26 April 2008

Mengawal Tim Medis Menyisir Bengawan Solo

Beberapa anggota tim medis terdiam ketika kami jemput dengan dua perahu di tambangan Pasar Babat, Bojonegoro. Gerimis sudah berhenti walau titik airnya sesekali turun. Tak ada pilihan lain, ke-17 petugas kesehatan itu akhirnya mau melangkah ke perahu yang tampak ringkih.

Perahu kecil sederhana dengan alas susunan bambu ini memang satu-satunya penghubung menuju Desa Lebaksari, Kecamatan Bourno, Kabupaten Bojonegoro. Lebarnya tak sampai satu meter. Panjangnya sekitar lima meter. Sebenarnya cukup lumayan sebagai sarana angkutan di hari normal, tidak saat banjir bandang seperti ini.

Seluruh akses jalan darat tertutup air. Perahu ala kadarnya inilah yang menjadi tumpuan.

Ketika dipersilakan masuk perahu, gerakan ragu-ragu terlihat dari tim medis. Tetapi tak ada jalan lain. Kedatangan mereka malam ini, Rabu (9/1), sudah ditunggu penduduk yang ingin mendapat pengobatan gratis setelah berminggu-minggu terendam banjir.

Akhirnya semua orang sudah masuk dalam dua perahu. Duduk berjajar. Satu tangan berpegangan di bibir perahu, tangan yang lain menahan obat dan peralatan medis agar tidak terbentur-bentur. Sekitar pukul 21.00 WIB dua perahu penuh muatan orang dan obat-obatan bergerak sangat pelan.

Jika saat berangkat, kami yang menjemput hanya butuh waktu 20 menit, sekarang perjalanan berlipat lamanya. Selama 45 menit kami harus melawan arus dengan beban berat. Tak ada yang berbicara walau sempat mencoba bercanda. Ketika senter dinyalakan sesaat, tampak bibir berkomat-kamit, berdoa.

Tim medis memang sudah siaga dengan sepatu bot tetapi tak ada yang mengenakan pelampung. Kami pun tidak. Saya hanya mengenakan sandal jepit, dan sudah lupa cara berenang.

Bisa dimaklumi jika semua merasa ngeri. Bengawan Solo bukan sembarang sungai saat ini. Luapan sungai paling panjang di Jawa ini menenggelamkan wilayah mulai dari Solo hingga Gresik. Semua daerah yang dilewati diterabas hingga terendam. Dan kemarin, ketika bulan sama sekali tak tampak, kami harus menyusuri bengawan ini dalam gelap. Senter atau lampu memang tak sebaiknya dinyalakan karena “nakhoda” perahu bisa silau dan salah arah. Jika salah arah bisa langsung ke laut.

Dua kali motor tempel milik Sun’an, salah satu “nakhoda”, mati ketika akan berangkat menjempur. Terombang-ambing sebentar di tengah bengawan, akhirnya ledakan api dari busi sanggup membuat motor kembali menyala. Tentu kejadian ini tak kami ceritakan pada tim kesehatan karena mereka akan semakin gemetaran. Dalam gelap tak tampak jika sebenarnya kami juga agak pucat karena khawatir.

Pukul 22.00 WIB perahu merapat ke barongan, sekumpulan bambu di tepi sungai. Di musala sudah berkumpul lebih dari 100 warga dari Desa Lebaksari. Beberapa orang ingin disuntik agar sehat. Dengan cepat ke-17 petugas kesehatan dari Yayasan Bangun Sehat Indonesia pimpinan dr Isnin, Terminal Petikemas Surabaya, dan Kosgoro 57 Jatim menangani warga. Bantuan yang diberikan tim ini sangat membantu aktivitas Surya Crisis Center (SCC) membantu korban banjir. Saya dan teman-teman dari SCC sudah datang sejak Maghrib.

Haji M Thalhah Gozali, Kepala Desa Lebaksari, Kecamatan Bourno, Bojonegoro, mengaku warganya masih trauma karena air bah ini bisa datang lagi ketika hujan deras kembali mengguyur. Banjir yang menenggelamkan Desa Lebaksari setinggi 1,5 meter itu telah memupuskan harapan panen padi yang menjadi satu-satunya tumpuan hidup mereka. “Saya minta warga untuk tetap waspada karena biasanya banjir datang di akhir musim hujan. Ini masih awal musim hujan, jadi kami khawatir akan terjadi banjir lagi,” tutur Gus Mat, begitu kepala desa ini disapa. Desa Lebaksari merupakan salah satu desa terparah di Bojonegoro yang diterjang banjir dan tenggelam selama seminggu.

Hasil pemeriksaan kesehatan oleh tim medis menyebutkan, rata-rata penduduk mengalami trauma bencana yang cukup serius. “Keluhan rata-rata pegal-pegal dan ngilu. Ada sebagian yang mengalami gangguan ISPA. Ini karena mereka harus bekerja keras ketika menyelamatkan diri dari banjir,” terang Isnin. Di samping trauma bencana, karena kekurangan air bersih, masyarakat mulai terserang diare. Genangan air yang masih ada di mana-mana membuat penyakit kulit dan demam melanda.

Pengobatan massal usai menjelang tengah malam. Penduduk yang menunggu sejak sore pulang dengan wajah puas karena sudah diperiksa mbak dan mas dokter. Ada juga yang minta disuntik supaya cepat sembuh. Lega rasanya melihat mereka yang sangat membutuhkan bantuan pengobatan akhirnya bisa membawa pulang aneka vitamin, obat batuk, obat diare. Asal sudah disentuh tangan mbak dan mas dokter, sugesti sembuh sangat membantu.

Kembali ke Surabaya, kami diantar beberapa penduduk di tepi barongan yang lumpurnya siap mengisap kaki hingga ke lutut.

Anggota tim medis perempuan memilih menyeberang ke tepi desa yang berjarak 40 meter. Setelah itu mereka naik mobil berputar dan bertemu lagi di tambangan Pasar Babat. Tim medis laki-laki tetap bersama kami menyisir Bengawan Solo hingga tambangan.

Tepat pukul 24.00 WIB seluruh rombongan kembali menyisir Bengawan Solo. Bulan tetap tidak muncul. Ketika banyak orang melekan menikmati 1 Muharram atau 1 Suro dalam tahun Jawa, kami juga menikmatinya di atas perahu di Bengawan Solo. Dengan waswas.

Tidak ada komentar: