28 Desember 2009

Ramalan Kiamat 2012, Bantahan Doomsday Meluncur (2)

Kamis, 19 November 2009
(Telat mengunggah. Ini dimuat di Harian Surya pada tanggal di atas.)

Awalnya buku tentang Kiamat 2012 adem-ayem penjualannya. Tetapi begitu Kiamat 2012 Investigasi Akhir Zaman karya Lawrence E Joseph terbitan PT Gramedia Pustaka Utama (GPU) laris, ajaibnya, hampir selusin buku dengan tema sama langsung terpajang di toko buku.

Keingintahuan tentang film 2012 membuat tiket di bioskop jadi barang langka. Bahkan kemarin, tiket untuk menonton di Surabaya hingga midnight sudah dipesan habis. Ini berimbas juga pada rasa ingin tahu melalui buku.

Di luar buku terbitan GPU, sejumlah buku serupa juga mulai diburu. Penerbit A+plus, Pustaka Salomon, Edelweis juga mengeluarkan buku bernapas sama. Satu penerbit bisa mengeluarkan beberapa buku sekaligus dengan tema serupa. Bahkan penerbit A+plus yang mengeluarkan End of Times 2012 yang baru diluncurkan pertengahan tahun ini, sudah dicetak kali kedua Agustus 2009.

Lebih hebat lagi buku Kiamat 2012 dari penerbit yang sama. Buku yang ditulis Salman Alfarizi ini bahkan sudah lima kali cetak ulang sejak Mei 2009. Berarti setiap bulan penerbit ini mencetak ulang.
Isi buku-buku ini juga beragam. Buku-buku ini menyodorkan fenomena alam, ilmu pengetahuan, hingga merakit informasi dari berbagai situs di internet. Daftar pustaka dalam sebuah buku yang isinya 131 halaman mencantumkan 40 sumber. Sebagian besar diambil dari internet dan hanya 13 sumber yang diambil dari koran dan dua buku.
Saat ini penerbit Mizan tak mau ketinggalan, siap bersaing dengan buku yang sudah lebih dulu meluncur. Mizan mengeluarkan Doomsday 2012.

Di 33 toko buku jaringan Toga Mas, penjualan buku-buku di luar buku GPU terbilang laris. Johan Budi Sava, CEO Toga Mas, mengaku jika buku tentang kiamat 2012 ini memang belum semeledak Harry Potter, Ketika Cinta Bertasbih, atau Twilight.

”Angkanya baru mencapai 1.000 eksemplar tetapi ini baru saja terbit dan beredar. Diperkirakan penjualan naik pesat hingga film usai diputar,” kata Johan di Malang, Rabu (18/11). Perhitungan Johan, seperti penjualan buku lain yang didukung filmnya, buku tentang kiamat ini masih punya ‘nyawa’ panjang.

Asnani, 23, yang ditemui di Royal Plaza Surabaya menenteng dua buku tentang kiamat 2012 terbitan Aplus. ”Saya mencari Kiamat 2012 Investigasi Akhir Zaman terbitan GPU, tetapi sejak kemarin tidak ada. Bukunya habis. Daripada tidak membaca, saya ambil buku lain yang temanya sama,” kata mahasiswa Universitas Airlangga ini kemarin.

Peluang kekosongan buku dari satu penerbit yang tengah dicari-cari menjadi peluang bagi penerbit lain untuk menyodorkan buku serupa. ”Selalu saja jika ada buku laris, tak lama kemudian akan muncul buku yang mirip,” kata Johan.

Seperti biasa juga, buku tandingan sudah siap mencuri perhatian. Saat ini kelompok penerbit Kanisius Jogjakarta tengah menyiapkan buku bantahan tentang kiamat yang diramalkan suku Maya di Guatemala akan berlangsung 2012 itu. Penulis yang juga astronom dari Bandung, A Gunawan Admiranto, siap menandingi ramalan itu dengan bukunya Kiamat 2012 Omong Kosong.

Menikmati Gurihnya Buku ‘Akhir Zaman’ (1)

Rabu, 18 November 2009
(Telat mengunggah. Ini dimuat di Harian Surya pada tanggal di atas.)

Bangsa Maya kuno yakin tanggal 21/12/12 adalah zaman baru, dalam fakta vital sekaligus dalam perhitungan kalender. Mereka percaya tanggal ini paling sakral, paling berbahaya, sekaligus paling menguntungkan.

Bangsa Maya terobsesi pada waktu. Selama berabad-abad mereka menciptakan paling tidak 20 kalender, disesuaikan dengan berbagai siklus mulai dari kehamilan hingga panen, dari bulan hingga Venus yang orbitnya dikalkulasi dengan sangat akurat, hanya selisih satu hari dalam 1.000 tahun.

Lawrence E. Joseph datang ke Guatemala menemui dua bersaudara Carlos dan Gerardo Barriors, dukun suku Maya dari Guatemala untuk mengevaluasi kepercayaan dan prediksi itu. Meski Lawrence banyak dituding membuat onar karena membagi keingintahuannya tentang astronomi suku Maya, dia dengan tegas menyatakan bukan penggila bencana meski ramalan suku Maya menyatakan bencana besar akan terjadi karena bumi ini sudah makin tua.

Ketika dicetak Oktober 2008, buku Kiamat 2012 Investigasi Akhir Zaman karya Lawrence E. Joseph terbitan PT Gramedia Pustaka Utama (GPU) disambut hangat. Dalam tempo dua bulan, buku ini sudah dicetak ulang. Untuk buku seharga Rp 50.000, ini termasuk laris manis. Apalagi awal tahun ini sudah beredar informasi bahwa film 2012 yang diangkat dari buku ini akan dirilis.

Tak perlu menunggu lama, buku dicetak untuk kali ketiga April 2009. Hanya butuh tiga bulan untuk menembus kriteria buku sangat laris. ”Makin mendekati peredaran film, buku pun makin diburu,” kata Yulie Dwi Kurniasari dari GPU. Perburuan buku ini di toko buku Gramedia di Royal Plaza Surabaya sudah dimulai dua bulan yang lalu. Bahkan Selasa (18/11) seluruh persediaan Kiamat 2012 Investigasi Akhir Zaman ludes.

Isu pemanasan global ikut mendongkrak minat orang pada buku ini. Menurut M.A. Hary Puspadewi, Kepala Toko Buku Gramedia Matos, Malang, dalam waktu sebulan bukunya sudah terjual lebih dari 100 eksemplar. ”Minat orang makin tinggi karena isu pemanasan global dan ketika filmnya diputar,” kata Dewi. Diperkirakan booming buku ini masih cukup tinggi karena filmnya juga masih terus diputar.

Yang ingin menikmati gurihnya penjualan buku yang berhubungan dengan ramalan 2012 ini cukup banyak. Paling tidak, ada enam penerbit yang mengeluarkan buku serupa. Yang tampak di toko buku antara lain End of Times 2012, Fakta-fakta Menjelang Kiamat 2012, Kiamat 2012, Kiamat 2012: Heboh Seputar Ramalan, Kontroversi Kiamat 2012, dan lain-lain. Dengan memasang harga Rp 26.000 hingga Rp 50.000 buku-buku ini dicari.

Bagaimana tidak, menurut Ignatius Ariyanto dari GPU, Kiamat 2012 Investigasi Akhir Zaman yang dicetak 25.000 eksemplar sudah terjual 24.000 buku. ”Memang, buku ini masih kalah jauh dari The Secret yang tetap menjadi jawara dengan cetak ulang 20 kali dan terjual lebih dari 100.000 eksemplar,” kata Ariyanto.

Salah satu buku yang juga banyak dicari, End of Times 2012 terbitan APlus, berusaha menerjemahkan mitos ini dengan dalil-dalil sains. Penulisnya, Sutan Surya, mengklaim bukunya merupakan komparasi, informasi fakta, dan data dari ramalan itu. Hampir tidak ada lagi bidang yang kosong dari ramalan, prediksi, dan keyakinan maupun sekadar pendapat tentang bencana besar yang akan terjadi.

Surya menulis tentang Bumi yang kini berumur sekitar 4,54 biliun tahun. Buku ini merasionalkan ramalan yang disodorkan suku Maya, antara lain tentang tsunami Aceh dan Sumatera Utara, 26 Desember 2004.

Ketika semua orang ribut membicarakan berbagai kemungkinan setelah menonton film 2012, Lawrence dalam bukunya justru menyatakan tidak percaya jika dunia akan berakhir pada 2012. Dia juga tidak yakin akan terjadi kekacauan besar akibat bencana nuklir habis-habisan berskala Perang Dunia III atau tumbukan meteor seperti yang diyakini telah memusnahkan dinosaurus.

”Sebagai ayah dua anak kecil yang manis, saya tidak sanggup meyakini hal semacam itu. Tidak sanggup menghadapi kemungkinan bahwa semua orang dan segala hal yang pernah disayangi pun bisa musnah,” kata Lawrence dalam bukunya.

Dia menambahkan, saat ini yang dilakukannya adalah mengumpulkan fakta dan mempresentasikan bukti yang dibutuhkan untuk mengungkap realitas 2012.

27 Desember 2009

Istana Anak-anak






Sejak pagi sudah sepakat untuk tidak kemana-mana. Selagi libur, ingin menikmati rumah. Biasanya rumah hanya untuk singgah. Dalam 24 jam sehari, paling-paling ada di rumah tujuh jam. Pulang larut malam, menyelesaikan tugas dan makalah atau buku, tidur. Bangun subuh dan gubrak-gubrak-gubrak pukul 07.00 WIB berangkat. Seminggu dua kali bahkan nunut suami berangkat pukul 06.00 WIB.

Hei… apa fungsi rumah?

Yang jelas, di sinilah saya merasa menjadi bagian dari tetangga meski tak tiap hari bertemu mereka. Paling-paling cuma tahu ada beberapa bapak yang menikmati malam di pos depan rumah. Itu pun saya tak pernah menyapa wong memang mata saya tidak bisa melihat siapa yang ada di sana. Kalau sudah begini saya mengandalkan telinga untuk mendeteksi siapa saja yang tengah berbincang-bincang.

Sejak dua minggu lalu, di depan rumah –pinggir sungai—diratakan. Di sana dipasang paving sehingga menjadi lapang dan bersih. Baru hari ini saya menikmati lahan baru ini. Awalnya, Pak Keket dan Mbak Anik –tetangga sebelah—punya ide meluaskan lahan yang dipaving karena sudah ada tiga petak yang diratakan. Saya sih setuju-setuju saja apalagi masih ada pasir dan batu bata sisa renovasi rumah kecil-kecilan.

Saya yang membeli paving dan membayar pak tukang, Mbak Anik yang menego tukang dan akhirnya dia juga yang ngopeni pak tukang dengan makan-minum. Saya? Ngopeni diri sendiri saja kelabakan apalagi harus ngopeni tukang. Nego sederhana pun jadi. Bahkan Pakde, pak tukang senior, langsung mengukur tanah dengan ranting untuk menentukan paving yang harus saya beli. Paving datang, beres.

Pengerjaannya mengingatkan saya pada Roro Jonggrang. Selepas Maghrib, Pakde dan dua tukang yunior langsung meratakan tanah. Saya hanya tahu tanah di pinggir sungai depan rumah itu sudah rata ketika pulang sekitar pukul 23.00 WIB.

Esok malamnya, paving dipasang. Pak Keket memberikan kayu bengkirai bekas blandar teras dan beli semen. Kayu keras ini menjadi dingklik panjang. Hari ketiga semuanya beres. Mereka bekerja tanpa disentuh matahari. Bukan karena ini ritual pesugihan tetapi karena pagi hingga sore mereka harus mengerjakan rumah tetangga.

Nah, sekarang Sabtu (26/12) –meski tulisan ini diunggah dini hari Minggu (27/12)—saya thenguk-thenguk menghadap sungai yang airnya mengalir deras. Di seberang sungai, glagah tumbuh tinggi. Glagah ini menjadi tempat ayunan burung-burung liar. Burung-burung ini begitu genitnya. Jika ada geluduk alias guruh, mereka semburat beterbangan untuk kembali hinggap. Begitu seterusnya. Sayangnya, saya begitu terkesan melihat mereka terbang hingga hanya satu jepretan kamera yang bisa menangkap burung yang buyar itu.

Lahan baru ini langsung menjadi tempat bermain baru bagi anak-anak. Mereka menirukan Benteng Takeshi dan Ninja Warrior di televisi. Rintangannya mulai dari menggelantung di dahan mangga, memanjat batang terendah dan meloncat turun, meloncati bangku, meniti batu bata, (dengan bandelnya) berjalan di atas dua kursi-meja taman, hingga meniti dingklik baru, dan kemudian bergegas membunyikan bel sepeda.

Suara mereka selalu ramai. Saya selalu menikmati gembira mereka dari rumah, sambil menyelesaikan editan buku atau mengerjakan tugas ketika libur Sabtu. Tetapi ada juga acara favorit mereka di lahan itu: upacara.

Yang ini benar-benar upacara. Ada MC, pengibar bendera (tanpa bendera), dirigen, inspektur upacara, petugas pembaca doa, petugas pembaca Pembukaan UUD 1945, dan... ada peserta upacara. Suara MC mirip dengan pemandu acara ketika upacara 17 Agustus di Istana Merdeka. Inspektur upacaranya benar-benar dipilih yang paling senior di antara anak-anak. Inspektur upacara ini bahkan juga memberi sambutan upacara yang dulu selalu membuat saya memilih pura-pura pingsan supaya bisa leyeh-leyeh di UKS hingga guru curiga karena setiap upacara saya pingsan.

Nah, dirigennya ini yang asyik. Dia benar-benar memimpin beberapa peserta upacara (biasanya anak-anak yunior banget) untuk menyanyi. Gayanya meyakinkan. Yang menyanyi juga serius. Kadang-kadang acara menyanyi ini dilanjutkan dengan menyanyi bebas. Benar-benar bebas karena lagunya bisa dari ST12, d’Massive, Afgan, Duo Virgin, pokoknya sesuka yang memimpin. Biasanya setelah menyanyi-nyanyi ini upacara otomatis buyar, diganti dengan ’karaoke’ bersama. Seru.

Saya sering perhatikan, selalu ada anak yang ingin menonjol. Selalu ada anak yang ingin jadi pemimpin terus, sebaliknya ada juga anak yang cenderung jadi pengikut. Inilah enaknya mata dewasa melihat mereka. Saya senang karena lahan di depan rumah menjadi istana untuk mereka. Istana bermain anak-anak.

Lahan baru ini memang tidak dimaksudkan untuk siapa-siapa. Jika ada anak-anak yang memakainya untuk bermain, saya senang sekali. Lahan ini juga bukan milik saya karena memang tanah developer. Semuanya jadi bersih karena Mbak Indi –mbak di rumah Pak Keket—yang rajin menyapu. Bahkan kemarin Pak Keket yang menyapu dan saya yang thenguk-thenguk. Saya kurang ajar banget, ya. Hehe.

Pohon mangga besar di depan rumah dulunya memang dibeli agar setiap rumah punya pohon mangga sehingga tidak saling kemecer melihat mangga tetangga. Mangga manalagi di depan rumah de jure memang atas nama saya tetapi de facto ini milik para mbak yang bekerja di rumah Mbak Anik. Merekalah yang menyapu dan membersihkan daun-daunnya. Ketika panen raya, mereka juga yang sebenarnya berhak meski kemudian semua mangga dibagi rata untuk seluruh tetangga.

Lahan di depan rumah menjadi perpanjangan halaman yang memang sempit. Saya senang glagah tumbuh tinggi menutupi rumah-rumah baru jauh di seberang sungai. Dengan glagah tinggi, pemandangan tetap seperti di pinggiran kota. Saya yakin para burung genit itu sepakat, juga nyambik alias biawak yang sering muncul di antara rimbunnya semak di seberang sana.

Foto-foto: saya yang motret.
Foto 1. Istana bermain untuk anak yang nyaman dipakai leyeh-leyeh. Saat istimewa bertemu tetangga.
Foto 2. Pohon mangga ini ditanam 15 tahun lalu. Saat panen raya, semua mendapat bagian.
Foto 3. Selagi mau, memotong tunas anggrek, ditempelkan di pakis, diikat di pagar.
Foto 4. Capung berpegang erat-erat ketika angin bertiup kencang. Mendung tebal siap menumpahkan air hujan.