27 Juni 2009

Pijat

Ada satu ritual yang tak pernah absen jika menjenguk Ibu di Kediri. Pijat. Ada yang kurang kalau belum dipijat, ini kata suami saya. Dia memang maniak pijat. Meski tak bisa mengakui 100 persen fungsi pijat, beberapa kali saya tak bisa menghindar. Saya ingin menikmati pijat yang kata banyak orang nikmat.
Dari yang saya baca, pijat itu bisa melancarkan peredaran darah, membuat bugar, mengembalikan otot yang tegang, hingga menghilangkan capek. Nah, alasan yang terakhir ini yang biasanya membuat saya mau dipijat.
Ada beberapa pemijat yang saya kenal. Pemijat tuna netra bernama Erwin yang tinggal di perumahan dekat dengan perumahan saya, menjadi langganan suami. Katanya, pijatannya membuat badan segar. Saya pernah mengantar dan menunggui suami pijat di rumah kontrakan Erwin ini. Walah... boseeen. Hiburannya hanya mendengarkan obrolan Erwin. Dia punya segudang cerita yang sering nggedobos alias membual. Tapi sudah dua bulan ini ponselnya tak bisa dihubungi sehingga ritual pijat suami saya terputus.
Yang sekarang jadi favorit Bude Sar. Kata ibu saya, dia masih saudara jauuuh. Entah urutannya dari mana pokoknya saudara. Pijatannya ndeso, pakai diinjak segala. Kluthuk-kluthuk, ditambah dengan mantra-mantra penyembuh. Herannya, ketika belakang telinga dipijat, hidung selalu jadi tersumbat. Setelah kepala, leher, dan pundak dipijat bisa dipastikan langsung tidur. Baru melek lagi kalau paha luar ditekan.
Nah, Bude Sar ini yang selalu dipanggil jika saya ke Kediri. Sayangnya, sekarang pasiennya banyak. Dia jadi tak punya banyak waktu. Pasiennya sering menjemput dengan mobil bagus-bagus. Yah, itu kan rezekinya. Dari saya paling-paling hanya Rp 30.000 sekali dipijat ditambah segelas kopi.
Yang saya suka, Bude Sar ini selalu cerita tentang silsilah keluarga. Itu buliknya siapa, dapat suami dari mana, masih saudara dengan mbah siapa. Meski pusing membayangkan pertalian kekerabatan, tetapi saya masih bisa nyambung meski sedikit.
Pijatan Bude Sar tidak banyak berpengaruh. Pokoknya ya enak saja dinyet-nyet. Lumayanlah, komentar suami saya.
Ini berbeda dengan Bu Oscar. Bu Oscar yang tinggal beberapa blok dekat rumah saya adalah pemijat ulung. Saya tidak merasakan jari-jarinya, hanya usapannya yang membuat meringis. Dia orang Sumatera. Pijatannya sungguh membuat seluruh saraf tegang. Tetapi salah saya juga, tak bisa mengeluh meski kesakitan. Ini membuat Bu Oscar merasa pijatannya pas.
Saya memang pantang mengaduh jika itu berhubungan dengan proses menuju sehat. Disuntik, diinfus, diperiksa dalam, entah diapakan lagi, pokoknya kalau itu tahapan untuk sembuh, tak akan saya mengaduh. Nah, ini juga. Saat dipijat, saya bayangkan sesuatu yang menyenangkan. Paling-paling Bu Oscar hanya tahu dari badan yang tegang karena sakit. Pijatannya nonstop dua jam. Kadang-kadang dia berkeringat lebih banyak daripada saya.
”Badannya seperti batang pohon. Sudah berapa lama tidak pijat?” tanya Bu Oscar ketika kali terakhir saya ke sana, tahun lalu.
Ketika acara pijat selesai, saya disuruh minum air putih. Ya, glek saja. Sampai di rumah mandi air hangat, tidur. Nah... justru ketika bangun inilah puncaknya. Tadi hanya terasa sengkring-sengkring ketika dipijat. Sekarang rasanya... cekot-cekot. Benar-benar tak bisa bangun. Begitu bangun, seluruh badan rasanya bonyok. Bagaimana tidak, di pangkal lengan, paha dalam dan luar, betis, lipatan lutut, punggung, pinggang, hingga leher menghitam selebar telapak tangan. Seperti buah pepaya yang jatuh dari pohon. Lebamnya tidak biru tetapi hitam.
Selama beberapa hari tidak berani pakai sabun lama-lama. Juga harus pakai baju lengan panjang jika tidak ingin dianggap korban kekerasan dalam rumah tangga.
Setiap kali suami menyuruh pijat ke Bu Oscar karena keluhan makin sering, saya selalu panas dingin duluan. Ingat pijatannya, lebih-lebih ingat akibatnya. Bonyok.
Nah, kemarin Jumat (26/6), saya pijat lagi. Bude Sar tak bisa dan ditawarkan pemijat lain, Yu Tukini. Ini rekomendasi para bulik. Saya manut.
Jadilah saya dipijat Yu Tukini. Aduh, saya masih merasakan ujung jarinya yang runcing. Artinya, jam terbangnya belum tinggi karena bukan usapan yang saya rasakan. Benarlah, beberapa kali saya meringis karena dia tak punya trik. Biasanya jika ada yang harus dipijat dengan keras, selalu dialihkan dulu, baru kemudian bagian sumber sakit itu dipijat lagi, dialihkan, dipijat lagi sehingga sakitnya terbagi. Yang ini tidak. Pathok bangkrong, ya di tempat itu.
Hasilnya?
Paginya saya tak bisa bangun. Badan rasanya seperti digebuki. Ketika diraba, sakitnya luar biasa. Baru setelah bisa bangun, tahulah saya. Bonyok di mana-mana. Waduh, maunya cari alat mujarab penghilang capek, nyatanya malah tak bisa melek.
Mungkin benar kata seorang teman, obat ampuh untuk menghilangkan capek adalah tidur. Semua organ akan istirahat dan ketika bangun dijamin bugar.

1 komentar:

nothing mengatakan...

hahahaha, lucu..
saya juga ga senang pijat.. kecuali bojo dewe sing mijit..rasane yo mung nyet nyet wae, ga kroso ga enak..
tapi tetep nikmat wae,. di pijit bojo rasane lanang tenan hehehe