26 April 2008

Mesin Uang dari Tepi Sungai (1)

Kevin Pang memperlambat mobil. Lelaki yang mengantar wisatawan ini tidak mengeluh tetapi berkali-kali mendengus kesal. Jalan raya mulai padat. Mobilnya harus merayap. Dalam kondisi normal, tak ada kamus macet di Singapura, kecuali akhir pekan.

Jumat sore menjadi hari “mengerikan” bagi warga Singapura. Kota mulai hiruk-pikuk. Libur akhir pekan datang. Justru yang “mengerikan” itu yang mendatangkan untung.

Ingar-bingar klakson impas dibayar dengan kedatangan wisatawan, terutama dari Indonesia. Jangan sedih dulu jika disebut sebagai warga negara miskin. Berkaca dari Bandara Changi, Singapura, siapa bilang Indonesia miskin?

Singapura memang bukan lagi negeri asing. Dia seperti bagian dari Surabaya karena dalam dua jam bisa didatangi bahkan lebih cepat daripada jika pergi ke Malang lewat Porong. Wisatawan dari Surabaya sebanding dengan jumlah mereka yang berangkat dari Jakarta ke Singapura. Dan harap maklum jika kemudian muncul angka mencengangkan.

Menurut Singapore Tourism Board (STB) jumlah kedatangan turis asing ke Singapura selama 2006 mencapai 9,7 juta wisatawan. Dari jumlah itu, 1,92 dari Indonesia atau sekitar 20 persen. Selama 2006 total pengeluaran turis asing selama berwisata di Singapura mencapai 12,4 miliar dolar Singapura (SGD). Nah, 20 persennya dari kantong Indonesia. Warga Surabaya dan sekitarnya menyumbang hampir setengahnya. Karena itu Indonesia menjadi pasar potensial bagi Singapura. Tahun ini, rata-rata wisatawan Indonesia menghabiskan uangnya hingga sekitar 800 SGD atau sekitar Rp 5,2 juta per orang per hari selama berlibur di Singapura.

Singapura menjadi gula-gula yang tak pernah membosankan.

***

Gudang dengan dinding sengaja disemen tanpa plamir berwarna putih mangkak terasa lembap saat disentuh. Pintunya dari kayu utuh dengan cat yang dibiarkan mengelupas. Supaya mudah dibuka, gerendel dibuat di atas. Agak gelap di dalam. Dingin dan misterius seperti masuk gudang tempat para pencoleng. Begitu masuk, ruang dengan panjang sekitar 10 meter itu sepi. Hanya ada kolam kecil dan tangga dari kayu.

Tangga curam ini yang mengantar tamu ke ruang sebenarnya, ruang makan. Bau rempah-rempah khas India sedikit membuat merinding. Apalagi di tengah lampu temaram itu sosok berkulit gelap dengan suara berat menyambut, tanpa senyum. Sorot matanya tajam, setajam citarasa masakan India yang pedasnya menggigit, asamnya menggigit, dan aromanya menggigit.

Inilah gudang beras yang kemudian diubah menjadi restoran Coriander Leaf. Dari lantai dua tercium bau masa lalu. Tumpukan beras pasti menggunung di sini supaya tidak terjangkau air bila sungai pasang. Juga agar jauh dari tangan maling. Bau apeknya masih tercium di antara sengatan aroma masakan India.

Di depan Coriander Leaf mengalir Sungai Singapura. Tongkang lalu lalang. Sama persis dengan masa di tahun 1873-1914. Sungai menjadi nadi bagi Singapura masa lalu dan kini. Ketika kapal berlabuh di pelabuhan, tongkang akan mengambil dan menyimpan hasil bumi di gudang-gudang sepanjang sungai untuk kemudian dijual lagi. Dari hasil makelaran inilah kekayaan datang. Gudang-gudang ini ada di Clarke Quay.

Stamford Raffles, penguasa pertama yang mengklaim telah membangun Singapura sejak 24 Januari 1819 melihat ini kekuatan dagang yang luar biasa. Singapura tidak punya alam yang bersahabat untuk menumbuhkan bahan pangan. Raffles mengerahkan 120 budak yang dibawanya dan menurunkan prajurit India untuk mengawasi. Menurut buku Singapore, A Pictorial History 1919-2000, ini berlangsung sejak 1873-1914.

Pada 1900-an daratan penyangga gudang ini direklamasi. Apalagi Hongkong and Shanghai Bank mulai berdiri di tepi sungai, mendekati pusat perdagangan. Bau wangi uang membuat acara bongkar muat makin tidak populer. Apalagi ketika Marina South dan Marina Central di pertengahan 1970 menjadi kawasan perdagangan. Pemerintah Singapura terus memoles sungai dan menghasilkan lebih banyak SGD.

Sekarang tempat perdagangan yang paling sibuk di Sungai Singapura ini beralih fungsi. Sama-sama berdagang tetapi dagang wisata. Seluruh gudang dipoles. “Bahkan ada tempat ibadah yang kemudian menjadi pub Indo China, tempat ber-jib-ajib turis,” kata Moh Bashir dari STB. Supaya tetap hidup, sepanjang Clarke Quay sudah dipasang atap tembus pandang. Jadi tak peduli hujan wisatawan tetap bergentayangan.

Sudut menikung dermaga yang membuat Kevin Pang mendengus ini menjadi kawasan paling riuh. Clarke Quay diberi nama seperti gubernur kedua Singapura, Andrew Clarke. Musik jazz dari resto-resto di Clarke Quay ingin memberi kesan romantis. Sedikitnya terdapat 14 restoran berkelas internasional di sini. Setelah dibenahi dan menghabiskan biaya sedikitnya 15 juta SGD atau lebih dari Rp 97 miliar, inilah tempat nongkrong favorit kaum yuppies Singapura juga wisatawan.

Jadi ingat Jl Kayun Surabaya. Di Kali Surabaya ada aktivitas bongkar muat sayuran. Hotel Brantas pun sempat menikmati masa silir-silirnya angin sungai ini. Bahkan Kayun dipoles menjadi tempat makan dan nongkrong yang adem. Tak beda, bukan? Sekarang silir-silir berganti dengan bau busuk sisa sayuran. Tempat makan di Kayun juga sudah diberi aba-aba hengkang. Dan Kali Surabaya, ah… sama-sama tahulah.

Tidak ada komentar: