26 April 2008

Kampung Pionir Pembuka Singapura (2)

Akrab dan tak berjarak ketika masuk kawasan Chinatown, Singapura. Maklum, suasananya kental dengan aroma yang biasa dijumpai di Kembang Jepun, Surabaya. Tentu ada beda, bangunan di Chinatown benar-benar dijaga.

Jendela kayu berjalusi di tiap blok tidak dibongkar. Ketuaannya justru membuat Chinatown menjadi unik. Inilah kawasan bersejarah karena di kampung ini jantung Singapura dimulai. Komunitas Tionghoa pertama di Singapura mendiami tempat ini. Status konservasi diberikan pada 7 Juli 1989. Supaya tetap berbinar, dinding gedung tua dipoles lebih terang, jendela dipulas warna-warni.

Tenda baru ditata. Sepertinya tak ada yang bisa menghentikan orang-orang yang ada di kawasan ini. Tangan selalu bergerak, menyapa, menata. Hanya orang yang sudah sangat tua yang tampak sedikit santai. Ngobrol seru dengan nada tinggi. Trishaw bertopi hijau yang masih semarga dengan becak kita, melengkapi kawasan ini.

Melihat suasana sekarang, sulit dibayangkan awalnya kawasan ini sangat-sangat-sangat kumuh. Perkampungan ini dimulai 1819 ketika pendatang pertama dari Xiamen, Provinsi Fujian, Tiongkok masuk. Mereka membangun perumahan di bagian selatan Singapore River yang sekarang dikenal sebagai Telok Ayer. Makin lama pendatang makin banyak padahal perkampungan tidak mekar. Akibatnya, daerah ini menjadi berjejal dan kumuh.

Mengubah kebiasaan hidup lebih rapi dan sehat sangat sulit. Housing and Development Board (HDB) akhirnya memutuskan mengubah daerah slum ini pada 1 Februari 1960.

Hampir 15 tahun diupayakan tetapi kawasan ini tetap saja berjubel. Baru pada 1975 sebuah badan baru di bawah Ministry of National Development dibentuk melanjutkan upaya HDB. Penduduk diminta pindah ke flat-flat yang dibangun pemerintah. Sampai akhir 1970 ada enam kawasan flat baru yang dibangun yaitu Yishun, Hougang, Jurong East, Jurong West, Tampines, dan Bukit Batok. Kawasan yang ditinggalkan kemudian dibedaki dan diberi “lisptik”. Jadilah sebuah daerah yang rapi tanpa meninggalkan sisi eksotis bangunan tua.

Sejarah ini masih bisa direkam di sepanjang Chinatown. Jika ingin lebih dekat, masuk saja ke Chinatown Heritage Centre di Pagoda Street 48. Dari depan seperti toko suvenir tetapi setelah masuk ruang tengah, ada ruang gelap yang “menangkap” pengunjung untuk dilempar ke masa lalu, ketika para pionir Tionghoa membuka hidup di tempat ini.

Dengan ramah petugas menyilakan masuk. “Mari lihat sejarah,” ajak perempuan lencir bergaun cheongsam. Tetapi melihat ruangan gelap, sulit mengikuti langkahnya masuk ke ruang dalam. Dari pintu tengah terlihat lukisan wanita cantik dan beberapa benda kuno. Muram dan misterius. Jujur saja, lebih nyaman berjalan di luar dengan sinar matahari dan aneka suvenir. Harga barang di sini nyaris sama, three for ten. Tentu tidak berlaku untuk syal sutera, barang antik, atau batu giok yang dijual orang Myanmar.

Bisa dimaklumi bila Chinatown menjadi salah satu ikon negara. Singapura memiliki komposisi 77 persen Tionghoa, 14 persen Melayu, dan 8 persen India. Meski begitu, bukan hanya bangunan tua di Pecinan yang dilestarikan sebagai aset wisata. Sekitar 5.000 bangunan tua di Singapura masuk status konservasi. Di dalamnya tercakup Kampong Gelam yang dihuni orang Melayu, Little India, dan Boat Quay.

Tak ada yang tidak bisa menghasilkan uang. Lebih dari separo bangunan disulap menjadi kantor, hotel, restoran, toko, dan sebagian kecil tempat tinggal. Bersanding dengan gedung modern yang adu jangkung, kawasan tua ini menjadi sisi lain dari “mata uang” bernama Singapura. Kekhasan etnis dibiarkan bertahan. Little India dengan Mustafa Center menjadi magnet wisatawan yang ingin mencari barang dengan harga relatif murah –walau tetap mahal untuk ukuran rupiah- menjadi negeri India di tengah kota.

Pagoda Street menjadi lorong unik dengan kuil Hindu Sri Mariamman yang megah di tikungan jalan. Tak jauh dari kuil ada Masjid Jamae rancangan George Coleman yang didirikan tahun 1800-1835. Masih ada Al Abrar Mosque yang dibangun tahun 1827 bermotif Islam India. Nah, ini masih dilengkapi dengan Thian Kock Keng Temple. Kurang plural apa coba?

Berjalan di jalur unik ini memaksa telinga lebih konsentrasi. Di Chinatown akan disapa dengan bahasa Inggris dialek Mandarin yang sering menyertakan bunyi “ah” di akhir kalimat. Bergeser ke dekat kuil ganti bahasa Inggris dengan logat India. Nadanya yang agak ngetril diikuti gerak kepala lenggut-lenggut menjadi sapaan akrab.

Inilah pluralisme ala Singapura. Di Chinatown tempat ibadah berdekatan, lapak-lapak pun berjajar. Tak ada secuil tempat pun yang dibiarkan sia-sia. Segalanya bisa disulap menjadi tempat wisata menarik yang tentu saja mendatangkan uang.

Tidak ada komentar: