14 Desember 2008

Sapi dan Lim Keng



Saya tidak tahan mencium bau daging mentah direbus. Tetangga kanan, kiri, belakang, semua merebus daging, Senin (8/12). Andai kaldu itu sudah dibumbui, perut saya tak akan mual. Tetapi ini tidak. Semua hanya merebus tanpa bumbu. Perut mulai bergolak, saya memilih segera berangkat ke kantor.

Lebih aman di kantor karena tak ada bau daging. Daging sapi dan kambing hanya ada di percetakan yang jauhnya sekitar 15 menit berkendara dari kantor di Margorejo, Surabaya. Perayaan Idul Adha di kantor saya memang dipusatkan di percetakan, Rungkut. Maklum, halamannya lebih luas.

Sehari sebelum Idul Adha, di depan rumah ditambatkan seekor sapi jantan. Itu hasil urunan tujuh keluarga di sekitar rumah. Sapi yang sama sekali tidak gemuk itu diikat di tiang listrik dan pohon juwet, di tepi sungai (depan rumah saya ada sungai irigasi). Begitu banyak tangan yang ingin memanjakan sapi itu sampai-sampai dia tidak doyan rumput lagi. Semua tangan menyodorkan rumput ke mulutnya.

Saya jadi ingat pada Lim Keng. Ini sosok yang membuat saya kagum. Dia pelukis sketsa. Hampir semua lukisannya tak lepas dari sapi, perempuan Madura, dan pasar tradisional. Mestinya usia Lim Keng sekarang hampir 80 tahun.

Sapi dan pasar menjadi favorit Lim Keng. Pelukis idealis ini berhasil merekam isi pasar tradisional dengan tepat hanya lewat beberapa goresan. Yang membuat saya terkenang, bagi Lim Keng, sapi adalah satwa yang seksi. Dia kuat dengan postur meliuk. Dalam satu lukisan Lim Keng dengan porsi tepat dapat menggambarkan keseksian itu. Seekor sapi dipotret dari belakang. Di sebelahnya, perempuan Madura dengan keranjang di atas kepala juga melenggang. Keduanya memiliki kontur meliuk yang sedap dipandang.

Sapi-sapi Lim Keng juga tak selalu tambun. Beberapa lukisan digambarkan sapi kurus dengan tulang iga membayang. Tetapi keseluruhan, cantik di mata saya. Apalagi saat saya wawancarai, Lim Keng dengan senang hati mengajak saya ke lantai dua di rumah sekaligus toko kelontong yang pengap di Jl Undaan yang tak pernah sepi. Di lantai dua itu dia mau membagi rahasianya pada saya.

“Saya tak pernah menunjukkan lukisan gagal saya pada orang lain. Lukisan gagal adalah masa lalu tak perlu ditunjukkan pada orang lain,” kata Lim Keng waktu itu.
Segulungan besar kertas digelar di lantai. Apanya yang gagal? Mata saya yang minus sembilan ini menyatakan absolute untuk kecantikan sketsanya. Ini jenis lukisan yang saya suka.

“Saya gagal karena tak ada napas dalam lukisan ini. Pasar hanya digambarkan sebagai kerumunan saja,” kata Lim Keng.

Norak sekali, saya jadi bangga dianggap orang yang bisa diajak berbagi melihat lukisan gagal Lim Keng. Pelukis ini sempat mencicipi bangku ASRI (sekarang ISI) Jogja di masa 1960-an sebelum dipanggil pulang ke Surabaya. Ayah dua anak ini kemudian memilih menetap di Surabaya, di tikungan Jl Undaan, bersama seorang mbak-mbak yang menjaga toko masa lalu dan seekor anjing dengan ekor pupak.

Nah, anjing inilah yang saya rasa membuka pertemuan saya dengan Lim Keng. Saya menyapa anjing itu dengan ramah meski sebenarnya gemetar juga. Ekor anjing menunjukkan perasaan anjing itu, kata Georgina –pemilik Timmy—dalam serial Lima Sekawan, bacaan saya masa kecil. Jika anjing tak punya ekor, bagaimana saya tahu dia bisa menerima atau mengancam?

Lim Keng lalu bercerita anjing itu dibuang pemiliknya yang tega memotong ekornya. Saat ditemukan ekornya masih berdarah. Lalu dia merawat anjing itu. Wawancara yang dibuka dengan cerita anjing inilah yang melenturkan suasana, yang kemudian membuat Lim Keng mengundang saya ke lantai dua. Mungkin banyak yang juga diajak mengintip karyanya, tetapi saya tetap pede dengan kenorakan saya. Biar saja yang lain juga melihat lukisan gagal itu tetapi saya tetap menyimpan kehangatan Lim Keng saat berkisah panjang dan lebar tentang hidupnya, tentang lukisan-lukisannya yang hanya dikoleksi segelintir orang.

Sapi bagi Lim Keng adalah makhluk seksi. Bagi anak-anak tetangga saya, sapi adalah binatang ajaib. Yang biasanya hanya bisa dilihat di televisi dan buku, sekarang nyata ada di depan hidung.

Beberapa anak minta saya memotret mereka di depan sapi. Ragu-ragu mereka menyentuh tali pengikat, ada juga yang berani menyentuh punggung sapi.
“Ini apa namanya?” tanya saya pada seorang anak.

Anak berusia sekitar delapan tahun itu menjawab, “Embek.”

Waduh, embek adalah suara kambing. Masa sapi dibilang embek alias kambing? “Iya, Tante. Kan di televisi sapi punya kantong susu. Ini tidak,” katanya yakin.

Meski saya katakan sapi ini tidak punya kantong susu seperti dalam iklan susu karena ini sapi jantan, dia tetap kukuh.

“Ini embek besar,” katanya.

3 komentar:

Anonim mengatakan...

Jangankan sapi, murid saya di TK ketakutan melihat ayam. Itu pertemuannya pertama melihat ayam hidup. Ketika berkokok, dia bertambah takut. Padahal ayam goreng dia paling suka. Kasihan anak kota sekarang.

Karina Danastri Hanindita mengatakan...

Ini bu endah guru jurnalistik atau bukan?

Endah Imawati mengatakan...

Lim Keng, pelukis sketsa hitam putih ini meninggal Minggu malam (23/8/2009) di RS Darmo Surabaya. Dia wafat pada umur 74 tahun. Lim meninggal setelah dirawat hampir dua pekan karena livernya sakit.