28 Mei 2009

Wisata Lumpur






Menjual Lumpur di Atas Tanggul
Tiga Tahun Bertahan di Lumpur Lapindo

Rakyat itu tahan banting, mudah beradaptasi dengan kemiskinan. Bisa jadi itu juga dialami Puji, 40. Tukang ojek ini tiga tahun lalu menjadi buruh di pabrik rotan. Sekarang dia mengandalkan nasib baik di bibir tanggul.

Tanggul yang melingkupi semburan lumpur yang muncul sejak 29 Mei 2006, kini menjadi lahan baru bagi Puji dan lebih dari 100 tukang ojek lain. Dulu ketika menjadi buruh di pabrik rotan hanya tangan yang terampil, kini ayah dua anak ini harus pintar menjual cerita.

Tanggul raksasa seluas lebih dari 550 hektare kini menjadi area wisata lumpur. Inilah tempat ’mencangkul’ baru. Lahan ini tak terlalu subur, tetapi bagi pengojek sudah sangat lumayan. Meski rata-rata mereka masih menjual cerita tentang rumah yang tenggelam, tetapi Selasa (26/5), tak ada wajah mengiba. Para pengojek yang sekaligus menjual merchandise CD tentang semburan lumpur lebih layak disebut guide. Percaya diri dan ramah menjadi pemikat. Golnya, jika ada yang pesan ojek.

Ada dua paket yang ditawarkan. Paket pendek di tanggul selatan Rp 15.000 dan paket panjang bagi yang ingin mengitari seluruh danau lumpur, Rp 50.000. ”Bisa ditawar. Kami juga menunggu pengunjung yang ingin foto-fotoan dulu,” kata Puji, Selasa (26/5). Mereka juga bisa menjadi tukang foto dadakan untuk pengunjung yang ingin berpose.

Jarak pendek hanya butuh waktu 15 menit lengkap dengan acara pose. Jarak panjang bisa sampai 1,5 jam karena harus mengitari tanggul. Tak banyak yang mengambil paket panjang karena butuh waktu lama.

Bagi Munir dan Imam asal Malang, ini kali kedua mereka mengunjungi wisata lumpur. Setelah tahu jalur untuk melihat lumpur dari dekat tanpa harus membayar ojek dan ongkos masuk, mereka langsung menuju pos di Desa Mindi. Hanya dengan menitipkan sepeda motor, pengunjung bisa sampai di bibir tanggul.

Tak biasanya tukang ojek mendapat durian runtuh seperti Puji yang diminta mengantar paket panjang. Kholik, pengojek di sisi utara, sedang apes. Sejak pagi sepeda motornya belum distater sama sekali. Hujan semalaman hingga dini hari membuat Kholik gigit jari. Tak ada pengunjung di wisata lumpur. Baru setelah tengah hari beberapa mobil berhenti. Itu pun tak ada yang mengojek. Hanya foto-fotoan setelah itu turun. ”Kalau Minggu atau hari libur lumayan,” kata Kholik yang jika panen bisa mendapat ongkos ojek Rp 50.000.

Menurut Dja’far, Ketua Paguyuban Ojek Tanggul Lumpur, para pengojek ini bisa mendapat rezeki dari penjualan CD dan kaus. CD serempak dihargai Rp 25.000 dan kaus mulai Rp 15.000. Kualitas kausnya sesuai harga dengan warna biru dan hijau buram. Hasil penjualan dan ojek sebagian dibagi untuk mereka yang tidak dapat rezeki. Seminggu sekali mereka memasukkan Rp 1.000 untuk kas yang dipakai jika ada yang sakit atau keluarganya meninggal.

Bagi Dja’far yang pernah menjadi koordinator lapangan saat menuntut ganti rugi ke PT Minarak Lapindo Jaya, mengamati calon pembeli potensial atau pengunjung yang memanfaatkan ojek, cukup dengan melihat kendaraan yang diparkir jauh di pinggir jalan. Mereka tak terlalu bersemangat bila kendaraan yang parkir berkode S, M, D, N karena biasanya hanya menjenguk sebentar dan pulang.

”Kaha Tour, travel, rombongan dari Bali adalah pengunjung potensial. Biro perjalanan biasanya membawa wisatawan yang tak segan membeli CD dan kaus. Kalau waktunya agak banyak, mereka juga menyewa ojek bersama-sama.”

Biro travel sering mengajak orang Malaysia dan Singapura singgah. Merekalah wisatawan sesungguhnya: mau mendengarkan cerita, menikmati dahsyatnya danau lumpur, dan yang paling penting membeli CD serta mencoba ojek.

Tak heran ketika ada mobil pribadi yang bagus, mereka gembira. Yang mendapat giliran akan segera menguntit pengunjung, menjelaskan betapa rumah mereka terendam, dan dengan piawai bercerita tentang perkembangan semburan lumpur dan semburan gas berapi. Masing-masing punya cara pemikat. Seperti Dayat yang bergaya seperti pemain sinetron dengan kacamata hitam dan gaya bicara lepas. Lulusan SMK ini menurut Kholik menjadi guide yang pandai berbahasa Inggris.

”Tak ada jam khusus untuk pengojek. Biasanya teman-teman datang sepulang dari tempat kerja mereka,” kata Puji.

Saat datang, orang tak bisa lagi langsung naik tangga ke tepi tanggul teratas. Di jembatan kayu sudah ada yang menadahkan tangan. Tarif naik ke tanggul Rp 3.000. Jika datang berdua tak terasa berat. Tetapi jika satu rombongan datang, tinggal mengalikan saja. Satu bus berisi 50 orang menjadi panen raya mereka. Penarik ongkos ini tak ada hubungannya dengan tukang ojek dan penjual CD di atas tanggul.

”Yang saya koordinasi hanya tukang ojek di delapan pos. Mereka warga yang rumahnya terendam lumpur ini. Kami punya tanda pengenal,” kata Dja’far. Dia menambahkan, paguyubannya sangat ketat jika itu menyangkut pengunjung. Jika ada yang berani mengganggu pengunjung, Dja’far turun tangan langsung. ”Banyak yang khawatir saat naik ojek. Tetapi kami yakinkan jika wisata lumpur ini adalah sumber penghasilan kami jadi harus diamankan,” kata Dja’far.

Ketika banyak keluhan tentang cara menarik ongkos masuk yang kasar, tarif parkir yang gila-gilaan (mobil Rp 5.000 dan bus Rp 20.000), membuat pihak Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS) menutup wisata lumpur enam bulan lalu. Dengan pembicaraan alot akhirnya BPLS mau membuka lagi wisata lumpur dengan catatan tak ada lagi keluhan pengunjung.

Bagi Puji, Dja’far, Kholik, dan yang lain, menuntut ganti rugi tetap dilakukan. Tetapi urusan perut tak mungkin diabaikan. Puji mengajak melihat ke sisi utara. ”Saya tunjukkan pabrik rotan tempat saya dulu kerja. Sekarang tinggal gentingnya,” kata Puji. Dengan terampil dia mengendalikan kendaraan. Jalanan becek bekas hujan ditambah mobil dan truk yang lewat membuat sport jantung saat menyisir tanggul. Berkali-kali saya nyaris terbanting. Tak berani berpegangan pada tukang ojek, hanya mengandalkan keseimbangan tubuh. Ah, inilah wisata lumpur.

Foto: saya yang motret.
- Semburan lumpur masih mengepul di danau lumpur.
- Tangga dua tingkat. Jauh di bawah sana jalur utama Surabaya-Malang yang biasanya macet. Di tangga terbawah, pengunjung dikenai Rp 3.000.
- Lumpur masih menyisakan kecantikan. Bunga liar ini saya namakan bunga lumpur.
- Dayat (berkacamata hitam) dan Kholik.

1 komentar:

U'lia mengatakan...

Bunga Lumpur....nama yang menarik...
walau kondisi kurang mendukung...
ternyata kehidupan tetap berlangsung!!

bunga lumpur dan RAKYAT sama KUAT....
tidak habis walau terkikis...

Sudut gambar yang sangat indah...seakan-akan
bunga....nampak seperti gambar pertama
menikmati? mengamati? menangisi? lumpur di depannya......