16 Mei 2009

Saya Cantik?





Cantik, seperti apa itu? Banyak yang ngeles, cantik itu bukan fisik ukurannya tetapi inner beauty. Basi, ngomong begitu tetapi toh tetap saja ukuran fisik jadi yang utama.
Memangnya ada panitia yang mau memilih mbak penjual sate yang tiap pagi lewat di depan rumah saya, yang punya kaki datar hitam karena kebanyakan jalan sebagai finalis putri Indonesia atau kontes sejenisnya? Jangan salah, inner beauty-nya jempolan (dia selalu baik hati jika ada pembeli minta tambahan bumbu), keuletannya tak diragukan, urusan percaya diri tak perlu ditanya (dia tak pernah malu mendorong gerobak satenya).
Kalau ditodong kebisaan lain, saya bisa sebutkan, mbak sate ini punya suara bagus. Jadi seimbanglah dengan Sandra Angelia, Miss Indonesia, yang katanya suka nyanyi itu. Bagaimana tidak bagus, setiap pagi mbak sate ini olah vokal dengan sangat lantang, ”Sateeee ayam!”
Malam ini 14 pasang Cak dan Ning Surabaya 2009 berlaga menjadi yang terbaik. Ketika berkunjung ke kantor saya, Harian Surya, Rabu (13/5), para cak dan ning ini memang bening-bening. Cantik, selalu pasang senyum, dan percaya diri. Ah, lagi-lagi cantik.
Silvi, salah satu panitia Cak dan Ning 2009 mengakui tampilan fisik memang punya nilai besar. ”Tetapi bahasa Inggris, pengetahuan tentang wisata Surabaya, kepribadian juga jadi penilaian lho, Mbak,” kata Silvi saat saya wawancarai. Iseng saya lontarkan, ”Berarti saya sudah gak mungkin jadi Ning Surabaya ya. Lha fisik tidak memenuhi syarat.” Gadis bermata bulat itu cuma tertawa.
Bagi Arswendo Atmowiloto, sosok cantik itu seperti tokoh Tante Iyos dalam novel Becak Emak. Tante Iyos sekretaris yang selalu berpakaian rapi, wangi, pasang senyum, dan mampu membuat Emak cemburu.
Kalau ada yang berbesar hati mengatakan ukuran fisik bukan masalah, ah... gombal. Dia pasti tak akan menolak bila ada sosok tipikal model, artis, selebrita mendekati.
Tadi siang, Sabtu (16/5), lagi-lagi saya mengelus dada. Setelah saling diam beberapa waktu, seorang ibu berdandan sempurna dengan senyum lebar menyodorkan dua lembar kertas kecil. Isinya Bio Fit, program pengendalian berat badan. Di situ tertulis nama ibu penuh senyum itu: Tuti. ”Saya dari 50 (kg) lebih sekarang jadi 40 (kg),” katanya sambil tersenyum manis. Meski mata saya berminus tebal, saya tahu pasti angka 40 tak akan pernah mampir di tubuhnya meski dia pakai celana ketat, baju kurung yang memperlihatkan bentuk tubuh yang lebar di pinggul. ”Malu Jeng kalau badan seperti bola. Saya sekarang sudah langsing,” katanya melirik badan saya.
Saya cuma bisa tersenyum kecut dikatakan berbadan bola, sambil memasukkan dua brosur itu ke dalam tas. Dalam hati, ketika berpisah dengan Ibu Tuti, saya ingat-ingat lagi. Kapan ya suami pernah mengatakan saya cantik. Sampai habis ingatan saya, rasanya pujian cantik itu tak pernah meluncur dari mulutnya. Berarti, saya tidak cantik, dong. Duh. Tetapi dia tak pernah komplain dengan ukuran tubuh, kok, batin saya menghibur.
”Ah, yang namanya bude-bude ya memang gendut,” kata suami saya, selalu.
Syukurlah, meski itu tidak menghilangkan kecemasan: jangan-jangan memang saya ada di luar kotak berlabel cantik. Harus ada second opinion supaya saya mantap. Yang paling jujur tentu anak kecil. Keponakan saya, Gaby (2,5), pasti akan membela budenya. Bukankah selama ini dia selalu sayang pada saya? Dia juga selalu gembira jika saya datang dan mengajaknya bermain. Pasti dia ada di pihak saya, mengatakan budenya cantik.
”Gaby, Bude cantik tidak?” tanya saya.
Gaby memandang saya dengan wajah lucunya. Dia mendekatkan wajah, mencium pipi saya. Lega, dia berpihak pada saya. Sekali lagi saya tanya, ”Bude cantik gak?”
Dia memandang saya dengan mata bulat, ”Gak.”


Foto Cak dan Ning Surabaya 2009 oleh Habiburrohman.

1 komentar:

Anonim mengatakan...

Cantik kok...timbang aku, buktinya om Ir memilih diantara sejuta gadis cantik