19 Juni 2009

Melewati Ringin Kembar



Berkali-kali ke Jogjakarta, tak pernah tergoda mencoba melewati ringin kembar di Alun-alun Kidul. Kurang kerjaan apa, menutup mata sambil berjalan berusaha masuk di antara dua beringin besaaaar itu.

Apalagi cerita yang beredar cukup membuat syereem. Hanya orang tertentu yang bisa melewati dua beringin itu. “Sudah banyak pakar ilmu matematika yang mengotak-atik kemungkinan melewati dua ringin itu. Dihitung jarak, diukur, jumlah langkah, bahkan dicoba menarik garis lurus tetapi tak pernah bisa melewatinya,” kata Pak Wahyu, sopir dari persewaan mobil Adira, yang mengantar berkeliling Jogja, Sabtu (6/6).

Hmmm… masih banyak cerita tentang kegagalan melewati ‘gang’ beringin itu meski jarak antara dua beringin itu bisa dipakai parkir tiga mobil sekaligus. Diyakini, mereka yang bisa masuk di antara dua ringin itu, permintaannya akan dikabulkan.

Saya jaim ketika Febta, Putri Lingkungan dari Malang, kepingin. Si Cantik ini antusias sekali mencoba. Melihatnya sangat berharap, akhirnya kami –para pinisepuh, haha—mengantarkan. Febta menutup mata dan berjalan yakin. Eh... tiba-tiba dia melenceng ke kanan, gedubrak... menabrak pagar beringin. Gagal. Dicoba lagi, melenceng lagi ke kanan. Gagal lagi.

Andy dari Radar Malang ikut mencoba. Sekali coba, melenceng. Dua kali, telanjur melek dan dianggap batal. Baru pada usaha ketiga dia bisa melewati. Itu pun dia mengaku agak mengintip karena hampir tersandung. Akhirnya dia bisa.

Seorang bapak muda mencoba. Matanya ditutup kain hitam. Dengan mantap dia melangkah, eh melenceng ke kanan. Dicoba lagi, sekarang malah melenceng ke kiri.

Saya amati dari pagar pendek di depan keraton, ada satu pola di alun-alun itu. Alun-alun berumput ini tampak botak pada titik tertentu dan terus membotak pada jalur ke kanan sampai di pojok luar beringin di sebelah kanan. Saya pikir, berarti pada tempat tertentu orang mulai kehilangan orientasi langkah dan mulai berbelok. Kalau sampai botak artinya sangat banyak yang masuk jalur salah yang seperti memanggil itu. Padahal di jalur yang melenceng ke kiri, rumput memang tipis tapi tak sampai botak.

Bapak muda ini tertawa-tawa setelah tahu gagal. Istrinya ikut mencoba. Mata ditutup dan mulai berjalan. Tepat di titik persimpangan dia tiba-tiba balik kanan seperti pasukan berbaris dan kembali ke tempat semula. Suami dan dua anaknya tertawa geli. Kami yang melihat ikut tergelak.

Nek badhe pados guyu nggih ten ngriki,” kata penjual kacang rebus di depan Sasono Hinggil, keraton. (Kalau ingin mencari gembira, tertawa, di sini tempatnya.)

Kali ini suami-istri itu sama-sama ditutup matanya. Mereka bergandengan dan mencoba saling menguatkan supaya bisa melewati ringin kembar. Mantap... langsung belok kiri bahkan sebelum sampai di titik persimpangan, sampai di tempat orang memasang tenda untuk acara esok hari. Huehehe. Sekarang anak lelakinya mencoba. Ditutup mata, berjalan cepat terus... sampai ke tengah-tengah ringin. Sukses.

”Anak-anak di bawah 12 tahun selalu bisa melewati ringin kembar,” kata ibu yang menyewakan penutup mata. Satu penutup mata Rp 3.000. Entah apa ukurannya dengan angka 12 itu. Mungkin lulus SD atau sudah sunat ya. Padahal gak ada hubungannya.

Bu Aida dari Pikiran Rakyat, Bandung, awalnya tak mau juga. Tetapi si ibu yang punya banyak pengalaman dengan makhluk lain ini mau juga. Dia berjalan setelah berdoa. Berjalan terus dan masuk di antara dua beringin. Sukses! Lamat-lamat terdengar orang-orang di depan keraton bertepuk tangan.

Pak Sulhi dari Intisari, Jakarta, keukeuh menolak. Tetapi melihat Bu Aida bisa dan Mas Oki (dari Sampoerna Hijau) yang ikut aliran melencengisme ke kanan, akhirnya Pak Sulhi penasaran juga. Mata ditutup kain hitam, mungkin berdoa dulu karena sebelum melangkah dia diam agak lama untuk konsentrasi, dan mulailah berjalan. Teruuuus... berbelok ke kanan. Yang melihat mulai mesem, dan membiarkan dia terus salah jalan. Sampai akhirnya dia berhenti di dekat kambing ditambatkan. Gagal!

Ke-jaim-an saya luluh ketika Febta meminta saya ikut mencoba. Dalam hati saya menolak. Ini takhyul, saya tak mau mencoba. Tetapi melihat wajah memelas Febta yang ingin ditemani berjalan (meski sama-sama merem), saya jalan juga. Segala permintaan ampun saya panjatkan karena sebenarnya tak ingin mencicipi. Setelah itu jalan terus. Mau melenceng ke kiri atau ke kanan, ya silakan saja. Wong memang mata saya tertutup, mana saya tahu kemauan kaki. Terserah mata kaki saya.

Sambil tertawa-tawa untuk menutupi khawatir, saya jalan terus. Tiba-tiba dalam penglihatan saya di depan ada tembok putih luas. Otomatis saya berhenti dan membuka mata. Lho, kok sudah ada di antara dua beringin. Aha... sukses! Lega juga bisa memenuhi tantangan.

”Wah, bisa. Pernah mencoba?” tanya ibu yang menyewakan penutup mata.

Dereng, belum,” jawab saya.

”Jarang lho Mbak yang bisa melewati ringin kembar,” katanya lagi.

Saya meringis. Bangga? Tidak ah, cuma lega. Sebenarnya ada buku primbon yang menjelaskan mengapa dalam penglihatan muncul tembok putih, jurang, atau batu besar. Saya tidak ingin tahu.

Di mobil dalam perjalanan ke Bandara Adi Sucipto, berbagai komentar tentang ringin kembar muncul. “Berarti permintaannya bakal terkabul, Mbak,” kata Pak Sulhi.

Permintaan? Lho, iya. Saya lupa. Tadi sebelum berjalan saya tidak memasang permintaan apa-apa. Waduh, sia-sia dong acara jalan tadi. Bisa nggak ya permintaannya menyusul? Kalau bisa sih akan saya susun deretan permintaan.

Foto: saya yang motret
Febta (jongkok), Pak Sulhi, dan Bu Aida di depan Sasono Hinggil sebelum penasaran mencoba melewati ringin kembar.

1 komentar:

Literasi Baca mengatakan...

Nice writing...Jadi pengen kesana lagi... Aku juga g sempat bikin permintaan hehehe...Q da susun permintaan yang buanyak neh mbak...tinggal ksnanya ja hahahaha....