26 April 2008

Memoles Hijau di Penjuru Kota (3)

Bukit Timah. Hutan lebat dengan binatang buas di dalamnya. Tak ada orang yang berani menerabas masuk jika tak ingin setor nyawa. Inilah janggut lebat Singapura antara 1854-1862. Tetapi jangan pernah mencari janggut lebat ini sekarang. Bukit Timah sekarang tak lagi lebat karena dua sisi jalan mulus-lebar-bebas hambatan menghabisi pepohonan. Jangan pula mencari bukitnya walau namanya tetap Bukit Timah. Kini, daerah itu menjadi penghubung antara kota

Singapura dengan Bandara Changi.

Rasa keder ketika menyebut nama Bukit Timah yang ada dalam The Malay Archipelago tak ada lagi. Bukitnya habis dipotong untuk reklamasi laut, selain juga sempat mengimpor pasir dari Riau selama enam tahun.

Mohammad Bashir, salah seorang pemandu dari Singapore Tourism Board, mengatakan lahan yang ada di Singapura terbatas. Karena itu perlu menguruk laut supaya daratan lebih luas. Salah satunya di sebagian kawasan Bandara Changi.

Sebenarnya, ketika kendaraan meluncur dari Changi, wisata sudah dimulai. Mata orang masa kini akan langsung teduh begitu melihat pepohonan berjajar. Berjalan-jalan di siang yang terik juga bukan masalah. Pepohonan menyaring panas matahari sehingga orang tetap beraktivitas di luar ruangan. Kawasan teduh ini tentu tidak muncul begitu saja. Terbukti dari pepohonan yang ditanam dengan jarak sama di tengah dan tepi jalan di sepanjang jalan menuju Bandara Changi. Diameter pohon yang sepelukan orang dewasa menunjukkan umur tua. Paling tidak pepohonan itu sudah berumur 10 tahun. Cabang-cabangnya yang menjulur hingga nyaris menyatu dengan cabang di seberang jalan dipangkas rapi supaya tidak mengganggu pandangan. Pemilihan jenis pohon, penananam tepat, dan pemeliharaan menjadi salah satu kunci agar pohon tak mudah tumbang.

Menurut Singapore A Pictorial History, kampanye hijau dimulai mantan Perdana Menteri Lee Kuan Yew pada 1963. Pembangunan besar-besaran yang dimulai saat itu menyisakan bangunan beton yang kaku, membosankan, dan kotor. Upaya itu membuat pemerintah Singapura menggelontor jutaan dolar Singapura untuk mengolah sampah, membangun taman-taman, membersihkan sungai dan laut, serta menekan tingkat polusi. Inilah pengembangan berkonsep Garden City, Kota Taman.

Ruang teduh yang tak terputus menjadi kunci kota taman Singapura. Badan pertamanan di sana mengandalkan pohon dan rumput. Ini yang membuat seluruh ruang terbuka hijau seakan menjadi satu kesatuan. Sederhana kan cara Singapore National Parks (NParks) dan Urban Redevelopment Authority (URA) membangun ruang terbuka hijau (RTH). Lanskap karpet rumput dan pepohonan banyak disebut sebagai ciri khas taman gaya Inggris.

Menurut data kompas, satu hektare RTH mampu menetralkan 736.000 liter limbah cair hasil buangan 16.355 penduduk, menghasilkan 0,6 ton oksigen guna dikonsumsi 1.500 penduduk per hari, menyimpan 900 meter kubik air tanah per tahun, mentransfer air 4.000 liter per hari atau setara dengan pengurangan suhu 5-8 derajat Celsius, meredam kebisingan 25-80 persen, dan mengurangi kekuatan angin sebanyak 75-80 persen. Setiap jam, satu hektare daun-daun hijau menyerap delapan kilogram CO2 yang dikeluarkan 200 manusia.

Tak banyak bunga-bunga seperti di tengah kota Surabaya. Yang ada hijau, hijau, dan hijau. Bunga jarang sekali muncul kecuali di Changi atau di simpang jalan. Baru setelah terbentuk kawasan teduh (shaded area) kemudian dipikirkan membuat kawasan warna-warni (collorfull area) pada 1980-an. Warna pastel dan ngejreng sudah menyergap sejak keluar dari Changi. Gradasi kuning, biru, hijau di satu kawasan. Warna merah di tempat lain.

Di banyak jalan layang, beton raksasa penyangganya tak bisa dihilangkan. Supaya tidak membuat mata gatal, tanaman rambat seperti tanaman jenggot nabi sengaja ditempelkan. Jadi kesannya bukan jajaran beton melainkan pepohonan. Pohon beton. Semak-semak yang dipangkas rapi juga berusaha mengkamuflase pandangan karena si jenggot nabi belum merambati semua tonggak beton.

Keterbatasan tanah membuat warga Singapura rela tinggal di rusun agar mempunyai taman yang lebih luas untuk bermain atau berolahraga. Tentu rusun ini dibuat nyaman dengan teknologi yang membantu. Rakyat membayar mahal pajak. Imbalannya, masyarakat juga harus memiliki kemudahan transportasi publik, menuntut kenyamanan hidup dan kesejahteraan sosial termasuk di dalamnya keberadaan taman dan tempat untuk berolahraga.

Taman kota bukan hanya pelengkap. Justru RTH ini menjadi nilai jual. Supaya mudah dipahami masyarakat, misi pemerintah Singapura sederhana dibuat sederhana: begitu keluar rumah, Anda berada di taman. Taman tak perlu indah asal bisa digunakan banyak orang. Justru karena konsepnya sederhana, semua orang jadi terlibat.

Rusun dihuni 86 persen penduduk Singapura. Rusun yang sehat, hemat energi, dan mudah menjangkau seluruh kawasan di Singapura menjadi pilihan. Bahkan Bashir merasa heran saat ada sekelompok orang yang ngotot mendiami rumah-rumah kumuh ketika diminta pindah ke rusun. “Diatur jadi lebih baik tidak mau,” kata Bashir yang tinggal di rusun kawasan Pasir Panjang yang menyediakan lahan terbuka sangat luas dengan akses kendaraan umum yang sangat mudah.

Untuk yang satu ini bolehlah berlega hati. Surabaya sudah punya taman kota (bukan kota taman) yang cantik, Malang kaya pohon, Kebun Raya Purwodadi menabung tanaman. Kali ini tidak kalah.

Tidak ada komentar: