26 April 2008

Adegan-adegan yang Kena Sensor (2)

Penari Jathilan awalnya lelaki berdandan cantik. Nyaris tak ada gerakan berlebihan yang dilakukannya. Dia hanya menggoyangkan pinggung sedikit ke kiri sedikit ke kanan. Gerakan ini harus dibabat sensor.

Pisau sensor tidak hanya milik Badan Sensor Film. Buktinya, reog Ponorogo harus mengalami guntingan-guntingan dan ditempel dengan lapisan baru yang lebih “beradab” dan sopan.

Kesan sensual penari Jathilan lelaki seperti yang selalu muncul pada reog masa lalu, tak akan bisa ditemui lagi. Sekarang penari Jathilan ini perempuan dengan gerakan lincah menebar senyum. Kostumnya juga dihitung benar agar tidak terlalu seksi. Celana harus di bawah lutut begitu pula lapisannya sehingga betis tersimpan.

Tabuhannya juga tidak selalu kenong, gedhog, kempyong, dan pekik memilukan slompretan. Sekarang bahkan disisipi lagu-lagu langgam yang sedang ngetop, juga lagu Es Lilin yang dari Sunda itu.

Mbah Molok, 84, perajin dhadhak merak yang juga melatih menabuh seperangkat alat musik yang mengiringi reog, menggeleng-geleng sedih. Kata perajin yang membuat dhadhak merak sejak 1965 dan mulai dikirim ke Kalimantan Timur pada 1976 ini, tabuhan reog sekarang benar-benar tidak sesuai pakem. Rumusnya, bunyi kenong itu harus selalu dhingklang, seperti orang yang berjalan satu kaki.

“Sekarang tabuhannya lurus, tak ada yang dhingklang. Ya untuk telinga tua seperti saya itu kurang pas. Dengan tabuhan sekarang saya tidak bisa menari barongan. Hitungannya aneh,” kata Mbah Molok ketika datang di diskusi yang diadakan Harian Surya, Kamis (29/11), para pecinta reog mengungkapkan keresahan.

Keresahan ini berawal dari perubahan demi perubahan yang terjadi dalam gelombang berbeda-beda. Mulanya nama reyog yang diubah menjadi reog mengikuti slogan kota sebagai akronim dari Resik, Endah, Omber, Girang-gemirang.

Perubahan seperti ini sudah membuat para seniman sepuh ngelus dada. Sama seperti saat Mbah Bikan Gondowiyono dari Pulung, Ponorogo, yang mengawali karier sebagai penari Jathilan, gemblak, dan sekarang memiliki kelompok reog sendiri. Pada 1993 dia pernah diajak diskusi untuk menentukan arah reog Ponorogo. Mbah Bikan masuk dalam Seksi Jathilan. “Yang kurang layak diganti.”

Yang dianggap kurang layak ini salah satunya dengan mengganti penari Jathil yang semuanya laki-laki berdandan cantik dengan perempuan asli. Padahal penari laki-laki itu menjadi daya tarik penonton. Tetapi alasan yang diberikan juga cukup kuat. “Sulit mencari penari lelaki yang mau dipacaki jadi perempuan,” kata Drs Hariadi, guru Fisika SMAN 1 Ponorogo yang merintis reog untuk anak muda. Persepsi masyarakat tentang jathilan lelaki juga mulai bergeser. Sekarang justru ketika yang dipasang perempuan muda dengan make up cantik, senggakan penabuh makin bersemangat.

Mbah Bikan tertawa mengingat anak buahnya yang loyo saat menabuh ketika penari Jathilnya laki-laki. “Waktu diganti penari perempuan, walah… semangat nabuhnya.”

Pergeseran yang terjadi cukup besar ketika dari acara diskusi yang diikuti Mbah Bikan itu mengeluarkan buku kuning saat Orde Baru berkuasa. Buku Pedoman Dasar Kesenian Reog Ponorogo ini menjadi aturan bagi seluruh jagad reog.

“Jadinya ya reog yang ampang, tak ada gregetnya,” kata Hariadi. Beberapa bagian yang dipangkas adalah adegan seronok saat barongan berusaha mencium (maaf) pantat penari Jathilan. Selalu sebelum menempel barongan terjengkang. Padahal penari Jathilan tidak melakukan apa-apa. Bahkan gerakan penari ini cenderung monoton. Dia hanya menggoyangkan pinggung sedikit ke kiri dan ke kanan. Membosankan tetapi justru kelihatan sensual. Saat-saat seperti itulah yang selalu membuat penonton terbahak-bahak dan mbata rubuh, bersorak bagai merubuhkan tumpukan batu bata.

Penonton memang menjadi bagian dari pertunjukan reog. Mereka tidak hanya menonton tetapi terlibat di dalam setiap adegannya. Semakin banyak penonton yang terlibat sebenarnya semakin sukses pertunjukannya.

“Itu bedanya dengan tata cara pertunjukan reog untuk festival,” kata Hariadi. Dalam festival, penonton sama sekali tak disentuh. Bagaimana bisa menyentuh jika reog dimainkan di panggung berjarak jauh dengan habitatnya. Padahal sehari-hari reog dimainkan di perempatan jalan. Tabuhannya yang monoton sebagai undangan agar makin banyak orang menonton. Inilah pertunjukan rakyat. Citra warok dan reog makin berorientasi pertunjukan panggung. Reog dinilai dari aspek dramaturgi, tarian, dan tata busana yang serba seragam, manis, dan gemerlap.

Mbah Bikan menanggapi dengan enteng. “Saya cuma mau main reog yang asli. Biar saja beda dengan peserta festival yang lain.” Hasilnya, saat pemerintah menggelar festival reog dan gerebek Suro pada 1994, kelompok Mbah Bikan tak pernah menang. Menyesalkah? Dia terkekeh. “Biar saja tidak menang tetapi kelompok saya main dengan cara yang kami yakini benar.”

Tidak ada komentar: