26 April 2008

Pengakuan Lewat Pendekatan Budaya (1)

Kok bisa-bisanya mengklaim reog sebagai budaya negeri seberang. Bukankah Ponorogo selalu lekat dengan entri kata reog? Meledaklah kemarahan karena merasa dikadali, dikalahkan dengan licin.

Meledak juga keinginan Mbah Sarminto agar pemerintah mengembalikan reog kepada Ponorogo. Pemilik Reog PTO -Reog Power Take Off- ini tidak mau tahu caranya. Pokoknya pemerintah harus tegas menghadapi klaim Malaysia yang menganggap Tari Barongan sebagai budaya asli mereka.

Harian Surya merespons konflik mengaku-ngaku budaya ini dengan membuat diskusi “Reog Milik Kita atau Malaysia” bersama Yayasan Desantara dan tokoh reog Ponorogo di kantor Redaksi Surya, Kamis (29/11). Keprihatinan warok, perajin atribut reog, pemilik perkumpulan reog, hingga praktisi muncul atas label yang muncul dalam tayangan pendek tentang Tari Barongan yang diklaim milik Malaysia.

Mbah Bikan Gondowiyono, mantan penari jathilan yang kini memiliki reog sendiri mengaku sedih melihat perkembangan reog yang tidak lagi mengikuti pakem. Karena digarap oleh orang yang makin cair dengan budaya “asli” reog Ponorogo, jadilah reog yang ada sekarang menjadi belang belontheng.

Sebenarnya para peserta diskusi sadar, seni seperti reog yang diyakini muncul saat Kerajaan Majapahit digdaya ini memang mudah diusung ke tempat lain karena komunitas reog ada di Jakarta, Surabaya, dan banyak kota lain. Shodiq Pristiwanto, salah satu juri saat Festival Reog Ponorogo tahun lalu mempersilakan orang mengembangkan reog di mana-mana tetapi sebaiknya disebutkan bahwa kesenian itu dari Ponorogo. “Hanya pengakuan seperti itu yang kami butuhkan. Toh tidak akan ada uang mengalir ke kantong kami dengan menempelkan asal kesenian ini.”

Budaya memang melintasi batas administrasi dan tidak akan bisa dibendung. Ini konsekuensi kemajuan zaman. Dede Oetomo yang pernah menulis tesis tentang Reog Ponorogo mengingatkan kemungkinan lintas wilayah ini. Apalagi menurut Mustofa Bisri dari Yayasan Desantara, di Johor, Malaysia, memang ada kampung yang didiami orang-orang dari Ponorogo.

Menurut Bisri yang selama beberapa bulan tinggal di Malaysia pada akhir 1990-an, ada satu jalan di Johor bernama Parit Ponorogo. Luasnya sama seperti jika Jember dan Lumajang disatukan. “Mereka hidup di sana sudah empat generasi tetapi tetap membawa nilai dari tempat asalnya, Ponorogo. Tidak heran bila akhirnya yang muncul pun kental dengan budaya Ponorogo termasuk reog.” Ketika ada festival kesenian rakyat, masyarakat di Parit Ponorogo juga menampilkan reog yang menjadi budaya nenek moyang mereka di Kuala Lumpur.

Diskusi makin menarik ketika Mbah Molok, perajin dhadhak merak dan seluruh kostum reog, mengaku memang sering mendapat pesanan dari Kalimantan Timur sejak 1976. Pesanan itu selalu dipenuhi lelaki berusia 84 tahun yang sekarang mewariskan keahliannya ini pada anak-anaknya. Pemilik nama asli Harjo ini tak akan menampik pesanan pembuatan dhadhak reog dan ubarampenya.

“Dengan ribut-ribut ini apa Mbah Molok masih tetap mengirim bila ada pesanan?” tanya Dhimam Abror Djuarid, Pemimpin Redaksi Surya.

Lha inggih,” jawab Mbah Molok polos. Mantap.

Sarminto yang juga menyediakan pembuatan pakaian reog langsung menukas. “Ya itulah. Seharusnya mengirim ke luar Ponorogo izin dulu sama dinas apalah yang mengurus.”

Suasana sempat menghangat. Tetapi Mbah Molok enteng mengatakan, jika tidak boleh mengirim ya tidak akan kirim. Selesai.

Tetapi persoalan tidak selesai dengan hanya tidak mengirim atau minta izin dulu. Tak ada yang bisa menghentikan keinginan orang untuk menikmati budaya lain. Ketakutan pengakuan negeri lain atas karya bangsa ini patut dipahami. Batik, tempe, angklung, lagu daerah, hingga sekarang reog pun dikantongi orang lain.

Memang menyedihkan tetapi Airlangga Pribadi, pengamat sosial, justru mengingatkan untuk bangga. “Eksistensi budaya kita diakui Malaysia. Buktinya mereka mengambil semua yang terbaik,” kata Airlangga. Tetapi kebanggaan ini juga harus diikuti dengan sikap waspada karena bukan tidak mungkin artefak bangsa ini bisa berpindah tangan. Apalagi dengan kapitalisme yang menjadi napas baru bagi banyak kalangan bisa menimbulkan destruktif budaya dengan partisi wilayah. Pemilahan wilayah ini sering membawa pemahaman berbeda padahal akar budayanya sama.

Harapan besar dari warok dan pekerja seni seperti Mbah Molok, Shodiq, Mbah Bikan, Mbah Sarminto, dan Hariadi disikapi dengan cara berbeda. Bukankah sebenarnya yang diinginkan adalah pengakuan bahwa reog berasal dari Ponorogo. Pendekatan politis tidak akan banyak mendapatkan hasil. “Justru dengan pendekatan budaya bisa dicapai kesepakatan menyelesaikan klaim ini,” kata Dhimam Abror.

Tidak ada komentar: