari Puhsarang perlu 10 menit ke arah barat dan terus menanjak.

Sebuah terop kecil dipasang di halaman berdebu. Sederhana dengan hiasan seadanya. Tetapi para penerima tamu begitu ramah. Kami memilih duduk di bawah pohon mangga podang, mangga kecil berwarna kuning yang banyak ditemui di Kediri. Di situ lebih sejuk.

Meski matahari menyengat di tengah hari dan tanah seperti menguap saking panasnya, para penerima tamu tetap berdandan full. Sanggul tekuk yang dikenakan penerima tamu perempuan berbeda dengan sanggul tekuk ala Jogja atau Solo. Yang ini lebih kecil, pipih, dan dipasang jauh di atas tengkuk. Riasan wajah semuanya sama, dengan alis melengkung tajam, dan bedak warna kekuningan. Ini seperti riasan pengantin perempuan. Cantik dan khas Kediri.

Yang saya tunggu adalah ritual temu manten. Saya bertanya pada juru rias, katanya, temu manten nanti hanya diambil beberapa yang perlu. Saya sudah siap-siap menunggu ritual itu di depan pelaminan. Tempatnya sangat sempit karena ada satu kamera untuk syuting sehingga para tamu yang sudah duduk manis di depan pelaminan harus menyingkir demi tukang syuting yang disewa untuk mengabadikan penikahan itu.

Acara temu manten berlangsung tanpa gending Kebo Giro. Suara campur sari yang terdengar. Juru rias sempat sewot karena pembawa kembar mayang –rangkaian bunga, buah, dan janur—berjalan mendului pengantin lelaki.

“Kleru… kowe neng mburine manten!” teriak juru rias. Mungkin dia panik karena pakemnya pengantin lelaki langkahnya harus bebas hambatan. Mungkin ini dianggap pertanda buruk jika melihat ekspresi juru rias yang cukup gemas. Tetapi dua anak muda yang membawa kembar mayang tak bisa berbuat apa-apa. Jalan yang dilewati sangat sempit. Mereka tak bisa berhenti sekadar memberi jalan pada pengantin lelaki.

Untunglah, seorang prodiakon –ini awam, pembantu imam dalam Katolik, orang yang dituakan—dengan santai meminta pembawa kembar mayang berjalan dulu.
Baru setelah itu sawatan, saling melempar daun sirih, dan kemudian prosesi menginjak telur. Pengantin lelaki menginjak telur mentah, prak, kemudian pengantin perempuan membasuh kaki pengantin lelaki hingga bersih. Ini bukti kemauan untuk melayani suami. Biasanya sebelum dan setelahnya si istri mengangkat tangan untuk menyembah sebagai tanda bakti.

Biasanya kemudian pengantin lelaki dengan gagah minta si istri menggandengkan tangan ke lengannya. Tetapi kali ini tidak. Prodiakon minta pengantin perempuan berdiri.
“Karena dalam Katolik perempuan dan lelaki sama derajatnya, saling menghormati, sekarang saya minta pengantin lelaki ganti membersihkan kaki pengantin perempuan,” kata prodiakon itu.

Semua melongo. Pengantin lelaki juga, apalagi pengantin perempuan. Tetapi pengantin lelaki langsung berjongkok. Ragu-ragu pengantin perempuan melepas sandal. Dengan tangannya, pengantin lelaki membasuh kaki istrinya itu dan mengeringkan dengan handuk.

Juru rias yang melihat episode tak lazim ini hanya diam. Entah apa yang ada di pikirannya menyaksikan adegan pengantin lelaki mencuci kaki pengantin perempuan. Tidak ada dalam pakem.

Setelah itu mereka naik ke pelaminan, menebar senyum.

Saya ikut tersenyum. Asyik juga melihat pengantin lelaki berjongkok di depan istri. Tetapi, tak seperti yang dilakukan pengantin perempuan, si pengantin lelaki sama sekali tak mengangkat tangan menyembah istrinya. Sebelum membasuh, tidak. Usai mencuci kaki juga tidak menyembah. Sembah yang diibaratkan hormat tidak dilakukan.

Tidak ada komentar: