29 Juli 2011

Tarif Dolar Membuat Keder




Gerbang Ujung Jawa Timur (1)

Bahkan hingga nyempil ke sudutnya, Banyuwangi seperti magnet. Pantai Plengkung membuktikan itu. Setiap tahun 400-600 wisatawan asing berselancar di pantai yang bisa disebut G-land itu. Sayangnya, jalur yang dilewati bukan melalui Banyuwangi melainkan dari Kuta, Bali, melalui jalur laut.

Jalur darat sebenarnya bisa dilewati dari Taman Nasional Alas Purwo. Hutan seluas 62.000 hektare dengan 40 persen hutan bambu menjadi jalur yang eksotis sekaligus menantang. “Jika potensi itu bisa dikembangkan, Banyuwangi akan menjadi pusat wisata yang luar biasa,” ungkap Suprayogi, Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Banyuwangi.

Perjalanan dari gerbang Alas Purwo hingga Plengkung sekitar 15 km yang ditempuh 4-5 jam. Tantangan pertama adalah kondisi jalan yang membuat seisi mobil tidak akan pernah duduk tenang. Jalan yang dilewati memang seperti lahan off road. Apalagi setelah Pos Pancur, gerbang menuju Plengkung. Meski tinggal tujuh kilometer, waktu yang dibutuhkan paling cepat satu jam. Di Pos Pancur ini sebaiknya kendaraan pengunjung diparkir dan menyewa kendaraan pengelola kawasan itu. Tarifnya Rp 150.000. Kondisi jalan memang sanggup membuat onderdil mobil rompal.

Jalur yang sulit ditempuh dari darat itu membuat wisatawan memilih jalur Kuta yang hanya dua jam. Akibatnya, Banyuwangi tidak mendapat cipratan rezeki, padahal wilayah itu sangat potensial dikembangkan. Jalur yang dibuat beberapa tahun lalu tidak lagi memadai. Hanya kendaraan bergardan ganda (double gardan) atau four-wheel drive (4wd) yang sanggup menaklukkan jalan di Alas Purwo.

Tuti Harjuni, pengelola Joyo’s Camp, salah satu resort di Plengkung, mengatakan bahwa jalur darat yang sulit ditempuh membuat wisatawan lokal enggan datang. “Satu-satunya jalur lewat Kuta. Itu berarti mereka harus dari Bali. Padahal, potensi wisatawan lokal juga besar,” kata Tuti di resort-nya yang dibangun dengan material kayu dan anyaman bambu ini, Minggu (1/5/2011).

Maklum, wisatawan lokal biasanya menginginkan jalur mulus dan mudah ditempuh dengan kendaraan pribadi. Saat ini sedang direncanakan membuat rel kereta wisata dari Pos Pancur ke Pantai Plengkung. Pengunjung memarkir kendaraan di Pos Pancur dan diangkut dengan kereta wisata. Fasilitas transportasi yang memadai menjadi senjata andalan untuk merayu wisatawan asing dan lokal.

“Jika rel itu segera diwujudkan, wisata di Plengkung akan makin ramai sepanjang tahun,” kata Tuti. Wisatawan asing yang mencari tujuh gulungan ombak setinggi enam meter untuk berselancar hanya datang sekitar Mei—November. Setelah itu sepi. Mereka hanya menunggu ombak besar. Jika dalam paket menginap di Joyo’s Camp yang biasanya sepekan ternyata cuaca tidak mendukung dan tidak ada ombak besar, pengelola mengembalikan setengah paket. Setengah paket itu berupa voucher yang bisa digunakan ketika mereka datang lagi.

Tidak heran, para peselancar itu sangat akrab dengan pengelola Joyo’s Camp. Mereka bangga dipanggil dengan sebutan ‘mas’ atau ‘mbak’. Percakapan pun bercampur dengan bahasa Indonesia dan bahasa Jawa. “Di sini mereka diterima sebagai keluarga. Kami memanjakan dengan urusan makan karena mereka butuh energi banyak untuk berselancar,” kata Tuti.

Yang membuat wisatawan lokal keder selain jalur adalah tarif. Tarif diberlakukan dalam dolar AS. Empat resort di Plengkung yang rata-rata menetapkan tarif sekitar 200 dolar AS dan dijual dalam paket sepekan dan tiga hari. Itu sudah termasuk jemput-antar ke Kuta.

“Jika potensi itu bisa dikembangkan, Banyuwangi akan menjadi pusat wisata yang luar biasa,” ungkap Suprayogi, Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Banyuwangi.
Tentu saja itu membuat wisatawan lokal berpikir keras meski sebenarnya ada tempat menginap di Triangulasi, di Alas Purwo, dengan tarif rupiah. Di sana, pantainya sama-sama indah. Apalagi pengunjung bisa berjalan kaki ke Sadengan melihat kawanan banteng merumput dan ke Ngagelan melihat tukik penyu dilepaskan.

Bukan hanya selancar di pantai, di Alas Purwo ini juga ada selancar hati. Ada banyak tempat untuk bertapa, ada pura, ada petilasan yang dianggap wingit. Yang pasti, di Alas Purwo ini ada peraturan yang harus ditaati: jangan tinggalkan apa pun kecuali telapak kaki dan jangan mengambil apapun kecuali foto. end

Catatan
Saya bersemangat mengikuti perjalanan ini. Beberapa tahun yang lalu Bapak (alm.) ikut membuka jalur Alas Purwo hingga Plengkung. Ketika membuka jalur, demonstrasi dari kelompok pecinta alam marak. Bapak menghadapi mereka. Salah satunya ternyata teman ketika menggarap proyek jalan raya di Denpasar.

Dua minggu sekali Bapak datang ke rumah, di Sidoarjo. Suatu kali Bapak datang dengan membawa kayu sepanjang sekitar 1,5 meter. Menurut ceritanya, kayu itu didapat dari orang yang usai bertapa di Alas Purwo. Waktu itu Bapak mendapat kiriman makan siang. Melihat orang itu kelaparan, nasi jatahnya diberikan. Pertapa itu kemudian memberi batang kayu itu. Hm… sampai sekarang sepertinya kayu itu masih ada di rumah.

Hik… jadi kepingin nangis karena ingat Bapak.

Yang menarik, ketika saya bercakap-cakap dengan pejabat hutan, ia dengan keras menyatakan bahwa proyek itu belum usai. “Seharusnya ada 28 jembatan yang dibangun, tetapi hanya 27 yang direalisasikan,” katanya getas. Saya mengangguk-angguk. Tentang jembatan itu Bapak dulu bercerita bahwa ada orang berpengaruh yang menginginkan jalur ke Plengkung tidak melewati jembatan itu melainkan menyisir pantai supaya ada kawasan cottage yang dilewati. Yang ini memang harus konfirmasi lagi. Akan tetapi, bagaimana caranya konfirmasi pada Bapak yang sekarang sudah tenang di alam sana.


Tulisan ini dimuat di Harian Surya, 3 Mei 2011

Tidak ada komentar: