26 April 2008

Gajah dan Unta Bersaing dengan Reog Ponorogo (3)

Ketika Malaysia mengaku Tari Barongan milik mereka, seniman reog di Ponorogo langsung bersatu. Mereka bersama-sama berteriak, “Kembalikan reog ke Ponorogo!” Mereka juga sama-sama mengeluh, tak ada proteksi atas budaya milik negeri ini.

Melihat para demonstran di Jakarta, cukup membuat trenyuh. Bukan hanya karena perjuangan mereka untuk diakui sebagai “pemilik” budaya yang sah tetapi juga karena rasa satu ketika menghadapi ancaman dari luar. Padahal di dalam dunia pereogan di Ponorogo justru sedang menghangat oleh perbedaan. Seperti api dalam sekam yang diam-diam menyala. Perbedaan ini sudah sejak lama meriak tetapi bisa diredam dengan peraturan tampil.

Seperti yang muncul dalam diskusi di Harian Surya, Kamis (29/11), tentang Reog Milik Kita atau Milik Malaysia. Peta perbedaan itu muncul begitu hasil diskusi yang melibatkan seniman reog membahas pakem tampil bagi kelompok reog. Agar seragam, sopan, dan sesuai dengan zaman. Pada 1993 kemudian terbitlah Buku Pedoman Dasar Kesenian Reog Ponorogo atau yang biasa disebut buku kuning. Semua aturan ada di dalamnya. Yang tidak sesuai aturan berarti tidak benar. Paling tidak untuk ukuran festival.

Seniman reog yang sepuh dan merasa reog tak perlu dibatasi menjadi gelisah. Tetapi mereka akhirnya manut ketika harus tampil di panggung festival yang membatasi gerakan dan kostum. Perombakan ini sebenarnya juga karena pengaruh perkembangan masyarakat. Penari Jathilan lelaki dianggap tidak pantas karena mereka harus tampil sebagai perempuan.

“Kalangan santri tak bisa menerima,” ungkap Paring Waluyo dari Yayasan Desantara. Menurut Paring, dengan proses panjang mereka berusaha melakukan pendekatan pada kesenian ini. Tetapi tidak mudah karena kesenian ini sudah begitu kental dalam kehidupan masyarakat Ponorogo. Kemudian kalangan santri ini membuat kesenian yang kurang lebih sama yang diberi nama Gajah-gajahan. Mengapa gajah?

“Reog itu kan macan karena itu harus ada binatang yang bisa menandingi. Siapa lagi kalau bukan gajah,” kata Paring lagi. Gajah-gajahan pun berkembang. Tetapi pada perkembangannya justru kesenian ini menjadi sangat cair sehingga musik yang semula memakai rebana digunakan untuk jogetan. Jika Jathilan ditarikan lelaki, sekarang justru waria yang tampil di depan. Mereka menari-nari mengikuti rebana yang mengumandangkan lagu menjurus ke dangdut.

Gajah-gajahan harus dikembalikan ke niat semua. Juga tidak mudah karena orang telanjur melihat Gajah-gajahan sebagai pertunjukan guyonan yang melibatkan waria. Kalangan santri kemudian mengenalkan kesenian baru, Unta-untaan. Nah, lagi-lagi mengapa unta?

“Karena unta dianggap lebih mencerminkan Arab sebagai pusat spiritual. Musiknya pun kental dengan musik Arab dan barjanzi,” tambah Paring.

Dalam buku Pedoman Dasar dimuat ketiga versi utama kisah asal-usul reog dan ditempatkan secara kronologis. Versi Bantarangin yang merujuk pada zaman Kerajaan Kediri pada abad 11 dianggap sebagai versi tertua, disusul versi Ki Ageng Kutu Suryangalam yang merujuk pada masa pemerintahan Bhre Krtabumi di Majapahit pada abad 15, dan diakhiri versi Batara Katong yang merujuk pada penyebaran agama Islam di wilayah Ponorogo pada abad 15 pula. Ini ditandai dengan dikalahkannya Ki Ageng Kutu Suryangalam oleh Batara Katong. Dengan cara pandang seperti itu, pemerintah setempat menempatkan versi Batara Katong sebagai bentuk perkembangan terakhir.

Berbeda penafsiran atas cerita yang diangkat biasa terjadi tetapi biasanya seniman reog sepuh punya pakem yang diyakini. Kurang lebih sama. Reog kuno boleh jadi akan hilang karena tergerus zaman tetapi Mbah Bikan Gondowiyono, pemilik kelompok reog dari Slahung, Ponorogo, menegaskan untuk tidak menyimpang dari cerita asli. “Pakem di buku kuning itu kurang diterima masyarakat pinggiran,” kata Mbah Bikan. Sebegitu kesalnya lelaki yang sempat menjadi penari Jathilan sebelum memiliki reog sendiri ini ketika melihat barongan yang seharusnya macan Jawa diganti menjadi barongan dengan kepala macan tutul.

Keseragaman reog ini tampak saat festival reog yang diadakan setiap tahun bersamaan dengan Gerebek Suro. Ponorogo memiliki lebih dari 200 kelompok reog. Karena tidak mungkin mengajak mereka pentas bersama, awalnya yang boleh mengikuti hanya satu reog yang mewakili kecamatan karena peserta dari luar kota juga banyak. Tentu sulit diterima jika di antara 50 reog hanya dipilih satu. Apalagi dibatasi dengan pedoman seperti yang ada di buku kuning.

“Itu sudah lumayan. Tahun lalu malah lebih sedikit lagi. Hanya satu reog yang mewakili wilayah Pembantu Bupati,” kata Drs Hariadi, guru SMAN 1 Ponorogo yang aktif mengurusi reog.

Shodiq Pristiwanto, juri dalam Festival Reog 2006, mengaku penciutan peserta itu karena masalah teknis. Tetapi perubahan dalam tarian dan kostum memang disesuaikan dengan masyarakat. Bukankah masyarakat juga yang menikmati kesenian ini?

Tidak ada komentar: