27 Desember 2009

Istana Anak-anak






Sejak pagi sudah sepakat untuk tidak kemana-mana. Selagi libur, ingin menikmati rumah. Biasanya rumah hanya untuk singgah. Dalam 24 jam sehari, paling-paling ada di rumah tujuh jam. Pulang larut malam, menyelesaikan tugas dan makalah atau buku, tidur. Bangun subuh dan gubrak-gubrak-gubrak pukul 07.00 WIB berangkat. Seminggu dua kali bahkan nunut suami berangkat pukul 06.00 WIB.

Hei… apa fungsi rumah?

Yang jelas, di sinilah saya merasa menjadi bagian dari tetangga meski tak tiap hari bertemu mereka. Paling-paling cuma tahu ada beberapa bapak yang menikmati malam di pos depan rumah. Itu pun saya tak pernah menyapa wong memang mata saya tidak bisa melihat siapa yang ada di sana. Kalau sudah begini saya mengandalkan telinga untuk mendeteksi siapa saja yang tengah berbincang-bincang.

Sejak dua minggu lalu, di depan rumah –pinggir sungai—diratakan. Di sana dipasang paving sehingga menjadi lapang dan bersih. Baru hari ini saya menikmati lahan baru ini. Awalnya, Pak Keket dan Mbak Anik –tetangga sebelah—punya ide meluaskan lahan yang dipaving karena sudah ada tiga petak yang diratakan. Saya sih setuju-setuju saja apalagi masih ada pasir dan batu bata sisa renovasi rumah kecil-kecilan.

Saya yang membeli paving dan membayar pak tukang, Mbak Anik yang menego tukang dan akhirnya dia juga yang ngopeni pak tukang dengan makan-minum. Saya? Ngopeni diri sendiri saja kelabakan apalagi harus ngopeni tukang. Nego sederhana pun jadi. Bahkan Pakde, pak tukang senior, langsung mengukur tanah dengan ranting untuk menentukan paving yang harus saya beli. Paving datang, beres.

Pengerjaannya mengingatkan saya pada Roro Jonggrang. Selepas Maghrib, Pakde dan dua tukang yunior langsung meratakan tanah. Saya hanya tahu tanah di pinggir sungai depan rumah itu sudah rata ketika pulang sekitar pukul 23.00 WIB.

Esok malamnya, paving dipasang. Pak Keket memberikan kayu bengkirai bekas blandar teras dan beli semen. Kayu keras ini menjadi dingklik panjang. Hari ketiga semuanya beres. Mereka bekerja tanpa disentuh matahari. Bukan karena ini ritual pesugihan tetapi karena pagi hingga sore mereka harus mengerjakan rumah tetangga.

Nah, sekarang Sabtu (26/12) –meski tulisan ini diunggah dini hari Minggu (27/12)—saya thenguk-thenguk menghadap sungai yang airnya mengalir deras. Di seberang sungai, glagah tumbuh tinggi. Glagah ini menjadi tempat ayunan burung-burung liar. Burung-burung ini begitu genitnya. Jika ada geluduk alias guruh, mereka semburat beterbangan untuk kembali hinggap. Begitu seterusnya. Sayangnya, saya begitu terkesan melihat mereka terbang hingga hanya satu jepretan kamera yang bisa menangkap burung yang buyar itu.

Lahan baru ini langsung menjadi tempat bermain baru bagi anak-anak. Mereka menirukan Benteng Takeshi dan Ninja Warrior di televisi. Rintangannya mulai dari menggelantung di dahan mangga, memanjat batang terendah dan meloncat turun, meloncati bangku, meniti batu bata, (dengan bandelnya) berjalan di atas dua kursi-meja taman, hingga meniti dingklik baru, dan kemudian bergegas membunyikan bel sepeda.

Suara mereka selalu ramai. Saya selalu menikmati gembira mereka dari rumah, sambil menyelesaikan editan buku atau mengerjakan tugas ketika libur Sabtu. Tetapi ada juga acara favorit mereka di lahan itu: upacara.

Yang ini benar-benar upacara. Ada MC, pengibar bendera (tanpa bendera), dirigen, inspektur upacara, petugas pembaca doa, petugas pembaca Pembukaan UUD 1945, dan... ada peserta upacara. Suara MC mirip dengan pemandu acara ketika upacara 17 Agustus di Istana Merdeka. Inspektur upacaranya benar-benar dipilih yang paling senior di antara anak-anak. Inspektur upacara ini bahkan juga memberi sambutan upacara yang dulu selalu membuat saya memilih pura-pura pingsan supaya bisa leyeh-leyeh di UKS hingga guru curiga karena setiap upacara saya pingsan.

Nah, dirigennya ini yang asyik. Dia benar-benar memimpin beberapa peserta upacara (biasanya anak-anak yunior banget) untuk menyanyi. Gayanya meyakinkan. Yang menyanyi juga serius. Kadang-kadang acara menyanyi ini dilanjutkan dengan menyanyi bebas. Benar-benar bebas karena lagunya bisa dari ST12, d’Massive, Afgan, Duo Virgin, pokoknya sesuka yang memimpin. Biasanya setelah menyanyi-nyanyi ini upacara otomatis buyar, diganti dengan ’karaoke’ bersama. Seru.

Saya sering perhatikan, selalu ada anak yang ingin menonjol. Selalu ada anak yang ingin jadi pemimpin terus, sebaliknya ada juga anak yang cenderung jadi pengikut. Inilah enaknya mata dewasa melihat mereka. Saya senang karena lahan di depan rumah menjadi istana untuk mereka. Istana bermain anak-anak.

Lahan baru ini memang tidak dimaksudkan untuk siapa-siapa. Jika ada anak-anak yang memakainya untuk bermain, saya senang sekali. Lahan ini juga bukan milik saya karena memang tanah developer. Semuanya jadi bersih karena Mbak Indi –mbak di rumah Pak Keket—yang rajin menyapu. Bahkan kemarin Pak Keket yang menyapu dan saya yang thenguk-thenguk. Saya kurang ajar banget, ya. Hehe.

Pohon mangga besar di depan rumah dulunya memang dibeli agar setiap rumah punya pohon mangga sehingga tidak saling kemecer melihat mangga tetangga. Mangga manalagi di depan rumah de jure memang atas nama saya tetapi de facto ini milik para mbak yang bekerja di rumah Mbak Anik. Merekalah yang menyapu dan membersihkan daun-daunnya. Ketika panen raya, mereka juga yang sebenarnya berhak meski kemudian semua mangga dibagi rata untuk seluruh tetangga.

Lahan di depan rumah menjadi perpanjangan halaman yang memang sempit. Saya senang glagah tumbuh tinggi menutupi rumah-rumah baru jauh di seberang sungai. Dengan glagah tinggi, pemandangan tetap seperti di pinggiran kota. Saya yakin para burung genit itu sepakat, juga nyambik alias biawak yang sering muncul di antara rimbunnya semak di seberang sana.

Foto-foto: saya yang motret.
Foto 1. Istana bermain untuk anak yang nyaman dipakai leyeh-leyeh. Saat istimewa bertemu tetangga.
Foto 2. Pohon mangga ini ditanam 15 tahun lalu. Saat panen raya, semua mendapat bagian.
Foto 3. Selagi mau, memotong tunas anggrek, ditempelkan di pakis, diikat di pagar.
Foto 4. Capung berpegang erat-erat ketika angin bertiup kencang. Mendung tebal siap menumpahkan air hujan.

Tidak ada komentar: